BerandaTradisinesia
Kamis, 14 Sep 2022 11:00

Ngawu-Awu, Tradisi Petani Gunungkidul Menyambut Datangnya Musim Hujan

Ngawu-awu, tradisi petani Gunungkidul menyambut musim hujan. (Kabarhandayani/Kandar)

Petani Gunungkidul punya tradisi unik menyambut datangnya musim hujan. Tradisi tersebut adalah ngawu-awu. Dengan adanya musim hujan yang membuat air melimpah, mereka siap untuk menanam.

Inibaru.id – Di sejumlah daerah, musim hujan sudah mulai datang. Hal ini ditandai dengan frekuensi turunnya hujan yang lebih sering. Bagi para petani di Gunungkidul, Yogyakarta, musim hujan dimaknai sebagai rezeki.

Memang, daerah yang berada di Pegunungan Sewu bagian selatan ini terkenal tandus dan gersang. Karena itu, kedatangan musim hujan adalah hal istimewa. Mereka pun menyambut musim ini dengan menggelar tradisi yang disebut ngawu-awu.

Ngawu-awu merupakan istilah untuk aktivitas petani mempersiapkan tanah untuk musim tanam berikutnya. Dilansir dari Kumparan, (1/11/2019), Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul Bambang Wisnu Broto menyebut ngawu-awu masih sering dilakukan di lahan kering yang ada di zona selatan Gunungkidul. Selain mengolah tanah, para petani juga menebar benih saat melakukannya.

“Nanti petani tinggal menunggu hujan turun kemudian tanaman padi akan tumbuh,” ucap Bambang, Jumat (1/11/2019).

Hal yang serupa juga diungkap petani dari Dusun Gunungrejo, Desa Girisubo, Kecamatan Panggang bernama Maryadi. Menurutnya, ngawu-awu bisa dilakukan secara manual dengan cangkul atau memakai alat pertanian lainnya.

“Memang kalau hasil tumbuhnya tidak serapi dengan menanam padi yang langsung bibit. Tapi hasilnya sama saja,” ucap Maryadi sebagaimana dilansir dari Suara, Selasa (12/11/2019).

Lahan pertanian di Gunungkidul banyak yang mengandalkan air hujan. (Kabarhandayani)

Dia juga menjelaskan jika proses menanam ini bakal berhasil jika hujan memang datang tepat waktu. Untuk memastikannya, para petani memakai patokan penanggalan Jawa.

“Hitungannya pas hasil ngawu-awu itu tumbuh. Tapi jangan sampai telat hujan datang, karena bisa rusak benihnya,” lanjut Maryadi.

Menariknya, para petani juga nggak pengin hujan turun terlalu deras. Kalau sampai begitu, maka hasil ngawu-awu juga bakal gagal. Pasalnya, derasnya air akan membuat benih hanyut dan tembok-tembok penahan batu roboh. Hal ini tentu membuat padi yang ditanam nggak banyak yang berhasil tumbuh.

Petani yang melakukan tradisi ini bisa kamu temui di Kecamatan Nglipar, Wonosari, Ngawen, Patuk, Tepus, Tanjungsari, Girisubo, serta Rongkop. Total, lahan kering tadah hujan yang ada di Gunungkidul mencapai 42 ribu hektare. Sebagian dari lahan kering tersebut diolah dengan tradisi ini begitu musim hujan tiba.

Omong-omong ya, Millens, bertani di Gunungkidul memang nggak mudah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kondisi struktur geologis tanah di sana yang berupa karst. Struktur tanah ini sulit untuk menyimpan air. Ditambah dengan musim kemarau yang bisa saja berlangsung lama, lahan-lahan pertanian di sana pun rentan mengalami kekeringan parah.

Semoga saja ngawu-awu tahun ini berhasil dan para petani di Gunungkidul bisa panen dengan hasil yang baik, ya Millens. (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024