BerandaTradisinesia
Kamis, 21 Des 2022 09:59

'Banyak Anak Banyak Rezeki' Muncul di Gelapnya Masa Tanam Paksa

Istilah 'banyak anak banyak rezeki' muncul pada masa tanam paksa. (Voi/Geheugen.Delper.NL/KITV Leiden)

Ternyata, istilah 'banyak anak banyak rezeki' muncul pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada masa tanam paksa. Bagaimana bisa istilah ini muncul? Begini ceritanya.

Inibaru.id – Banyak orang mengira jika istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ berasal dari ajaran agama. Tapi, sejumlah penelitian justru menunjukkan kalau istilah ini muncul pada zaman tanam paksa, zaman di mana masyarakat Nusantara sangat menderita pada zaman penjajahan Belanda.

Tanam paksa ditetapkan pada 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Saat itu, pemerintah kolonial ingin meningkatkan komoditas ekspor seperti teh, kopi, dan kakao. Pada akhirnya, banyak masyarakat Nusantara yang terpaksa bekerja keras selama bertahun-tahun di lahan pertanian.

Lantas, apa kaitan antara tanam paksa dan istilah ‘banyak anak banyak rezeki’? Hal ini dibahas dalam Seminar Nasional bertajuk Sastra: Merajut Keberagaman, Mengukuhkan Kebangsaan yang digelar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Universitas Negeri Yogyakarta pada 2017 lalu.

Dalam seminar tersebut, dijelaskan tentang penelitian yang dilakukan Ben White berjudul Munculnya Filosofi ‘Banyak Anak Banyak Rizki’ Pada Masyarakat Jawa Masa Cultuurstelsel. Ternyata, pada masa tanam paksa, kebutuhan tenaga kerja di bidang pertanian melonjak drastis.

Dalam penelitian yang dilakukan pada 1973 tersebut, terungkap bahwa pada masa tanam paksa, para petani langsung diberi tanah garapan. Beda dengan pada zaman sekarang, tanah sulit didapatkan. Pada saat itu, tanah bisa langsung dibagi-bagikan ke penduduk, dengan syarat, mereka mau menanam sebagaimana yang ditentukan pemerintah kolonial dan membayar uang sewa tanah.

Karena lahan yang luas dan tuntutan hasil pertanian yang tinggi, masyarakat Jawa pun menganggap keberadaan anggota keluarga yang banyak akan membantu mereka menggarap pertanian. Sejak saat itulah, banyak petani di Nusantara yang memutuskan untuk memiliki banyak anak. Mereka menganggap anak-anak nanti bisa menjadi tenaga kerja tambahan yang membantu menyelesaikan tuntutan pekerjaan di lahan pertanian.

Istri dan anak-anak dipekerjakan di lahan pertanian pada masa Tanam Paksa. (Twitter/sejarahkitacom)

Hal ini juga diungkap Ong Hok Ham dalam buku Madiun Dalam Kemelut Sejarah. Pada masa tanam paksa, setidaknya 64 persen keluarga, baik itu istri, anak laki-laki, serta anak perempuan ikut dipekerjakan pada lahan-lahan pertanian.

Dampak dari hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan penduduk yang sangat signifikan di eks-Karesidenan Madiun, Jawa Timur. Pada 1831, kawasan tersebut hanya memiliki sekitar 200 ribu jiwa. Pada 1867, jumlah penduduknya bahkan sudah melebihi 683 ribu!

Pertambahan penduduk yang sangat cepat ini terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa di mana tanam paksa diterapkan. Hal ini membuat pada zaman dulu, wajar melihat sebuah keluarga memiliki anak lebih dari 5 orang.

Lantas, bagaimana bisa istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ yang berawal dari tuntutan pada zaman tanam paksa bergeser seakan-akan berasal dari ajaran agama? Kalau menurut Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Nurul Irfan, sepertinya berasal dari penafsiran surah Al-Hud ayat 6.

Dari ayat tersebut, disebutkan bahwa Allah menjamin rezeki setiap mahluk hidup di dunia.

“Walau demikian, kita nggak boleh berpangku tangan dan mengharapkan rezeki itu diberikan begitu saja oleh Allah,” jelasnya terkait dengan ayat tersebut sebagaimana dilansir dari Pikiran Rakyat, (22/1/2022).

Kalau kamu, apakah meyakini istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ juga, Millens? (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024