Inibaru.id – Tanggal merah 3 Maret lalu, ponsel Putu sengaja dia matikan. Bukan takut dikejar deadline atau dihubungi atasan saat sedang asyik berlibur, lelaki yang bekerja pada sebuah perusahaan startup di Yogyakarta itu mematikan gawai lantaran menghormati ayahnya yang merayakan Nyepi, hari penting dalam ajaran agamanya.
Kendati lelaki yang enggan disebutkan nama lengkapnya itu memiliki kepercayaan lain dan nggak merayakannya, dia memilih menghormati orang tuanya yang beragama Hindu. Pada 3 Maret lalu, ayahnya dan seluruh umat Hindu di Indonesia memang merayakan Hari Raya Nyepi.
"Maaf, sampai pagi tadi kami masih menjalani Catur Brata," tulisnya membalas chat saya, Jumat (4/3/2022) pagi.
Catur Brata adalah empat penyepian yang dilakukan umat Hindu selama Nyepi, yakni Amati Geni (puasa atau pantang menyalakan api), Amati Karya (pantang bekerja), Amati Lelungaan (pantang bepergian), dan Amati Lelanguan (pantang mencari hiburan).
Meski nggak lagi tinggal di Bali, lelaki 34 tahun yang sekarang menetap di Bantul itu mengatakan, ayahnya masih setia mengikuti seluruh prosesi Nyepi. Dia, ibu, dan kedua adiknya yang berbeda keyakinan pun turut "menemani" sang ayah menjalankan ritual tersebut tanpa merasa terpaksa.
"Bagi kami, Nyepi adalah tradisi dari nenek moyang yang harus tetap dijalankan," imbuhnya.
Tahun Baru Tanpa Gegap Gempita
Perlu kamu tahu, Nyepi hari suci umat Hindu yang dirayakan setiap pergantian Saka. Saka merupakan sistem penanggalan yang hanya ada di Bali, Lombok, dan sebagian kecil di Jawa yang menganut Hindu. Artinya, perayaan Nyepi hanya ada di Indonesia.
Negara dengan mayoritas penganut Hindu seperti India nggak merayakannya. Sejak 1983, Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional di negeri ini. Penetapan tersebut membuat perayaan Nyepi menjadi lebih populer hingga sekarang.
Berbeda dengan kebanyakan pergantian tahun yang disambut meriah, Nyepi justru dirayakan tanpa perayaan. Nggak ada gegap gempita dan kembang api. Mereka justru berdiam diri di rumah dan menyepi dengan mengamalkan Catur Brata.
Nyoman Witana, lelaki asal Bali yang saya jumpai di tengah perayaan Tawur Agung Kesanga di Pura Agung Giri Natha Semarang mengatakan, mereka memiliki sejumlah pantangan selama merayakan Nyepi. Meski nggak bersifat membatalkan seperti puasa dan salat, pantangan itu harus tetap ditaati.
"Nyepi itu sarana kontempelasi," ujar lelaki yang mengaku sudah 32 tahun meninggalkan Pulau Dewata tersebut. "Tujuannya, menumbuhkan rasa tenang dan kebahagaiaan atas peningkatan hidup menuju tahun baru."
Tak Hanya Dirayakan di Bali
Sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya menganut Hindu, perayaan Nyepi terbesar memang dilangsungkan di Bali. Namun begitu, perayaan yang saban tahun jatuh pada Maret-April itu juga dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia.
Perayaan pra-Nyepi di Jawa salah satunya dipusatkan di Kompleks Candi Prambanan, candi Hindu yang berlokasi di Kota Sleman, DI Yogyakarta. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga ditutup untuk menghormati umat Hindu Suku Tengger di sana.
Selain dua tempat tersebut, masyarakat Hindu di pelbagai wilayah di Indonesia juga merayakan rangkaian perayaan Nyepi di pura yang ada di daerah mereka masing-masing. Di Semarang misalnya, rangkaian Nyepi digelar di Pura Giri Natha.
“Untuk di Jawa, tentu tidak semeriah Bali, meski antusiasme masyarakat tetap ada. Biasanya umat Hindu (dari berbagai daerah) berbondong-bondong ke pura-pura besar yang pesertanya banyak (untuk mengikuti prosesi pra-Nyepi)," ungkap Witana di sela-sela jamuan makan pasca-Tawur Agung.
Akulturasi dan Toleransi
Sebagai orang Bali yang kini menetap di Jawa, Witana mengakui ada perbedaan perayaan Nyepi di Bali dengan Jawa. Yang paling kentara, menurutnya prosesi menjelang Nyepi di Jawa lebih singkat dan nggak digelar dengan banyak upacara seperti di Bali.
"Mungkin sebagai bentuk akulturasi, menyesuaikan masyarakat Jawa," ungkap dia, yang sayangnya nggak bisa saya tanyai lebih detail karena dia keburu harus mengikuti kegiatan lain.
Mungkin akulturasi ini juga sama halnya yang dilakukan Putu, yang tetap merayakan Nyepi kendati memiliki keyakinan berbeda. Saya pun jadi teringat rangkaian acara Nyepi di Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali, yang pernah saya baca.
Nggak hanya dilakukan umat Hindu, Nyepi juga diikuti masyarakat Islam di desa tersebut. Sebagai bentuk toleransi, mereka juga turut berdiam diri di rumah, nggak pergi keluar atau melakukan kegiatan outdoor, meski tetap melakukan aktivitas seperti biasa.
Selain itu, mereka juga turut membantu umat Hindu membuat dan mengarak Ogoh-Ogoh, patung raksasa perwujudan bhuta kala yang bakal dibakar pada puncak Tawur Agung Kesanga.
Jika bentuk akulturasi budaya dan toleransi beragama ini bisa terus terjaga, agaknya pertikaian antar-agama dan budaya yang belakangan kerap menjadi isu sensitif di negeri ini bakal bisa dihilangkan, deh.
Semoga semangat "hari baru" pasca-Nyepi meliputi kita semua ya, Millens! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)