BerandaAdventurial
Minggu, 30 Agu 2025 13:01

Pusat Pendidikan Tionghoa Pertama di Jepara: Sekolah Pusaka Welahan

Pintu depan yang masih tertulis Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) dan Sekoah Pustaka yang masih bisa di jumpai sampai sekarang di Gedanganbrang, Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Berlokasi di jantung pecinan Jepara, bangunan tua sekitar 500 meter dari Klenteng Hok Tek Bio ini nyaris terlupakan, catnya kusam, dan kini dipenuhi semak belukar; padahal dulu ia pernah populer sebagai sekolah Tionghoa pertama di Jepara.

Inibaru.id – Di balik pintu besi berkarat yang tertutup rapat, berdiri sebuah bangunan tua yang nyaris terlupakan. Halamannya kini dipenuhi semak belukar, cat dindingnya kusam, dan hanya dua papan nama lusuh yang menjadi informasi tentang gedung berangka tahun 1912 itu.

Kedua papan yang berada di sebelah timur pintu masuk itu disusun atas-bawah, sama-sama berwarna merah dengan bingkai kuning yang senada dengan tulisannya. Yang atas bertuliskan "THHK Anno 1912", sedangkan bawahnya "Sekolah Pusaka 1956, TK SD SMP".

Dari kedua papan itu, yang atas jelas menunjukkan angka tahun, sementara bawahnya adalah informasi yang menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah sebuah sekolah. Yang membuat saya penasaran adalah "THHK"-nya.

Oya, bangunan tua ini berlokasi di kompleks pecinan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah; yang berjarak sekitar 500 meter dari Klenteng Hok Tek Bio Welahan. Belum lama ini saya sengaja berkunjung ke tempat ini untuk "napak tilas" perjalanan komunitas Tionghoa di sekitar Welahan.

Sekolah Tionghoa Pertama di Jepara

Berdasarkan hasil ngulik di internet dan tanya sana-sini, akhirnya saya menemukan informasi bahwa bangunan ini merupakan sebuah sekolah dulunya menjadi pusat pendidikan yang cukup penting bagi komunitas Tionghoa yang datang ke Welahan pada awal abad ke-20.

THHK adalah singkatan dari Tiong Hoa Hwee Koan, sebuah organisasi yang didirikan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade 1900-an untuk memelopori pendidikan modern, menyebarkan kebudayaan Tiongkok, dan meningkatkan "nilai tambah" komunitas tersebut di masyarakat.

Organisasi ini telah menjadi pelopor pendidikan bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia bahkan sebelum Budi Utomo didirikan. THHK mendirikan sekolah di Welahan ini pada 1912. Dari informasi yang saya dapatkan, sekolah sengaja didirikan di jantung pecinan sebagai sarana pendidikan untuk masyarakat Tionghoa.

Tujuannya jelas, yakni memberikan pendidikan berbahasa Mandarin dan memperkuat identitas budaya Tionghoa di Hindia Belanda yang saat itu begitu kental dengan arus kolonialisme Belanda.

Pemanpakan dalam sekolah, bagunan khas identitas budaya Tionghoa (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Sedikit informasi, sekolah THHK adalah tonggak peradaban bagi masyarakat Tionghoa kala itu. Selain mempelajari kemampuan dasar seperti membaca dan menulis, para guru di sekolah ini juga mengajarkan bahasa, budaya, dan jati diri sebagai seorang Tionghoa meski jauh dari tanah kelahiran.

Kurang lebih satu dekade pasca-kemerdekaan, tepatnya pada 1956, pusat pendidikan ini berganti nama menjadi Sekolah Pusaka. Meski begitu, semangatnya tetap sama yakni mengusung tradisi pendidikan Tionghoa di Welahan.

Sekolah Pusaka merupakan tempat belajar yang ideal bagi komunitas Tionghoa kala itu yang sebagian besar menghuni wilayah sekitar klenteng yang kini dikenal sebagai pecinan. Jumlah mereka cukup banyak sehingga sekolah ini bisa membuka ruang untuk jenjang TK, SD, dan SMP.

Sayangnya, keberadaan sekolah ini nggak bertahan lama karena masyarakat Tionghoa di Welahan pada akhirnya memilih meninggalkan wilayah tersebut karena akses akses yang sulit di situ, sementara sebagian besar pekerjaan mereka adalah berdagang.

Populasi yang Turun Drastis

Meski sejatinya bisa hidup harmonis bersama warga lokal, akses transportasi menuju Welahan memang kurang memadai kala itu. Sebagian orang Tionghoa akhirnya memilih pindah ke pusat kota, bahkan ke wilayah lain yang lebih besar seperti Semarang atau Kudus.

Seiring berkurangnya populasi Tionghoa di Welahan, jumlah siswa pun makin menipis. Untuk bertahan, pihak sekolah yang semula hanya menerima siswa Tionghoa akhirnya membuka diri bagi non-Tionghoa, terutama setelah munculnya "sekolah inpres" di desa-desa.

Namun, upaya tersebut juga nggak banyak membantu. Jumlah siswa semakin berkurang dan satu demi satu kelas mulai kosong; hingga akhirnya sekolah benar-benar berhenti beroperasi. Karena nggak ada kegiatan lain, bangunan pun mangkrak hingga sekarang.

Memasuki kompleks bangunan ini sungguh membuat saya sedih karena membayangkan betapa ramainya dulu, waktu anak-anak berlarian di sini hingga lonceng tanda belajar dimulai. Kini, yang tersisa hanya si tua renta dengan pintu besinya yang berderik dan detik yang seolah nggak lagi berdetak di sini.

Salah satu pintu yang masih bertulikan tulisan belanda atau ejaan belandan (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Berakhirnya Sekolah Pusaka menandai hilangnya pengaruh Tionghoa di Welahan. Padahal, pada masanya, sekolah ini adalah simpul penting bagi THHK untuk menyebarkan bahasa Mandarin di berbagai kota di Nusantara.

Berdiri di Batavia pada 1900, THHK lahir sebagai upaya kaum Tionghoa menjaga dan memperkuat identitas budaya mereka di Nusantara, salah dengan menjadikan bahasa Mandarin sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah Tionghoa tersebut, nggak terkecuali di Welahan.

Kini, yang tersisa hanya kenangan dan sedikit cerita yang sayangnya mulai dilupakan banyak orang. Sebagian warga sekitar bangunan bahkan hanya menggelengkan kepala saat saya bertanya tentang gedung yang pintu depannya bertuliskan huruf Mandarin tersebut.

Andai gedung tua ini bisa berbicara, mungkin ia akan banyak bercerita tentang masa lalunya yang luar biasa atau jasanya yang begitu besar untuk para peranakan Tionghoa yang pernah belajar di sana; yang akan ia kisahkan dalam tiga bahasa sekaligus: Jawa, Indonesia, dan tentu saja Mandarin. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: