BerandaPasar Kreatif
Rabu, 3 Agu 2021 16:00

Peti Mati dan Nisan Siap Pakai di Bergota, Gimana 'Bisnis Kematian' Berjalan di Sana?

Bejo Winarno, seorang penjual nisan, peti mati, dan segala perlengkapan jenazah di area Makam Bergota. (Inibaru.di/Kharisma Ghana Tawakal)

Sepelemparan batu dari TPU Bergota Semarang, tepatnya di sepanjang Jalan Kiai Saleh, kamu bakal menjumpai banyak peti dan nisan siap pakai di pinggir jalan. Gimana 'bisnis kematian' di sana berjalan?

Inibaru.id – Hidup ini seperti melempar dadu. Maut tak tahu kapan akan datang. Setali tiga uang, nggak ada yang tahu dari mana datangnya rezeki setiap insan. Bisa jadi, kematian seseorang justru menjadi ladang keuntungan bagi orang lain, misalnya para "pebisnis kematian".

Penyedia perlengkapan jenazah, termasuk nisan dan peti mati, adalah pebisnis kematian. Mungkin terdengar kurang nyaman di telinga, tapi mereka memang meraih keuntungan dari orang-orang yang meregang nyawa. Di Kota Semarang, bisnis ini ada di sekitar Makam Bergota.

Makam Bergota merupakan kompleks permakaman umum tertua dan terluas di Semarang. Makam ini berada di jantung Kota Lunpia, tepatnya di Jalan Kiai Saleh, Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan.

Di balik sejarah dan kisah mistis yang kerap ditulis atau diceritakan orang, Bergota juga memberi sumber rezeki bagi mereka yang tinggal di sekitarnya, mulai dari penyapu makam, penjual peti mati dan nisan, hingga penyedia segala keperluan ziarah atau melayat. Merekalah para pebisnis kematian.

Peti Mati dan Nisan Siap Pakai 

Berbagai macam perlengkapan pengkuburan jenazah. (Inibaru.di/Kharisma Ghana Tawakal)

Nggak sulit menemukan para pebisnis kematian di sekitar TPU Bergota. Bahkan, hanya sepelemparan batu dari makam kamu sudah bisa melihat deretan peti mati dan nisan siap pakai yang dipajang di pinggir jalan.

Di antara para penjual peti mati dan nisan yang kebanyakan berjualan di Jalan Kiai Saleh itu, salah satunya adalah Winarno. Selain peti dan nisan, lelaki yang melakoni usaha keluarga ini juga menjual pelbagai perlengkapan jenazah yang buka tiap hari selama 24 jam non-stop.

Yap, kematian yang nggak tahu kapan datangnya memang membuat Winarno memutuskan membuka tokonya terus-menerus. Biasanya, dia bakal menjaganya bergantian dengan Endang, sang istri. Mereka juga dibantu beberapa karyawan paruh waktu yang rata-rata masih berstatus mahasiswa.

Ditemui di tokonya belum lama ini, Winarno mengatakan, usaha yang saat ini ditekuninya ini merupakan warisan dari ibunya yang didirikan sekitar 70 tahun silam. Awal mendirikan usaha, Winarno menambahkan, ibunya hanya berjualan bunga dan makanan ringan.

Toko Bunga, Lalu Perlengkapan Jenazah

Endang dan Winarno, pasangan istri-suami penjual nisan, peti mati, dan segala perlengkapan jenazah di area Makam Bergota. (Inibaru.di/Kharisma Ghana Tawakal)

Keluarga Winarno memang mempunyai kebun bunga di daerah Bandungan, Kabupaten Semarang. Kala itu, ibunya pengin membentangkan sayap dengan menjual bunga hasil kebunnya ke Kota Semarang. Sejak saat itulah ibunya "turun gunung", membuka toko kecil-kecilan di bilangan Bergota.

“Dulu toko ibu saya kecil, jualnya bunga saja disambi jualan makanan ringan seperti gorengan,” kenang Winarno.

Winarno menambahkan, toko itu mulai berkembang setelah pada 1990-an dipegang dirinya. Dari toko bunga, dia kini juga menjual berbagai perlengkapan jenazah, termasuk nisan dan peti mati. Inilah yang bikin toko tersebut kian besar.

Untuk peti mati, Winarno mengaku nggak membuat sendiri. Dia memilih mengambil langsung dari pengrajin dari Jepara yang sudah terkenal dengan kualitas produk furniturnya yang oke.

“Peti mati dari Jepara. Bagus, walau sempat agak susah pengirimannya saat wilayah Kudus (kota di sebelahnya) terpapar Covid-19 cukup parah,” curhat Winarno.

Mengakomodasi Semua Kalangan

Berbagai macam peti mati yang di jual di toko milik Winarno. (Inibaru.di/Kharisma Ghana Tawakal)

Dalam berjualan peti mati, Winarno mengaku selalu berusaha memanusiakan para pelanggannya. Dia bakal mempersilakan pembeli untuk menawar harga barang di tempatnya. Menurutnya, mendengarkan permintaan pembeli sangatlah penting, karena dia nggak hanya berjualan untuk kalangan atas.

“Semua kalangan membutuhkan perlengkapan ini ketika saatnya tiba, bukan?” ujar Winarno. Kentara sekali keseriusan di raut muka lelaki penyuka kopi ini. “Saya tahu, konsumen nggak semuanya orang mampu. Jadi, saya akan sesuaikan kocek dengan kebutuhan mereka."

Winarno memang nggak pernah tega menjual barang dengan harga yang terlalu tinggi. Untuk menjangkau semua kalangan, dia memilih menjual barang yang variatif dengan harga beragam.

“Harga paket yang paling murah Rp 750 ribu; ada nisan, papan, kain, minyak wangi, dan perlengkapan lainnya yang dibutuhkan,” jelas Winarno. "Sementara, untuk nisan saja, harga dari Rp 150 ribu hingga Rp 2,5 juta. Jenis batunya teraso, granit, dan marmer."

Selama pandemi Covid-19 yang mengakibatkan lonjakan kematian di mana-mana, Winarno mengaku nggak terkena imbas. Nggak ada peningkatan pendapatan yang cukup signifikan. Hasilnya juga nggak menentu; bisa sehari terjual sembilan paket, bisa juga sama sekali nggak ada yang beli.

Oya, pada akhir obrolan, Winarno juga mengatakan bahwa dirinya nggak terlalu mempermasalahkan pandangan orang yang berpikir bahwa dirinya mengambil keuntungan dari penderitaan dan kesedihan orang lain.

“Kita ini kan makhluk sosial; sama-sama membutuhkan. Kalau nggak jualan ini, siapa yang menyiapkan untuk yang meninggal?” jawabnya santai.

Sepakat denganmu, Pak Winarno! Bisnis kematian bukanlah usaha yang merugikan orang. Justru para pebisnis kematian membantu memudahkan penghormatan pada para jenazah. Siapa pun pada akhirnya bakal membutuhkan mereka, bukan? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024