BerandaPasar Kreatif
Jumat, 30 Okt 2025 14:42

Masa Depan Media dan Adaptasi Ruang Redaksi di Era Akal Imitasi

FGD bertema “Sustainability Media di Era Digital” di Dreamlight World Media, Kabupaten Semarang pada Rabu, 29 Oktober 2025. (AMSI)

Gelombang AI generatif telah mengancam masa depan media. Namun, Ketua AMSI menegaskan bahwa teknologi hanyalah alat. Untuk beradaptasi di era imitasi, ruang redaksi perlu melakukan diversifikasi bisnis, integrasi teknologi, dan mengadopsi kesepakatan yang adil untuk bertransformasi.

Inibaru.id - Nilai-nilai jurnalisme yang begitu relevan bagi industri media kian dimentahkan oleh realitas hari-hari ini. Gelombang digitalisasi dan penetrasi kecerdasan buatan atau "akal imitasi" (AI) generatif yang semakin deras menghantam ruang redaksi, memaksa mereka mencari pijakan baru.

Di satu sisi, ancaman misinformasi meningkat, sementara rekening yang kering membuat laju media kian nggak gesit, tersendat, bahkan gulung tikar di banyak kota. Upaya mencari solusi pun datang dari DPRD Jawa Tengah melalui Focus Group Discussion (FGD) bertema “Sustainability Media di Era Digital”.

Bertempat di Dreamlight World Media, Kabupaten Semarang, Rabu (29/10/2025), forum ini menjadi arena pertarungan antara akselerasi teknologi dengan tuntutan etika, yang bermuara pada satu kesepakatan yang solid cum tegas, bahwa teknologi hanyalah alat, sedangkan hati nurani jurnalis adalah kompas utama.

CEO Tempo Digital, Anak Agung Gde Bagus Wahyu Dhyatmika, mengungkapkan bahwa "krisis global" ini nggak hanya dirasakan media lokal, tapi juga media nasional. Namun begitu, lelaki yang akrab disapa Bli Komang meyakini bahwa AI bukanlah ancaman mutlak.

"AI adalah realitas baru yang harus diintegrasikan secara cerdas," tutur sosok bersahaja yang saat ini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) tersebut.

Keterlibatan, Bukan Nilai Berita

Komang nggak menafikan fakta bahwa pendapatan iklan media terus menurun akhir-akhir ini. Di banyak negara seperti AS, Inggris, dan Australia, lebih dari 70 persen belanja iklan digital kini dikuasai oleh Google dan Meta, sementara media konvensional hanya memperoleh sekitar 5 persen.

"Ini ironis. Di tengah peningkatan jumlah pengguna internet, pendapatan iklan media justru terus menurun," sebutnya.

Menurutnya, platform besar dan algoritma rekomendasi kini menjadi penjaga gerbang baru, yang menentukan apa yang dilihat audiens, yang seringkali bukan berdasarkan nilai berita, melainkan potensi keterlibatan (engagement).

"Dampaknya, konten sensasional dan partisan lebih cepat naik ke permukaan dibandingkan liputan mendalam yang faktual," jelasnya.

Ketergantungan terhadap platform digital menciptakan dilema bagi media karena lalu lintas kunjungan ke laman berita kini lebih bergantung pada media sosial dan mesin pencari, sementara rekomendasi algoritmik menurunkan jangkauan "berita bagus" yang menerapkan prinsip dan nilai jurnalisme.

"Ditambah adanya tekanan politik dan keterbatasan iklan pemerintah, independensi ruang redaksi pun kian dipertaruhkan," ungkap Komang.

Beradaptasi dengan AI

FGD bertema “Sustainability Media di Era Digital” di Dreamlight World Media, Kabupaten Semarang pada Rabu, 29 Oktober 2025. (AMSI)

Kepercayaan publik terhadap berita di media sosial juga rendah, diperburuk oleh meluasnya disinformasi dan maraknya konten palsu yang disebarkan oleh akun anonim maupun sistem otomatis.

"Tanpa perubahan model bisnis media, masalah keterlibatan audiens dan keberlanjutan finansial akan terus berulang,” simpul Komang dalam pemaparannya.

Solusinya adalah dengan beradaptasi. Sebagaimana diketahui, perkembangan teknologi AI, mulai dari machine learning hingga generative AI, telah mengubah cara kerja di ruang redaksi. Mesin mampu menulis berita, membuat gambar, video, bahkan meniru suara manusia hanya dari perintah teks.

"Produksi berita menjadi mudah. Banyak media memanfaatkan teknologi ini untuk efisiensi dan diversifikasi format," terang Komang.

Namun, kemudahan itu datang bersama risiko besar. Perlu diketahui bahwa generative AI dapat menciptakan deepfake, konten sintetis yang tampak realistis, padahal sepenuhnya palsu. Survei global menunjukkan bahwa 71 persen masyarakat belum memahami apa itu deepfake.

"Ini membuat mereka semakin rentan terhadap manipulasi digital. Bahkan, data internal Tempo mencatat adanya peningkatan signifikan penyebaran konten palsu berbasis AI selama 2024," paparnya.

Etika dan Diversifikasi Pendapatan

Komang pun mengingatkan pentingnya mengembangkan AI yang etis (ethical AI), yakni akni kecerdasan buatan yang tetap menghormati agensi manusia, nilai kemanusiaan, dan konteks lokal. Etika ini sudah diatur oleh pemerintah maupun Dewan Pers.

Pemerintah Indonesia telah menempuh langkah strategis dengan Peraturan Presiden No 32 Tahun 2024, yang mewajibkan platform digital menegosiasikan kesepakatan komersial dengan penerbit untuk konten jurnalistik berkualitas.

Sementara, Dewan Pers melalui Regulasi No 1 Tahun 2025 memperkuat landasan hukum dan etika penggunaan AI dalam jurnalisme. Regulasi ini diharapkan dapat melindungi hak cipta, memastikan kompensasi yang adil bagi penerbit, serta menegakkan transparansi dalam algoritma dan sumber data pelatihan AI.

Selain etika, Komang juga menekankan pentingnya kolaborasi untuk meningkatkan pendapatan. Mengacu pada model bisnis media global seperti News Corp, The New York Times, The Guardian, hingga eldiario.es, kemandirian media dapat dicapai melalui diversifikasi pendapatan seperti langganan digital, keanggotaan, hingga bundling produk.

"Model baru bahkan muncul, yaitu B2A2C (Business-to-AI-to-Consumer), di mana media melisensikan kontennya kepada platform AI untuk disalurkan ke pengguna lewat asisten digital atau chatbot," paparnya.

Kolaborasi di Atas Kompetisi

FGD bertema “Sustainability Media di Era Digital” di Dreamlight World Media, Kabupaten Semarang pada Rabu, 29 Oktober 2025. (AMSI)

Untuk menuju ke sana, Komang menyebutkan, media perlu menata ulang infrastrukturnya seperti memperkaya metadata dan API, memperkuat integrasi teknologi AI, dan meningkatkan literasi data serta etika digital di ruang redaksi. Selain itu, media juga perlu mengubah mindset dari kompetisi menjadi kolaborasi.

"AMSI telah mengembangkan aggregator konten nasional yang menghimpun artikel dari hampir 100 media anggota AMSI. Ini membuka peluang kolaborasi dengan startup lokal yang sedang mengembangkan AI generatif berbasis bahasa Indonesia untuk dilatih menggunakan konten berita nasional," kata dia.

Langkah ini bukan hanya bentuk kemandirian teknologi, tetapi juga upaya menciptakan ekosistem berbagi data dan pendapatan antarmedia.

“Kita perlu memastikan AI yang tumbuh di Indonesia berpijak pada nilai-nilai lokal dan semangat keberagaman,” tegasnya.

Untuk itulah Komang memetakan tiga hal yang perlu diupayakan untuk menuju masa depan media yang tangguh. Yang pertama adalah Diversifikasi, yakni mengurangi ketergantungan pada iklan dan mulai membangun pendapatan berbasis pembaca.

"Yang kedua adalah Integrasi AI. Mulai susun konten terstruktur, siapkan tim lintas disiplin, dan bangun keahlian berlisensi," ujarnya.

Terakhir, adalah Adopsi B2A2C. Jalin kesepakatan adil dengan platform AI, pastikan adanya transparansi dan pengawasan editorial.

“Untuk bertahan, media harus berevolusi secara bertahap; engage dengan pembaca, adaptif dengan AI, lalu membangun model baru yang berkelanjutan,” tutupnya.

AI bukan akhir dari jurnalisme, tapi level baru yang perlu disikapi media dengan bijak, bersama-sama, dan penuh integritas. Saat dunia kian diatur oleh algoritma, ruang redaksi memang harus adaptif, tapi tetap mengedepankan humanisme untuk menjaga kepercayaan pembaca. (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: