Inibaru.id – Perdebatan mengenai seberapa lama Belanda menjajah Indonesia memang masih terjadi hingga kini. Tapi, pengaruh masa kolonialnya memang sangat terasa di berbagai bidang. Tapi, ada satu hal yang mengganjal, jika memang Belanda bisa menjajah Indonesia sampai ratusan tahun, kok Bahasa Belanda seperti hilang jejaknya di Indonesia?
Bangunan-bangunan dengan nama Belanda memang masih bisa kamu temukan di Indonesia. Kata-kata serapan dari Bahasa Belanda yang kita ucapkan sehari-hari juga ada banyak. Tapi, hanya sedikit orang yang benar-benar bisa berbahasa Belanda. Memang, ada sejumlah lansia yang masih bisa melafalkannya, tapi jumlah mereka sangat sedikit dan kemampuan ini sama sekali nggak diturunkan ke anak cucunya.
Peneliti dari Belanda Kees Groeneboer ternyata pernah menulis keanehan ini dalam buku berjudul Weg Tot Het Westen, Het Nederlands vor Indie 1600-2950. Dalam tulisan tersebut, disebutkan kalau Bahasa Belanda jarang dipakai sehari-hari di Indonesia.
“Meskipun pada abad ke-18 sudah ada kurikulum pendidikan Bahasa Belanda, realitanya pengajaran itu hanya ditujukan pada orang-orang Eropa,” tulis Groeneboer.
Pendidikan di masa Hindia Belanda bagi masyarakat pribumi awalnya hanya diberikan kepada kaum elite Kristen. Bahkan, pengantar pelajaran menggunakan Bahasa Melayu. Sampai abad ke-19, tetap hanya orang-orang Eropa di Hindia Belanda yang mendapatkan pendidikan Bahasa Belanda. Andaipun ada orang pribumi, biasanya yang mendapatkannya adalah orang Indo atau keturunan Belanda-Jawa.
Orang-orang Indo ini kemudian hanya menganggap Bahasa Belanda sebagai bahasa di sekolah. Di rumah, mereka memakai Bahasa Melayu atau Bahasa Jawa. Meski pada 1850 kalangan priyayi atau bangsawan pribumi mendapatkan pendidikan, tetap saja Bahasa Belanda nggak populer.
Menurut sejarawan Galih Pranata dalam artikel "Meski Lama Menjajah, Mengapa Bahasa Belanda Tetap Tak Dikenal?" Menyebut Belanda menganggap bahaya jika sampai pribumi menguasai Bahasa Belanda.
“Mereka membatasi Bahasa Belanda agar tidak dipahami, apalagi dikuasai oleh orang pribumi,” tulis Galih.
Pada 1900-an, sekitar 2 persen dari total warga pribumi yang mengenal Bahasa Belanda. Sayangnya, pengenalan Bahasa Belanda ini juga ditujukan untuk politik memecah belah alias devide et impera.
“Orang Indonesia –Kristen (dari Suku Ambon, Manado, China Kristen, dan lain-lain), menjadi lebih Belanda dari orang Indonesia lainnya (karena mengenal Bahasa Belanda),” tulis G L Clientuar di Indische Identiteit als dynamisch begrip.
Untungnya, politik pecah belah dengan bahasa ini dikalahkan oleh tekad untuk bersatu dan merdeka para pemuda di Indonesia. Pada 1928, diputuskan kalau Bahasa Indonesia yang merupakan turunan dari Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Setelah itu, Indonesia merdeka dan Bahasa Belanda pun seperti benar-benar nggak dipakai lagi di Tanah Air.
Hm, kamu masih punya keluarga berusia lanjut yang bisa berbahasa Belanda, nggak, Millens? Kalau iya, bisa jadi dulu keluargamu adalah kalangan elit di masa kolonial. Haha. (Gnfi/IB09/E05)