BerandaPasar Kreatif
Jumat, 12 Jun 2025 08:06

Mimpi Teguh Budi yang Tersemat dalam Goodang Kopi Muria

Teguh Budi Wiyono, lelaki kelahiran 1974 sedang menceritakan tentang Kopi Muria di Goodang Kopi. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Berbekal wasiat sang sahabat, Teguh Budi mendirikan Goodang Kopi Muria. Dia bukan barista, tapi menjadi penghasil kopi yang dikenal di seluruh Colo, bahkan pelbagai penjuru kota di Indonesia.

Inibaru.id - Di lereng yang sunyi pegunungan Muria, tempat kabut pagi masih bersahabat dengan hijau pepohonan dan bisik angin membawa harum bunga kopi yang mekar, berdirilah Goodang Kopi Muria.

Bukan sekadar gudang atau tempat menyangrai biji-biji hitam itu jadi bubuk pekat; Goodang adalah kenangan yang hidup, sebuah wasiat yang terus tumbuh, dan harapan yang mengepul dari cangkir-cangkir kopi di kota-kota besar.

Teguh Budi Wiyono, lelaki kelahiran 1974, adalah sang juru rawat wasiat itu. Dia bukan barista, terlebih ahli kopi pada awal-awal menekuni bisnis ini. Namun, namanya kemudian justru akrab dengan aroma Kopi Muria. Semuanya berawal dari satu pesan singkat dari Sokib, sahabatnya yang nggak lama kemudian mangkat.

Oya, Goodang Kopi Muria lahir pada 2020, bertepatan gemuruh dunia yang mulai gentar oleh cengkeraman pandemi Covid-19. Jenama ini lahir tentu bukan karena rencana matang atau modal melimpah, tapi janji dan warisan semangat dari Sokib.

Teguh saat berada di tempat kerjanya sedang menyiapkan kopi (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Sokib adalah penggerak komunitas pelindung hutan sekaligus sosok yang diyakini punya mata yang menatap jauh ke depan terkait potensi kopi muria.

Nek aku rak ono, tolong rumati sing apik (kalau saya tiada, tolong rawat dengan baik),” pesan terakhir Sokib kepada Teguh terkait kopi muria; menjadi pesan sederhana yang membekas seperti aroma kopi yang menetap lama dalam gelas keramik.

Maka, sejak itulah Teguh memutuskan untuk merawat, menjaga, bahkan menghidupkan Goodang Kopi. Jadi, ia muncul bukan sebagai bisnis, tapi upaya menepati janji. Berbekal bantuan CSR dari salah satu lembaga, berdirilah tempat pengolahan kopi sederhana di Desa Colo ini.

Dari situ, langkah kecil pun dimulai. Seluruh tahap pengolahan kopi dilakukan, mulai dari penjemuran, pemilahan, roasting, hingga penggilingan biji kopi yang kini harumnya terhidu ke seluruh penjuru Kudus, kota-kota terdekat, hingga meluas sampai Jakarta, Bekasi, dan Bandung.

Dari Nol dan Dari Hati

Teguh berangkat sebagai orang awam dalam dunia perkopian. Sebagai "modal" awal, dia hanya punya biji kopi sisa panen milik mendiang Sokib. Namun, dari biji-biji itulah dia berusaha sekuat tenaga untuk mempelajari belantika itu.

“Ibarat dolanan,” kelakarnya, merendah. "Mengisi waktu."

Kopi di Goodang Kopi yang sudah siap di jual atau di kirim ke pelanggan. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Yang dimaksud dolanan adalah coba-coba; bagaimana bereksperimen untuk menemukan karakter rasa, memahami fermentasi, menyatu dengan aroma, dan menyulam cita rasa khas atau karakter Muria ke dalam bubuk hitam yang menggugah.

Dari kopi Teguh belajar bersabar. Dia menampung sedikit demi sedikit kopi dari para petani, mengolah, lalu menyeduh kepercayaan mereka. Dari lereng Muria, kopi ini perlahan dikenal di sejumlah kota besar di Jawa. Bahkan, Teguh mendaku, kopinya pernah sampai Belanda saat dibawa seorang pekerja dari Jakarta.

"Tapi seperti hidup, kopi gak selamanya manis. Permodalan tetap jadi tantangan utama," keluhnya, tapi tetap dengan seulas senyum pada ujungnya. "Saya pernah ada pada titik hanya punya uang untuk sekadar operasional dasar."

Barulah pada 2022 Teguh memberanikan diri untuk pinjam modal dari bank. Hanya Rp15 juta. Cukup untuk sekali perputaran usaha saja. Setelah lunas dalam waktu singkat, dia baru berani naik level; pinjam Rp75 juta, lalu naik lagi ke Rp100 juta.

"Pinjaman ini untuk membeli kopi basah dari 60 petani binaan saya di Desa Colo dan Japan (Kudus)," akunya. “Saya itu punya alat, punya gudang, tapi gak punya uang. Saya hanya kenal bank yang mau kasih modal buat saya.”

Merangkul dan Menjaga Keseimbangan

Menghidupkan kopi muria, Teguh kini nggak sendiri. Dia dikelilingi para petani yang makin percaya dan turut tumbuh bersamanya. Dari 4 ton kopi basah pada 2021, dia memproduksi 11 ton setahun berselang, lalu menjadi 14 ton pada 2023.

Tahun lalu produksi kopi sempat turun menjadi 7 ton akibat harga yang melambung. Namun, semangat Teguh tampak nggak mengerut. Dia percaya, musim baik akan datang kembali sebagaimana biji kopi yang perlu menunggu hujan agar kembali berbuah.

Goodang Kopi Muria bagi Teguh bukanlah semata mesin produksi. Ada napas konservasi yang terus mengalir di dalamnya. Sebagian keuntungan dari penjualan kopi dan jasa wisata disisihkannya untuk mendukung kegiatan Peka Muria, komunitas pelestari hutan yang jadi napas hijau bagi lereng Muria.

Kopi di Goodang Kopi yang sudah siap di jual atau di kirim ke pelanggan. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

“Setelah untuk dapur saya, sisanya ya untuk konservasi,” kata Teguh. “Sing penting untung; ndak akeh. Kon ngerumati kok luru untung akeh (Yang penting untung; nggak banyak. Disuruh merawat kok mau cari untung banyak)!”

Idealismenya di dunia perkopian adalah menjaga keseimbangan. Meski permintaan kopi tinggi, dia mengaku enggan mengambil jatah tengkulak yang lebih dulu ada. Baginya, dunia kopi bukan tentang menang sendiri, tapi gimana cara untuk tumbuh bersama, berbagi rezeki, dan merawat alam tempat semua ini bermula.

Kini, Goodang Kopi Muria telah menjelma jadi representasi aroma pegunungan Muria bagi para penikmat kopi di berbagai tempat. Permintaan petik merah sebanyak 10 ton dari luar negeri pernah datang. Namun, Teguh enggan gegabah.

Menurutnya, petani di Muria kala itu belum siap. Maka, alih-alih memikirkan untung dan rugi, dia memilih mosisikan diri untuk menjadikan kopi sebagai seni menjaga irama tanam, panen, dan keberlanjutan hidup petani.

Dia nggak mau kopi muria tinggal nama pasca-panen itu. Yang diharapkannya adalah kopi ini tetap hidup, harum, dan menjadi cerita. Sebab, menurutnya di balik tiap gelas kopi, ada petani yang tersenyum dan hutan yang tetap hijau, sebagaimana sebagaimana wasiat sahabatnya.

“Kami terima kopi mentah atau basah, lalu dijemur sampai kering,” papar Teguh, matanya menerawang jauh. "Kopi kemudian dijual mulai dari green bean (kopi sebelum disangrai) hingga bubuk siap seduh."

Sebagian Besar dari Colo

Teguh sedang mengecek kopi dan pecking (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Kopi yang dijual Goodang Kopi Muria sebagian besar berasal dari petani dari kebun-kebun di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Teguh mengatakan, sekitar 63 persen berasal dari wilayah pegunungan tersebut, sedangkan sisanya diambil dari daerah lain.

"Nah, para petani ini rata-rata enggan 'petik merah' atau ketika kondisi ceri (buah kopi) 80 persen merah. Mereka bilang ribet, padahal justru di situ kualitas terbaiknya," tuturnya.

Panen pertama, lanjutnya, biasanya untuk konsumsi sendiri. Yang kedua barulah disebut panen raya. Sementara, panen ketiga baru mereka jual, setelah kebutuhan pribadi terpenuhi. Jadi, dalam setahun, masa panen dibagi menjadi tiga.

"Panen pertama sekitar Juni–Juli, lalu Agustus–September, dan terakhir Oktober. Untuk pola distribusi hasil, sekitar 10 persen untuk kebutuhan rumah, 80 persen panen raya, dan 10 persen sisanya masuk pasar," tambahnya.

Dengan situasi seperti ini, Teguh paham betul bahwa kopi Muria butuh perhatian lebih karena banyak petani di Colo tetap memilih bertahan dengan cara lama ini. Namun, dia enggan menyebutnya sebagai sebuah kelemahan, tapi ciri khas.

“Perawan kuno,” kelakarnya lalu terkekeh, “yang penting kopinya tetap enak!”

Kopi di Goodang Kopi yang sudah siap di jual atau di kirim ke pelanggan. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Permasalahan yang menurutnya jauh lebih krusial saat ini sebetulnya adalah peremajaan pohon kopi, karena rata-rata sudah berusia cukup tua. Di kebunnya, pohon kopi sudah berumur 30 tahun, sedangkan di sekitar Muria rata-rata sudah berusia 25 tahun.

"Sudah waktunya diganti yang muda dan sehat,” jelasnya. "Menurut saya, keberlangsungan kopi bukan soal musim panen hari ini, tapi warisan untuk masa depan."

Harapannya kini tersemat pada Goodang Kopi Muria. Mimpi-mimpi kecil tentang kehidupan yang layak di kaki Muria digantungkan di situ. Nggak muluk-muluk, karena dia tahu bahwa jalan kopi nggak selalu harum. Namun, dia meyakini, selama masih dirawat dengan hati, kopi muria akan tetap hidup dengan caranya sendiri.

“Kalau bisa,” ujarnya pelan, tapi tegas, “anak-anak muda jangan cuma jadi penonton. Turun ke kebun, belajar olah, belajar jual. Kopi bisa jadi jalan hidup kalau dirawat bareng-bareng.”

Dia bermimpi, suatu saat nanti, Colo dan desa-desa sekitarnya nggak hanya dikenal karena ziarah atau pemandangan alamnya, tapi juga kopinya. Kopi rakyat. Kopi jujur. Kopi yang lahir dari tangan-tangan lokal, tanpa banyak polesan.

Keinginannya sederhana: Kopi tetap tumbuh dan para petani bisa hidup lebih layak; lalu anak muda nggak lagi mencari penghidupan ke kota, karena harumnya masa depan bisa hadir dari secangkir kopi pagi di lereng Muria.

Yen ora iso sugih, yo sing penting iso nguripi. Ojo mung dadi tukang nandur, kudu wani ngelola lan ngadeg dewe (Kalau nggak bisa kaya, yang penting bisa menghidupi. Jangan cuma jadi tukang menandur, harus berani mengelola dan berdiri sendiri), pungkas Teguh.

Tatapannya kembali dilempar jauh-jauh menelusuri bukit tempat kabut pagi pelan-pelan menari turun. Di lereng Muria yang sejuk, kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah janji yang diseduh dengan setia. (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: