Inibaru.id – Kelengkeng, kelengkeng bandungan… Milih Sing Wutuh opo milih eceran. // Kelengkeng, Kelengkeng Bandungan … Kulite tipis isine kandel tenan..
Begitulah penggalan lagu mendiang Didi Kempot yang berjudul "Kelengkeng Bandungan". Begitu populernya kelengkeng Bandungan di mata pelancong, membuat buah satu ini diabadikan dalam lirik lagu sang legenda campursari top satu ini.
Memang, nggak afdol rasanya bertandang ke kecamatan yang terbentang di punggung Gunung Ungaran ini tanpa membeli lengkeng atau kelengkeng. Kamu bisa menemukan deretan lapak penjual buah bercita rasa manis ini sepanjang jalan dari Pasar Jimbaran hingga Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Sebagian besar kelengkeng yang dijual di Bandungan mereka tanam sendiri. Di kecamatan tersebut, kelengkeng termasuk komoditas pertanian yang menjanjikan karena harganya yang cenderung mahal. Kelengkeng umumnya dijual dengan harga Rp 25 ribu hingga 35 ribu ribu per kilogram.
Bagi masyarakat Bandungan, memiliki pohon kelengkeng dan menjual hasilnya di pinggir jalan adalah hal yang lazim, nggak terkecuali Lavi Khoirunisa. Sudah sembilan tahun dia memasarkan kelengkeng dari kebunnya sendiri. Saat musim panen, dia meletakkan kelengkeng-kelengkeng itu di warung es kelapa muda kepunyaannya.
“Kelengkeng ini hasil panen sendiri. Panen beberapa hari lalu, langsung dijual," terang Lavi kepada Inibaru.id, belum lama ini.
Perempuan 27 tahun tersebut mengaku sudah menjual lebih dari 20 kilogram kelengkeng hari itu, yang dijual seharga Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu tiap kilogram, tergantung kualitasnya. Selain dari hasil panen sendiri, dia juga mendapatkan kelengkeng dari warga lain.
Kelengkeng Kopyor dan Batu
Warga Bandungan umumnya menanam dua jenis kelengkeng di rumah mereka, yakni kelengkeng kopyor dan kelengkeng batu. Kedua jenis kelengkeng itu punya harga yang berbeda. Lavi menuturkan, kelengkeng batu biasanya dijual paling mahal.
“Kelengkeng batu jenisnya macam-macam. Ada lokal malian (persilangan batu dengan kopyor). Ada super-batu. Yang malian harganya Rp 30 ribu (per kilogram,” ungkap perempuan yang berjualan di Jalan Kendalisodo Bandungan ini.
Kelengkeng lokal ini, imbuh Lavi, umumnya memiliki rasa yang beragam dengan kadar kemanisan yang juga variatif. Buahnya relatif lebih kecil ketimbang produk impor yang belakangan juga menyerbu Indonesia.
"Kelengkeng lokal nggak semanis impor," ungkap Lavi. “Beginilah kelengkeng lokal yang asli ditanam orang dulu. Ada yang kurang manis, ada yang manis. Ada yang dagingnya tebal, ada yang keset.
Perlu kamu tahu, kelengkeng batu merupakan varietas yang lazim ditanam di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kementerian Pertanian mencatat, kelengkeng jenis ini cocok ditanam di dataran medium hingga tinggi.
Di Jateng, kelengkeng tersebar di Salatiga, Temanggung, dan Kabupaten Semarang. Sementara, di Jatim, buah bernama Latin Dimocarpus longan Lour ini banyak ditemukan di Malang, Blitar dan Batu. Besar kemungkinan kelengkeng yang tersebar di Bandungan juga dikembangkan di Kota Batu.
Bersanding dengan Kelengkeng Impor
Yahi Ahmad, seorang penjual buah-buahan di Bandungan, mengaku menjajakan kelengkeng lokal maupun impor. Untuk memenuhi kebutuhan pasar, penjual buah yang sudah menjajakan kelengkeng selama 30 tahun itu mengambil kelengkeng dari petani lokal, selain kelengkeng impor dari Bangkok.
Yahi mengungkapkan, kelengkeng yang bisa berbuah kapan saja membuat dirinya hampir setiap hari bisa menyediakan kelengkeng untuk para pembeli. Dia juga selalu punya stok kelengkeng yang didapatkan dari petani setempat.
“Selalu ada klengkeng dan selalu nerima dari petani, meski kecil,” ungkap perempuan 50 tahun tersebut.
Baca Juga:
Sanggar Walesan, Toko Alat Pancing dan Custom Joran Semarang yang Tak Pernah Sepi PelangganMenurut Yahi, warga Bandungan biasanya punya pohon kelengkeng di pekarangan rumahnya. Jika dirawat dengan benar, satu pohon kelengkeng bisa menghasilkan panen yang nggak kurang dari satu kwintal. Nah, di tempatnya, kelengkeng lokal itu bersanding dengan kelengkeng impor.
Kelengkeng impor yang dimaksud Yahi adalah kelengkeng bangkok yang dagingnya tebal dan rasanya sangat manis. Dibanding kelengkeng lokal, kelengkeng impor tersebut tampak unggul segala-galanya. Namun, menurut Yahi, tiap orang punya selera masing-masing.
"Lokal maupun impor, lapaknya sama-sama laris, kok. Yang namanya selera kan nggak bisa dipaksa," tandasnya.
Kalau kamu kebetulan sedang jalan-jalan ke Bandungan, jangan lupa membeli buah yang juga sering disebut mata kucing ini ya, Millens! (Zulfa Anisah/E03)