Inibaru.id - Suara melengking itu muncul pelan, seperti bisikan yang menembus kesunyian. Lalu, dalam beberapa detik, ia mengalun panjang, naik-turun bagai tembang macapat.
Malam 12 Rabiulawal di Desa Padurenan, Kecamatan Gebog, Kudus, selalu menghadirkan nada khas: selawat bercengkok Jawa yang berpadu antara kerinduan kepada Nabi Muhammad dan kekayaan budaya Jawa.
Puluhan jamaah duduk bersila membentuk setengah lingkaran di serambi Masjid Asysyarief 1, Rabu (4/9/2025). Bahkan hingga teras masjid pun penuh sesak. Nggak ada rebana, tiada terdengar hadrah. Hanya suara manusia yang saling bersahutan.
Di tengah jemaah itu, Qomarul Adib, pengasuh Pondok Paris Padurenan sekaligus tokoh agama Desa Padurenan, menyambut kami dengan senyum hangat. Seusai acara, dia menutup kitab Al-Barzanji yang dibacanya, lalu mulai bercerita.
“Maulidan Jawiyan ini sudah seperti napas bagi kami,” kata Adib, membuka percakapan. “Ini bukan sekadar peringatan Maulid Nabi. Ini cara kami, orang Jawa, mengekspresikan cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad lewat bahasa dan rasa yang kami pahami. Lidahnya Jawa, hatinya tetap untuk Nabi.”
Bukan Tradisi Baru
Adib menuturkan bahwa Maulidan Jawiyan bukan tradisi baru. Jejaknya sudah ada sejak abad ke-17, ketika seorang pendakwah bernama Raden Muhammad Syarif datang ke Padurenan.
“Beliau itu putra Bupati Sumenep, Madura, Macan Wulung Yudonegoro,” kata Adib dengan nada menurun, seolah memberi ruang bagi kisah lama itu.
“Ketika Sumenep dikuasai Belanda, Raden Syarif hijrah ke Jawa dan menetap di Padurenan. Di sinilah beliau berdakwah. Strateginya sangat indah; membumikan bacaan Al-Barzanji dan Maulid Syarf Al-Anam dengan aksen Jawa. Jadi masyarakat bisa menerima Islam tanpa merasa asing dengan budayanya sendiri,” imbuhnya.
Adib mencontohkan satu detail kecil yang bagi pendengar awam mungkin tampak sepele, yakni pengucapan kata rahim yang berubah menjadi rahem dalam cengkok Jawa.
“Itu bukan kesalahan,” ujarnya sambil tersenyum. “Itu cara agar bunyinya lebih pas dengan nada Jawa. Raden Syarif tahu, kalau masyarakat dipaksa meniru Arab sepenuhnya, mereka bisa merasa jauh. Jadi beliau mendekatkan Islam melalui telinga dan hati orang Jawa.”
Serasa Diajak Pulang ke Masa Lalu
Adib mengungkapkan, ketika malam Maulid tiba, suasana desa biasanya terasa berbeda. Lampu-lampu masjid menyala lembut, jemaah berdatangan membawa kitab, dan udara malam membawa alunan suara selawat yang mendayu-dayu, saling bersautan.
“Kalau sudah duduk di sini, rasa kantuk hilang,” ujar Adib. “Semakin larut, suara semakin nyaring, hati malah ingin ikut berselawat. Rasanya seperti diajak pulang ke masa lalu, ke zaman ketika para wali berdakwah.”
Di antara rangkaian bacaan, ada momen khas bernama tongsengan. Kata ini berasal dari bahasa Arab tausyi’an, yang berarti memperluas bacaan. Tongsengan dilakukan saat mahallul qiyam—ketika jemaah berdiri untuk menghormati Nabi.
“Ini bagian yang paling menggetarkan,” kata Adib, matanya berbinar.
Mahallul qiyam, lanjutnya, bisa berlangsung sampai satu setengah jam. Cukup lama. Namun, karena ada tongsengan, jemaah biasanya nggak terlihat merasa lelah; justru bersemangat karena selawat dilantunkan secara bersahut-sahutan.
"Ada yang memimpin, ada yang menjawab, dan semuanya jadi satu irama. Bayangkan, berdiri lama, tapi yang terasa hanya semangat dan cinta!” serunya lagi.
Tanpa Musik Pengiring
Menurut Adib, keheningan tanpa musik pengiring justru menambah kesyahduan. Acara tersebut memang sengaja nggak menggunakan pengiring rebana atau hadrah. Hanya suara manusia. Selain agar lebih khidmat, ketiadaan pengiring itu bentuk toleransi juga.
"Kami tidak ingin mengganggu tetangga yang mungkin ingin beristirahat. Namun, justru karena murni suara jemaah, orang yang mendengar dari kejauhan bisa merasakan getaran batinnya dengan saksama,” ujarnya.
Bagi masyarakat Padurenan, Maulidan Jawiyan bukan hanya ibadah, melainkan juga jembatan sosial. Seusai acara, jemaah mengeluarkan makanan yang dibawa dari rumah, mulai dari nasi dan lauk, kue, hingga teh hangat. Semua disantap bersama tanpa sekat.
“Dari sini tumbuh kebersamaan. Orang kaya, orang sederhana, semua duduk bersama,” kata Adib. “Tidak ada yang merasa lebih tinggi. Semua sama di hadapan Nabi. Itu yang kami sebut kesalehan sosial. Bukan hanya rajin beribadah, tapi juga mau berbagi dan menghormati sesama.”
Nggak hanya saat Maulid, tradisi ini juga hadir dalam momen penting warga, misalnya selamatan kelahiran anak. Setiap kali maulidan digelar, generasi tua mengajak anak-anak mereka.
“Kami sengaja mengajak anak-anak dan santri supaya mengenal tradisi ini sejak kecil,” kata Adib. “Kalau tidak dikenalkan, mereka bisa lupa. Padahal di sini ada ajaran toleransi, ada cinta Nabi, ada keindahan suara. Semua menyatu.”
Pesan untuk Generasi Mendatang
Pada akhir percakapan, Adib menatap ke arah mihrab masjid, seolah berbicara kepada masa depan. Pelan tapi penuh penekanan, dia menyampaikan harapannya terhadap tradisi ini pada masa-masa mendatang.
“Harapan saya sederhana,” ujarnya pelan. “Suara melengking Maulidan Jawiyan tetap terdengar di Padurenan, bukan hanya saat Maulid, tapi juga di acara lain. Ini warisan besar. Kalau kita jaga, anak cucu kita akan tahu bahwa mencintai Nabi bisa dilakukan dengan cara kita sendiri, tanpa kehilangan jati diri.”
Menurutnya, Raden Syarif telah mengajari satu hal yang penting untuk digenggam erat-erat oleh masyarakat, yakni bahwa agama itu mendekatkan, bukan menjauhkan. Keberadaan Islam di Jawa adalah untuk merangkul budaya alih-alih menghapusnya.
"Selawat bercengkok Jawa ini buktinya. Di setiap larik, ada cinta Nabi, ada kearifan Jawa, dan ada pesan persaudaraan untuk kita semua,” sebutnya dengan nada penuh keyakinan.
Malam semakin larut. Di luar, udara Padurenan makin dingin. Namun, suara selawat masih bergema, menembus batas ruang dan waktu. Membawa saya ke masa lalu, seolah mengantarkan perjalanan saya menuju peraduan.
Di setiap getaran nada, seolah terpatri pesan dari berabad-abad silam: bahwa cinta Nabi tak hanya bisa dibaca, tetapi juga dinyanyikan; dilantunkan dalam rentetan nada yang universal, termasuk lidah Jawa yang kita punyai. (Imam Khanafi/E10)
