BerandaTradisinesia
Selasa, 8 Jan 2024 18:08

Mengapa Kuliner Daging Anjing Banyak Ditemui di Solo Raya?

Ilustrasi: Anjing-anjing yang akan dijadikan bahan kuliner daging anjing. (Voa/Human Society International)

Temuan ratusan anjing yang akan dikirim ke kawasan Solo Raya dan diyakini bakal jadi bahan kuliner daging anjing membuat orang bertanya-tanya, mengapa kuliner nggak lazim tersebut masih populer di sana, ya?

Inibaru.id – Diamankannya satu unik truk yang mengangkut 226 ekor anjing yang nggak dilengkapi dengan dokumen resmi di Gerbang Tol Kalikangkung, Kota Semarang, pada Sabtu (6/1/2024) malam menguak fakta mengejutkan.

Ada kemungkinan anjing-anjing tersebut akan dijadikan bahan kuliner daging anjing di kawasan Solo Raya. Apalagi, kedua awak truk tersebut diketahui adalah warga Gemolong, Sragen.

Kalau menurut Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar, anjing-anjing tersebt diangkut dari Subang, Jawa Barat, dengan kondisi cukup mengenaskan karena dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan tali rafia. Ada yang bahkan diangkut dalam kondisi tergantung dan terikat.

“Dari hasil pemeriksaan sementara, mereka berasal dari Subang dan menuju ke Solo. Kami masih dalami hal ini,” ungkap Irwan Anwar sebagaimana dilansir dari Cnn, Kamis (7/1).

Temuan ini pun kembali menguak pertanyaan yang sebenarnya sudah muncul sejak lama, yaitu mengapa kuliner daging anjing cukup populer di Solo Raya? Maklum, daging hewan ini cukup nggak lazim dikonsumsi.

Terkait dengan hal ini, sejarawan asli Solo Heri Priyatmoko mengungkap sejarah terkait kuliner tersebut yang ternyata sudah membudaya di sana.

“Sudah banyak kajian yang menguak masyarakat sini sudah mengonsumsi daging anjing sejak era Majapahit. Kalau pada masa itu kulinernya disebut sebagai ‘asu tugel’ yang maknanya adalah anjing dikebiri. Yang mengonsumsi nggak hanya masyarakat biasa, melainkan juga para priyayi,” jelasnyas ebagaiman dilansir dari Tribunsolo, Minggu (18/4/2021).

Warung penjual daging anjing cukup banyak ditemui di kawasan Solo Raya dan Yogyakarta. (Narasi/Juan Robin)

Kebiasaan mengonsumsi daging anjing juga masih bisa ditemui pada masa kolonial. Menurut harian Jurnalis Bromortani tertanggal 25 Agustus 1881, peredaran daging anjing dan arak bahkan sampai dikendalikan orang-orang Tionghoa dan Eropa yang ada di kawasan Solo Raya.

“Makanan itu memang sangat laris karena budaya mabuk-mabukan dengan camilan daging anjing cukup populer pada masa kolonialisme,” lanjut Heri.

Meski kini jumlah penjualnya sudah jauh berkuang, tetap saja peminat daging anjing masih cukup tinggi. Solopos, (19/7/2023) bahkan melaporkan kalau setiap bulannya, setidaknya ada 6.500 ekor anjing yang disembelih demi memenuhi kebutuhan daging anjing di sekitar Yogyakarta dan Solo.

Namun, karena semakin dianggap sebagai penganan yang kontroversial, penjualnya biasanya memakai nama samaran agar nggak terang-terangan terlihat sebagai penjual kuliner daging anjing.

Kalau nggak disebut dengan ‘sengsu’, terkadang penganan yang mereka jual diberi nama ‘sate jamu’. Kesannya seperti berjualan satai dengan minuman tradisional, padahal sebenarnya yang dijual adalah satai daging anjing. Selain itu, terkadang kamu juga bakal menemukan nama 'guguk' atau bahkan 'scooby doo' sebagai nama samaran dari kuliner tersebut.

Di kawasan Solo, aturan yang melarang peredaran daging anjing secara resmi memang belum benar-bener terbentuk meski pemerintah setempat sempat pengin membuatnya pada September 2022. Bisa jadi, hal ini juga jadi penyebab tempat makan yang menyajikan daging anjing masih eksis di sana.

Semoga saja, aturan tersebut bisa segera dibuat agar bisa menyusul Kota Semarang, Purbalingga, Brebes, Salatiga, Karanganyar, dan Sukoharjo yang sudah secara resmi melarang konsumsi daging anjing. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Dampak Berantai Naiknya PPN 12 Persen bagi Kalangan Menengah dan Bawah

19 Des 2024

Kelanjutan Kasus Penembakan Siswa Semarang: Polda Hadirkan Saksi Ahli Laboratorium Forensik

19 Des 2024

Begini Cara Mengecek Nomor KTP Kita Terdaftar Pinjol atau Nggak

19 Des 2024

Menangis saat Menonton Film; Bukan Kelemahan, tapi Kecerdasan Emosional

19 Des 2024

Sedekade Tutup, Basement Lawang Sewu Kembali Dibuka untuk Wisatawan

19 Des 2024

Bijakkah Memaafkan Pelaku Korupsi yang Mengembalikan Hasil Korupsi Secara Diam-Diam?

19 Des 2024

Kamu Harus Tahu, Istilah Pinjol Diganti dengan Pindar!

20 Des 2024

Cek Lokasi Kamu Bisa Menikmati Pesta Kembang Api Tahun Baru 2025 di Semarang

20 Des 2024

KAI Bagikan 115 Paket Sembako untuk Penjaga Perlintasan Swadaya

20 Des 2024

Ada Paspor Depok! Seperti Apa Fungsi dan Isinya, Ya?

20 Des 2024

Pembangunan Jalan Tol Baru Disetop, 2 Proyek Jalan Tol Ini Terancam Terdampak

20 Des 2024

Medcom Kembali Gelar OSC Awards dan IREF

20 Des 2024

Ibu Rumah Tangga; Korban Terdampak Kenaikan PPN 12%

20 Des 2024

Selamatkan Aset Pemda Rp457 M, BPK Jateng Sita Gedung, Tanah, dan Kafe

21 Des 2024

Lomba Tari Piala Gubernur Jateng: Peserta Kecewa dan Minta Ganti Rugi

21 Des 2024

Mengapa Celana Dalam Superman Dipakai di Luar?

21 Des 2024

Bikin Resah Wisatawan, Pengelola Pastikan Tukang Pijat dan Pengamen Dilarang di Malioboro

21 Des 2024

PPN Naik Jadi 12 Persen, Pemilik Tabungan Kurang dari Rp100 Juta Diprediksi Bakal Semakin Sedikit

21 Des 2024

Libur Nataru 2024/2025, KA Direct Train Semarang–Jakarta Kembali Menyapa

21 Des 2024

Libur Nataru, Penumpang Kapal DLU Meningkat 10-15 Persen

21 Des 2024