Inibaru.id – Dyah Ajeng Kamaratih sudah hampir sembilan tahun tinggal di Kota Semarang. Namun, gadis yang hobi traveling itu belum pernah sekali pun ke museum di Kota Lunpia. Dia bahkan nggak menyadari ada museum di dekat kosnya yang berada di bilangan Bulustalan, Semarang Selatan.
Ajeng, begitu dia biasa disapa, beberapa kali melancong ke Lawangsewu atau berswafoto di Tugu Muda. Namun, dia nggak sadar ada satu museum yang hanya berjarak sepelemparan batu dari dua lokawisata ikonik di Semarang tersebut. Museum Perjuangan Mandala Bhakti namanya.
Perempuan yang bekerja di sebuah agen asuransi itu tambah terkejut saat mengetahui museum tersebut berada di Jalan Mgr Sugiyopranoto, jalur yang hampir tiap hari dilaluinya sepulang kerja.
"Ya, tahu di situ ada gedung gede," terang perempuan 27 tahun tersebut sewaktu saya hubungi via telepon belum lama ini. "Tapi, setahu saya itu kompleks pujasera atau tempat makan gitu."
Apa yang dikatakan Ajeng bisa saya pahami. Masyarakat, khususnya anak muda, yang nggak betul-betul memperhatikan memang akan cenderung melihat gedung tua di persikuan antara Jalan DR Sutomo dengan Jalan Mgr Sugiyopranoto itu sebagai pusat kuliner, alih-alih museum.
Setelah direnovasi pada 2019 lalu, kompleks Museum Mandala Bhakti memang dijadikan sebagai pusat kuliner. Tanpa mengubah bentuk dan fungsi bangunan utamanya sebagai museum, sejumlah tempat makan kekinian didirikan di sana.
Oya, perlu kamu tahu, bangunan Museum Mandala Bhakti dibangun pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada 1906. Gedung dua lantai bercat dominan putih itu semula digunakan sebagai Pengadilan Tinggi Belanda.
Gedung tersebut beralih fungsi menjadi markas militer Jepang pada 1942. Kala itu Nusantara telah jatuh ke tangan Negeri Matahari Terbit. Situasi ini berlangsung hingga Indonesia merdeka. Sekitar 1950, gedung ini menjadi Markas Besar Komando Wilayah Pertahanan II Kodam IV/Diponegoro.
Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektare itu diubah menjadi museum pada awal 1980-an dan mulai dibuka untuk umum pada 1987.
Lebih Sedap Dipandang
Sejak direnovasi beberapa tahun silam, Museum Mandala Bhakti tampak jauh lebih menawan. Saat saya menyambangi bangunan bersejarah itu dua minggu lalu, kondisinya tampak jauh lebih rapi ketimbang kedatangan saya sebelumnya.
Hampir semua bagian di kompleks bangunan itu sudah bersih dan tertata. Hanya beberapa bagian di ruangan belakang yang saya lihat digenangi air, yang sepertinya memang nggak dipakai. Seorang penjaga mengatakan, museum sudah dibuka untuk umum dan bisa dikunjungi setiap hari, termasuk akhir pekan.
"Sabtu dan Minggu juga buka," terang lelaki berbadan tegap yang enggan menyebutkan namanya tersebut, lalu menghela napas pelan. "Cuman, ya beginilah, sepi!"
Memang, sejak saya menginjakkan kaki di museum, pengunjung yang datang masih bisa saya hitung dengan satu jari. Sekira satu jam di tempat tersebut, hanya ada satu keluarga kecil dengan kedua anak laki-lakinya yang berkunjung. Namun, kentara sekali antusiasme keluarga tersebut ke museum.
Menurut si penjaga, pengunjung rutin museum biasanya datang dari kelompok belajar tertentu, kebanyakan dari jenjang TK hingga SMA. Biasanya mereka berkunjung sebagai bagian dari kegiatan rutin sekolah yang melibatkan guru dan murid.
“Yang paling rutin itu dari SMP Domenico (SMP Pangudi Luhur Domenico Savio). Selain anak sekolah, mahasiswa juga kadang datang untuk penelitian skripsi; cari data. Kalau yang dari luar kota paling satu-dua kelompok saja," terangnya menggambarkan kunjungan ke museum beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya melihat Museum Mandala Bhakti memang cenderung sepi. Agak disayangkan karena lokasinya cukup strategis di pusat kota. Harga tiket masuknya pun nyaman di kantong, karena pengunjung hanya perlu mengeluarkan kocek Rp 5.000 per orang.
Saat saya tanyakan kenapa museum bisa sepi, penjaga tersebut hanya menggeleng pelan. Menurutnya, pengunjung museum nggak banyak berubah, sebelum atau setelah direnovasi dan banyak kafe didirikan di kompleks wisata ini.
“Nggak banyak perbedaan. Selama pandemi malah sepi banget. Minat orang pada sejarah dengan menengok museum kayanya sangat kurang,” ujar lelaki tersebut, lalu kembali menghela napas panjang.
Temaram dan Terasa Seram
Sendirian memasuki gedung bernuansa kolonial dengan langit-langit yang tinggi dan dinding putih nan tebal di Museum Mandala Bhakti sejujurnya membuat saya bergidik. Pencahayaan yang agak temaram dan ruangan yang terasa sepi membuat kaki saya enggan melangkah.
Beruntung, nggak lama setelah saya masuk, sebuah keluarga dengan dua anak menyusul. Mereka cukup ramai dan anak-anaknya antusias, membuat suasana menjadi jauh lebih nyaman, meski kesan seram nggak bisa saya enyahkan begitu saja.
Memasuki museum, dinding bangunan dihiasi banyak sekali lukisan, sebagian besar di antaranya adalah tentang Pertempuran Pangeran Diponegoro. Lukisan itu dilengkapi dengan pelbagai data, dokumentasi, dan barang-barang bersejarah milik TNI. serta ihwal terbentuknya Kodam IV Diponegoro.
Beberapa hal yang agak saya sayangkan dari museum yang bersih dan rapi ini adalah pencahayaan ruangan yang kurang terang. Kemudian, entah kenapa saya juga merasakan hawa pengap yang mendorong saya untuk segera keluar.
Saya juga kurang nyaman dengan pemanfaatan sebagian lantai dasar untuk kafe, sementara di luar gedung juga ada berderet-deret tempat makan. Menurut saya, hal ini justru membuat pemisahan antara museum dengan tempat makan menjadi kurang jelas.
Bangunan utama museum yang "diinvasi" tempat makan akan membuat substansi gedung bersejarah yang berisikan informasi sejarah jadi kurang mendapat sorotan. Lantai satu yang lebih ramai membuat kesan sepi kian kentara begitu naik ke lantai dua.
Tentu saja hal ini hanyalah pendapat saya. Sebagai orang yang cukup menggemari wisata sejarah dan berkunjung ke museum, sangat disayangkan kalau lokawisata seperti Museum Mandala Bhakti terus sepi dan dikenal sebagai pusat kuliner semata. Sepakat, Millens? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)