BerandaTradisinesia
Jumat, 14 Okt 2021 13:30

Dua Upacara Tradisional Jawa Setelah Kelahiran Bayi: Puputan dan Selapanan

Potong rambut bayi menjadi salah satu ritual dalam selapanan. (Johnsonsbaby)

Kelahiran bayi adalah hal sakral bagi orang Jawa sehingga sebaiknya ada upacara adat untuk menyambutnya. Puputan dan selapanan adalah dua ritual yang kerap mengiringi kelahiran bayi. Kapan upacara tradisional Jawa ini digelar?

Inibaru.id - Bagi masyarakat Jawa, kelahiran bayi adalah hal yang sakral sehingga sebaiknya diadakan upacara adat untuk menyambutnya. Setidaknya, ada dua upacara adat yang akan dilakukan yakni puputan dan selapanan. Kapankah upacara ini dilakukan?

Upacara puputan akan dilakukan saat tali pusar terlepas dari perut bayi. Sebagaimana diketahui, tali pusar bayi akan mengering dan terlepas dengan sendirinya. Pada saat inilah upacara puputan atau yang dalam Bahasa Jawa disebut sebagai puput puser ini dilakukan.

Tujuan upacara ini adalah untuk memohon keselamatan bagi si bayi. Pada bayi perempuan, pusar yang baru saja mengering ditutup dengan sepasang ketumbar. Sementara pada bayi laki-laki, pusar ditutupi dengan sepasang merica.

Sebelum mengadakan upacara puputan, pihak orang tua atau keluarga biasanya akan memagari sekeliling rumah dengan benang Lawe. Setelahnya, pintu rumah diberi dedaunan seperti daun nanas, daun lolan, daun widara, dan daun girang.

Pintu rumah juga dicoreti dengan injet dan jelaga serta dipasangi duri-durian yang berasal dari pohon kemarung. Hal ini bertujuan untuk menolak sawan atau mahluk halus yang bisa membuat bayi ketakutan atau jatuh sakit.

Menipu Makhluk Halus

Bayi baru boleh ditidurkan di ranjang setelah menjelang pagi hari. (Stocksy/Yuko Hirao)

Masyarakat Jawa percaya jika ari-ari atau plasenta adalah saudara bayi saat berada dalam kandungan. Karena alasan inilah saat upacara puputan, ari-ari disandingkan dengan mainan seperti umbul-umbul, bendera, dan lain-lain yang ditempatkan pada batang pohon pisang, serta semacam payung unik.

Setelah pusar ditutupi merica atau ketumbar, bayi kemudian dipangku para sesepuh secara bergantian saat malam hari. Bayi baru boleh ditidurkan di ranjang menjelang pagi. Oya, tempat tidur bayi juga sebaiknya diberi batu gilig yang digambari bentuk manusia.

Batu gilig ini juga digendong layaknya bayi dan ditidurkan pada di ranjang. Konon, prosesi terakhir ini bisa menipu mahluk halus. Alih-alih menakut-nakuti si bayi, makhluk halus itu akan menakuti batu gilig yang dibikin menyerupai bentuk bayi. Ha-ha.

Selepas tengah malam, pemilik rumah biasanya bakal mengeluarkan nasi dan lauk pauk, termasuk pisang mas sebagai hidangan pencuci mulut bagi para tamu pada upacara ini. Setelah makan, para tamu dipersilakan pulang, meski ada pula yang memilih tetap tinggal untuk tirakatan.

Cukur Rambut Perdana

Mencukur rambut menjadi bagian dari ritual Selapanan. (Pregnant/Shutterstock)

Perlu kamu tahu, puputan pusar termasuk salah satu upacara tradisional yang lumayan rumit di Jawa. Namun, beberapa orang menyederhanakannya dengan cara membuat tumpeng yang terdiri atas nasi dan sayuran, bubur merah putih, jajan pasar, dan baro-baro. Tradisi ini dialakukan saat bayi berusia sepasar atau lima hari.

Setelah bayi berusia 35 hari, upacara selapanan digelar. Selapanan adalah upacara cukur rambut perdana pada bayi. Prosesi ini umumnya dilakukan nenek bayi yang bersangkutan. Setelahnya, kepala bayi juga diolesi air perasan dadap aren.

Saat upacara selapanan ini, pihak keluarga juga membuat tumpeng yang dilengkapi bawang merah, cabai merah, telur, dan inthuk-inthuk berupa batok bolu dengan wadah daun pisang. Inthuk-inthuk ditempatkan pada tempat tidur bayi untuk mengelabui mahluk halus sehingga bayi terhindar dari mara bahaya.

Meskipun memiliki banyak nilai tradisi yang luar biasa, sayangnya kini upacara puputan dan selapanan ini semakin jarang untuk dilakukan karena dianggap cukup merepotkan. Padahal, tradisi ini sangat menarik dan memiliki keluhuran yang luar biasa. (AS/IB)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024