BerandaTradisinesia
Minggu, 20 Agu 2022 17:15

Nestapa Nyai Belanda; Hidup Terurus, Tapi Tanpa Status

Potret seorang Nyai Belanda bernama Sri dan keluarganya pada tahun 1909. (Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010).

Istilah gundik atau istri nggak resmi yang kini masih sering dipakai di Indonesia ternyata merupakan salah satu peninggalan masa peninggalan kolonial Belanda. Sebenarnya, seperti apa sih para gundik pada zaman itu?

Inibaru.id – Pada masa penjajahan, jumlah laki-laki bangsa Belanda di Hindia Belanda jauh lebih banyak dari perempuan. Hal ini membuat banyak laki-laki Belanda yang mencari pasangan dari kalangan pribumi. Sayangnya, perempuan-perempuan tersebut nggak menjadi pasangan resmi meski kehidupannya berkecukupan.

Perempuan-perempuan tersebut kerap disebut sebagai Nyai. Status mereka jelas lebih tinggi dari perempuan-perempuan pribumi lain yang biasanya dipekerjakan sebagai pelayan. Tapi, status mereka tetap dianggap nggak bisa setara dengan perempuan-perempuan Belanda.

Memang, pakaian yang dikenakan para Nyai bakal berubah jadi lebih 'berkelas'. Tapi, bagi orang-orang Belanda, mereka dianggap sebagai "istri gelap" atau yang dikenal dengan nama gundik.

Gundik dan Perbudakan

Menurut Reggie Baay di dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010), istilah Nyai berasal dari bahasa Bali untuk menyebut budak perempuan dari Bali yang datang ke Batavia pada abad ke-17. Meski wujudnya manusia, seorang nyai dianggap sebagai perabot atau barang inventaris yang bisa dilelang maupun dikembalikan ke asalnya.

Anneke pada Surat kabar De Waarheid edisi 30 Oktober 1986 menulis bahwa VOC berangsur-angsur mengukuhkan praktik pergundikan dalam kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Pria-pria Belanda butuh pelampiasan seksual di tanah yang jauh dari asalnya. Tapi, realitanya, peran para Nyai ini lebih dari sekadar teman tidur. Mereka juga diminta untuk mengurus rumah tangga.

<i>Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer yang menjadi gambaran Nyai Belanda zaman kolonial. (Film Bumi Manusia)</i>

Tidak Sah di Mata Hukum

Meski menguntungkan bagi banyak laki-laki Belanda, nyatanya banyak petinggi Hindia Belanda yang membenci keberadaan para Nyai ini. Salah satunya yang terang-terangan menentang praktik pergundikan adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4 dan ke-6 Jan Pieterszoon Coen.

Alhasil, keberadaan mereka pun nggak diakui di mata hukum. Meski menjadi pasangan dan bahkan mengurus rumah tangga para laki-laki Belanda, tetap saja mereka nggak memiliki hak kekayaan sebagaimana pasangan pada umumnya. Bahkan, andai mereka punya anak sekalipun, mereka nggak punya hak atas anak tersebut sama sekali.

Hal ini dipertegas oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848. Pada Pasal 40 dan 345, disebutkan jika hak asuh anak hasil pergundikan nggak bisa diambil ibunya, bahkan andai sang ayah sudah meninggal sekalipun.

Oleh karena itulah, banyak laki-laki Belanda yang bisa dengan seenaknya mengusir Nyai yang sebelumnya dengan sepenuh hati mengurusnya. Para Nyai ini bahkan bisa saja diserahkan ke laki-laki Belanda lainnya!

Barulah pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda melonggarkan aturan terkait anak para Nyai tersebut. Anak-anak para Nyai ini bisa didaftarkan ke administrasi negara. Mereka juga bisa memakai nama belakang ayahnya meski tulisannya dibalik. Tapi, para laki-laki Belanda ini juga mendapatkan konsekuensi berupa dipulangkan ke negara asalnya jika mengakui anak hasil pergundikannya.

Cukup menarik ya kisah hidup para Nyai pada zaman Belanda ini. Di balik kehidupan yang serba berkecukupan bersama laki-laki Belanda, mereka mengalami kesulitannya tersendiri. (His, Ali/IB31/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024