BerandaAdventurial
Senin, 21 Nov 2021 09:00

Museum Mandala Bhakti dan Potret Muram Wisata Sejarah di Semarang

Potret Museum Mandala Bhakti tampak dari depan. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Kalau nggak didukung banyaknya wisata kuliner di dalamnya, Museum Mandala Bhakti mungkin menjadi destinasi wisata sejarah di Semarang yang paling sedikit dikunjungi orang.

Inibaru.id – Dyah Ajeng Kamaratih sudah hampir sembilan tahun tinggal di Kota Semarang. Namun, gadis yang hobi traveling itu belum pernah sekali pun ke museum di Kota Lunpia. Dia bahkan nggak menyadari ada museum di dekat kosnya yang berada di bilangan Bulustalan, Semarang Selatan.

Ajeng, begitu dia biasa disapa, beberapa kali melancong ke Lawangsewu atau berswafoto di Tugu Muda. Namun, dia nggak sadar ada satu museum yang hanya berjarak sepelemparan batu dari dua lokawisata ikonik di Semarang tersebut. Museum Perjuangan Mandala Bhakti namanya.

Perempuan yang bekerja di sebuah agen asuransi itu tambah terkejut saat mengetahui museum tersebut berada di Jalan Mgr Sugiyopranoto, jalur yang hampir tiap hari dilaluinya sepulang kerja.

"Ya, tahu di situ ada gedung gede," terang perempuan 27 tahun tersebut sewaktu saya hubungi via telepon belum lama ini. "Tapi, setahu saya itu kompleks pujasera atau tempat makan gitu."

Lukisan 3D yang menceritakan kisah hidup Pangeran Diponegoro di Museum Mandala Bhakti. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Apa yang dikatakan Ajeng bisa saya pahami. Masyarakat, khususnya anak muda, yang nggak betul-betul memperhatikan memang akan cenderung melihat gedung tua di persikuan antara Jalan DR Sutomo dengan Jalan Mgr Sugiyopranoto itu sebagai pusat kuliner, alih-alih museum.

Setelah direnovasi pada 2019 lalu, kompleks Museum Mandala Bhakti memang dijadikan sebagai pusat kuliner. Tanpa mengubah bentuk dan fungsi bangunan utamanya sebagai museum, sejumlah tempat makan kekinian didirikan di sana.

Oya, perlu kamu tahu, bangunan Museum Mandala Bhakti dibangun pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada 1906. Gedung dua lantai bercat dominan putih itu semula digunakan sebagai Pengadilan Tinggi Belanda.

Gedung tersebut beralih fungsi menjadi markas militer Jepang pada 1942. Kala itu Nusantara telah jatuh ke tangan Negeri Matahari Terbit. Situasi ini berlangsung hingga Indonesia merdeka. Sekitar 1950, gedung ini menjadi Markas Besar Komando Wilayah Pertahanan II Kodam IV/Diponegoro.

Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektare itu diubah menjadi museum pada awal 1980-an dan mulai dibuka untuk umum pada 1987.

Lebih Sedap Dipandang

Beragam lukisan yang ada di dalam Museum Mandala Bhakti. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Sejak direnovasi beberapa tahun silam, Museum Mandala Bhakti tampak jauh lebih menawan. Saat saya menyambangi bangunan bersejarah itu dua minggu lalu, kondisinya tampak jauh lebih rapi ketimbang kedatangan saya sebelumnya.

Hampir semua bagian di kompleks bangunan itu sudah bersih dan tertata. Hanya beberapa bagian di ruangan belakang yang saya lihat digenangi air, yang sepertinya memang nggak dipakai. Seorang penjaga mengatakan, museum sudah dibuka untuk umum dan bisa dikunjungi setiap hari, termasuk akhir pekan.

"Sabtu dan Minggu juga buka," terang lelaki berbadan tegap yang enggan menyebutkan namanya tersebut, lalu menghela napas pelan. "Cuman, ya beginilah, sepi!"

Memang, sejak saya menginjakkan kaki di museum, pengunjung yang datang masih bisa saya hitung dengan satu jari. Sekira satu jam di tempat tersebut, hanya ada satu keluarga kecil dengan kedua anak laki-lakinya yang berkunjung. Namun, kentara sekali antusiasme keluarga tersebut ke museum.

Loket karcis yang ada di Museum Mandala Bhakti. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Menurut si penjaga, pengunjung rutin museum biasanya datang dari kelompok belajar tertentu, kebanyakan dari jenjang TK hingga SMA. Biasanya mereka berkunjung sebagai bagian dari kegiatan rutin sekolah yang melibatkan guru dan murid.

“Yang paling rutin itu dari SMP Domenico (SMP Pangudi Luhur Domenico Savio). Selain anak sekolah, mahasiswa juga kadang datang untuk penelitian skripsi; cari data. Kalau yang dari luar kota paling satu-dua kelompok saja," terangnya menggambarkan kunjungan ke museum beberapa tahun terakhir.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya melihat Museum Mandala Bhakti memang cenderung sepi. Agak disayangkan karena lokasinya cukup strategis di pusat kota. Harga tiket masuknya pun nyaman di kantong, karena pengunjung hanya perlu mengeluarkan kocek Rp 5.000 per orang.

Saat saya tanyakan kenapa museum bisa sepi, penjaga tersebut hanya menggeleng pelan. Menurutnya, pengunjung museum nggak banyak berubah, sebelum atau setelah direnovasi dan banyak kafe didirikan di kompleks wisata ini.

“Nggak banyak perbedaan. Selama pandemi malah sepi banget. Minat orang pada sejarah dengan menengok museum kayanya sangat kurang,” ujar lelaki tersebut, lalu kembali menghela napas panjang.

Temaram dan Terasa Seram

Salah seorang pengunjung Museum Mandala Bhakti yang sedang melihat patung baju-baju tentara. (Inibaru.id/ Kharisma Ghana Tawakal)

Sendirian memasuki gedung bernuansa kolonial dengan langit-langit yang tinggi dan dinding putih nan tebal di Museum Mandala Bhakti sejujurnya membuat saya bergidik. Pencahayaan yang agak temaram dan ruangan yang terasa sepi membuat kaki saya enggan melangkah.

Beruntung, nggak lama setelah saya masuk, sebuah keluarga dengan dua anak menyusul. Mereka cukup ramai dan anak-anaknya antusias, membuat suasana menjadi jauh lebih nyaman, meski kesan seram nggak bisa saya enyahkan begitu saja.

Memasuki museum, dinding bangunan dihiasi banyak sekali lukisan, sebagian besar di antaranya adalah tentang Pertempuran Pangeran Diponegoro. Lukisan itu dilengkapi dengan pelbagai data, dokumentasi, dan barang-barang bersejarah milik TNI. serta ihwal terbentuknya Kodam IV Diponegoro.

Beberapa hal yang agak saya sayangkan dari museum yang bersih dan rapi ini adalah pencahayaan ruangan yang kurang terang. Kemudian, entah kenapa saya juga merasakan hawa pengap yang mendorong saya untuk segera keluar.

Saya juga kurang nyaman dengan pemanfaatan sebagian lantai dasar untuk kafe, sementara di luar gedung juga ada berderet-deret tempat makan. Menurut saya, hal ini justru membuat pemisahan antara museum dengan tempat makan menjadi kurang jelas.

Bangunan utama museum yang "diinvasi" tempat makan akan membuat substansi gedung bersejarah yang berisikan informasi sejarah jadi kurang mendapat sorotan. Lantai satu yang lebih ramai membuat kesan sepi kian kentara begitu naik ke lantai dua.

Tentu saja hal ini hanyalah pendapat saya. Sebagai orang yang cukup menggemari wisata sejarah dan berkunjung ke museum, sangat disayangkan kalau lokawisata seperti Museum Mandala Bhakti terus sepi dan dikenal sebagai pusat kuliner semata. Sepakat, Millens? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: