BerandaTradisinesia
Minggu, 26 Agu 2023 11:42

Tradisi Gowok, Pendidikan Seks bagi Pemuda Jawa Zaman Dahulu

Tradisi Gowok, Pendidikan Seks bagi Pemuda Jawa Zaman Dahulu

Ilustrasi: Tradisi gowok, pendidikan seks pada zaman dahulu. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Pada zaman dahulu, sebelum seorang laki-laki menikah, bisa belajar dahulu tentang seluk-beluk rumah tangga atau pendidikan seks dari seorang gowok. Apa saja yang diajarkan oleh gowok tersebut?

Inibaru.id – Sampai sekarang, pendidikan seks masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan bagi orang Jawa. Banyak orang tua nggak mau membicarakan hal ini kepada anak-anaknya. Bahkan meskipun sang anak akan melangsungkan pernikahan sekalipun.

Hal serupa juga terjadi pada zaman dahulu. Orang tua Jawa masih merasa pendidikan seks sebagai hal yang tabu dibicarakan kepada anaknya, termasuk anak laki-laki sekalipun. Bedanya, bagi laki-laki yang akan menikah pada zaman dahulu, bisa mempelajari tentang hal tersebut melalui tradisi gowok.

Tradisi gowok bermula dari kedatangan seorang perempuan bernama Goo Wok Niang dari Tiongkok. Dia sampai di Tanah Jawa bersama dengan Laksamana Cheng Ho yang legendaris tersebut pada 1415. Beda dengan masyarakat Jawa yang menganggap pendidikan seks sebagai hal yang tabu, Goo Wok Niang justru membuka konsultasi bagi laki-laki yang akan menikah untuk lebih mengetahui hal tersebut.

Sebenarnya sih, apa yang diberitahukan Goo Wok Niang lebih dari sekadar pendidikan seks. Dia mengajarkan laki-laki untuk mengenal tubuhnya, tubuh istrinya, serta seperti apa kehidupan rumah tangga sehari-hari yang lebih kompleks.

“Nggak lama setelah Goo Wok Niang buka praktik, banyak masyarakat Jawa yang menggunakan jasanya. Lama-lama praktik tersebut kemudian berubah menjadi tradisi,” tulis Eris Kuswara dalam buku berjudul Gowok Sebuah Tradisi Tabu yang Pernah Ada di Masyarakat Jawa.

Tradisi gowok dimulai dari seorang perempuan yang hijrah dari Tiongkok, Goo Wok Niang. (Koropak)

Lambat laun, nggak hanya Goo Wok Niang yang membuka praktik konsultasi serupa. Ada perempuan-perempuan lain yang juga melakukannya karena tahu bahwa banyak pemuda yang membutuhkannya untuk mengetahui cara menjadi suami sekaligus pemimpin rumah tangga yang baik. Pada akhirnya, perempuan-perempuan yang membuka konsultasi ini disebut sebagai gowok, deh.

Apalagi, upah yang diberikan orang tua yang menitipkan anaknya kepada para gowok cukup menggiurkan pada masa itu. Tarifnya sekitar 0.25 Gulden sampai 0.35 Gulden per hari. Meski begitu, ada juga orang tua yang membayar gowok dengan hasil bumi seperti beras atau kelapa.

Lantas, bagaimana ya para gowok ini bekerja? Mereka bakal berperan seperti layaknya seorang istri atau menantu. Mirip-mirip roleplaying gitu, deh.

“Gowok harus memasak makanan untuk sang pemuda dan keluarganya. Menyediakan kayu bakar, membawa pemuda itu ke tanah tempat dia bekerja, membawakan makanan, mengurus pakaian dan harta miliknya, menerima kunjungan untuknya, dan lain-lain,” ungkap R. Prawoto sebagaimana dilansir dari GNFI, (11/8/2023).

Karena perannya yang hanya roleplaying, gowok harus tahu peran dan batasnya. Dia tahu cara menahan diri dari godaan. Oleh karena itulah, nggak semua perempuan bisa menjalankan profesi ini.

Setelah masa konsultasi atau pendidikan kepada calon suami ini selesai, gowok akan memberikan laporan kepada orang tua dari pemuda tersebut. Jika sudah lulus, maka pemuda ini bisa segera dinikahkan. Jika ternyata gowok merasa gagal untuk mendidik pemuda tersebut, dia pun wajib mengembalikan seserahan. Soalnya, sang pemuda bisa dianggap belum siap untuk menikah.

Hm, penasaran ya bagaimana jika praktik gowok ini diterapkan pada zaman sekarang. Kira-kira bisa bikin heboh nggak, ya? (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Iri dan Dengki, Perasaan Manusiawi yang Harus Dikendalikan

27 Mar 2025

Respons Perubahan Iklim, Ilmuwan Berhasil Hitung Jumlah Pohon di Tiongkok

27 Mar 2025

Memahami Perasaan Robot yang Dikhianati Manusia dalam Film 'Companion'

27 Mar 2025

Roti Jala: Warisan Kuliner yang Mencerminkan Kehidupan Nelayan Melayu

27 Mar 2025

Jelang Lebaran 2025 Harga Mawar Belum Seharum Tahun Lalu, Petani Sumowono: Tetap Alhamdulillah

27 Mar 2025

Lestari Moerdijat: Literasi Masyarakat Meningkat, tapi Masih Perlu Dorongan Lebih

27 Mar 2025

Hitung-Hitung 'Angpao' Lebaran, Berapa Banyak THR Anak dan Keponakan?

28 Mar 2025

Setengah Abad Tahu Campur Pak Min Manjakan Lidah Warga Salatiga

28 Mar 2025

Asal Usul Dewi Sri, Putri Raja Kahyangan yang Diturunkan ke Bumi Menjadi Benih Padi

28 Mar 2025

Cara Menghentikan Notifikasi Pesan WhatsApp dari Nomor Nggak Dikenal

28 Mar 2025

Hindari Ketagihan Gula dengan Tips Berikut Ini!

28 Mar 2025

Cerita Gudang Seng, Lokasi Populer di Wonogiri yang Nggak Masuk Peta Administrasi

28 Mar 2025

Tren Busana Lebaran 2025: Kombinasi Elegan dan Nyaman

29 Mar 2025

AMSI Kecam Ekskalasi Kekerasan terhadap Media dan Jurnalis

29 Mar 2025

Berhubungan dengan Kentongan, Sejarah Nama Kecamatan Tuntang di Semarang

29 Mar 2025

Mengajari Anak Etika Bertamu; Bekal Penting Menjelang Lebaran

29 Mar 2025

Ramadan Tetap Puasa Penuh meski Harus Lakoni Mudik Lebaran

29 Mar 2025

Lebih dari Harum, Aroma Kopi Juga Bermanfaat untuk Kesehatan

29 Mar 2025

Disuguhi Keindahan Sakura, Berikut Jadwal Festival Musim Semi Korea

29 Mar 2025

Fix! Lebaran Jatuh pada Senin, 31 Maret 2025

29 Mar 2025