BerandaTradisinesia
Senin, 20 Sep 2020 15:45

Perjanjian Giyanti, Pecah Kongsi Kerajaan Mataram, serta Berdirinya Yogyakarta dan Surakarta

Ilustrasi: Perjanjian Giyanti membagi kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. (Inibaru.id/ Triawanda Tirta Aditya)

Perebutan kekuasaan antar saudara hampir bisa dipastikan mewarnai sebuah monarki. Kerajaan Mataram Islam juga nggak bisa selamat dari perang saudara ini. Akhirnya, tercetuslah Perjanjian Giyanti yang membelah kerajaan Mataram menjadi dua; Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Inibaru.id – Kamu pernah dengar nggak sih kalau Keraton Yogyakarta dan Surakarta saudara? Yap, keduanya berasal dari satu kerajaan bernama Kerajaan Mataram Islam yang pecah kongsi.

Orang yang berjasa mendirikan Mataram Islam adalah Ki Ageng Pamanahan pada abad ke-16. Beribukota di Kotagede Yogyakarta, kerajaan ini merupakan buntut runtuhnya Kerajaan Pajang.

Sedikit gambaran betapa besarnya Mataram Islam, konon kerajaan ini pernah menyatukan sebagian besar wilayah Pulau Jawa, kecuali Kasultanan Banten dan Kasultan Cirebon. Sayang, berbagai konfik nggak bisa dihindari.

Pada 13 Februari 1755, melalui Perjanjian Giyanti, Mataram Islam pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Kesepakatan ini berlangsung di Desa Jantiharjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Keterlibatan VOC Dalam Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Perjanjian Giyanti merupakan puncak perselisihan di Kerajaan bercorak Islam tersebut. Hal itu tertulis dalam buku Mark R Woodward yang berjudul Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004).

Perjanjian ini ditandatangani oleh Mangkubumi, Pakubuwono III, dan VOC. Yap, VOC! Meski sekilas perjanjian ini seperti win-win solution dari perang saudara selama 8 tahun, tetap saja ada udang di balik batu.

Kerajaan boleh saja dibagi menjadi dua. Namun, pengangkatan para pemimpinnya harus mendapat persetujuan VOC. Kalau kongsi dagang Hindia Timur Belanda itu nggak suka, ya, jangan berharap seseorang bisa berkuasa di kerajaan.

Saat itu, yang diangkat menjadi raja di Kerajaan Yogyakarta adalah Mangkubumi. Dia bergelar Sultan Hamengkubuwono I dan dilantik pada 13 Februari 1755. Usai penetapannya, dia memerintahkan pendirian keraton dengan berbagai sarana untuk mendukung pemerintahan.

Daerah kekuasaan Sultan Hamengkubuwono meliputi bagian barat Sungai Opak, sedangkan Keraton Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III berada di sebelah timur.

Perjanjian telah disepakati, tapi muncul “perang” dalam bentuk baru seperti intrik politik, perjanjian-perjanjian perkawinan, dan persaingan budaya.

Awal Terpecah

Panggung Sangga Buwana di Keraton Solo. (Inibaru.id/ Inada Rahma Nidya)

Seperti yang diceritakan di awal, perang saudara yang terjadi di Kerajaan Mataram Islam-lah yang menyebabkan kerajaan terbelah menjadi dua poros. Saat itu, terjadi pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning. Dia merebut tahta dari Pakubuwono II (PB II) pada 30 Juni 1742.

Dengan terpaksa, PB II pergi dari Kartasura menuju Desa Solo karena keraton hancur. Lima bulan kemudian, PB II kembali dan merebut tahta. Peperangan yang nggak bisa dihindari membuat istana Mataram rusak parah.

Akhirnya, PB II memindahkan kerajaan ke Desa Solo. Pada 1749, PB II wafat dan digantikan putranya dengan gelar PB III.

Menukil situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada masa pemerintahan PB III, kehidupan politik Kerajaan Mataram sering goyah. Kemudian, perlawanan datang dari Raden Mas Said dan Pengeran Mangkubumi.

Sebagai informasi, PB II dan Pangeran Mangkubumi merupakan saudara. Keduanya adalah putra Amangkurat IV. Sedangkan Raden Mas Said merupakan cucu Amangkurat IV. Perselisihan ini muncul sejak 1746. Barulah pada 13 Februari 1755 perlawanan Pangeran Mangkubumi berhenti melalui kesepakatan Giyanti.

Hm, menurutmu Perjanjian Giyanti sudah tepat belum mengatasi perang saudara di Kerajaan Mataram Islam, Millens? Melihat kondisi sekarang ini, masih relevankah menyoal Perjanjian Giyanti ini? Ha-ha. (IB21/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024