BerandaPasar Kreatif
Minggu, 7 Sep 2024 13:00

Hari-Hari Memanen Garam di Desa Tanggul Tlare Jepara

Sukahar sedang mengumpukan kristal-kristal garam yang tampak berkilau di tambak yang digarapnya, Rabu, 4 September 2024. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Hari-hari ini, petani garam di Desa Tanggul Tlare Jepara mulai mendulang kristal-kristal berkilau dari air laut yang disemai berminggu-minggu lalu.

Inibari.id - Desa Tanggul Tlare, Kecamatan Kedung, Jepara, telah lama dikenal sebagai salah satu sentra produksi garam di Jawa Tengah. Dengan hamparan tambak garam yang luas, desa ini menyumbangkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan garam di Indonesia.

Proses produksi garam yang penuh perjuangan dan kearifan lokal menjadi daya tarik tersendiri. Sukahar, salah seorang petani garam dari Desa Tanggul Tlare, saat ditemui beberapa hari yang lalu menjelaskan pembuatan garam di wilayah itu merupakan proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran.

“Proses pembuatan garam di Desa Tanggul Tlare melibatkan beberapa tahap, mulai dari persiapan lahan, pengisian air laut, penguapan, hingga pemanenan," tuturnya.

Menurut Sukahar, petani garam laut sangat menggantungkan hidupnya pada cuaca karena kristalisasi garam sangat dipengaruhi oleh seberapa cepat air laut menguap. Artinya, semakin terik, proses penguapan akan berlangsung lebih cepat.

Sukahar menunjukan salinometer atau alat pengukur salinitas (keasinan), yang berguna untuk memprediksi lamanya waktu air laut menjadi kristal garam. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

"Cuaca yang cerah sangat menguntungkan kami. Sebaliknya, hujan yang turun tiba-tiba dapat merusak hasil panen. Kalau sudah begitu (kehujanan), kami terpaksa mengulangi seluruh proses dari awal lagi," terangnya.

Selain itu, salinitas atau tingkat keasinan air laut juga disebutkannya akan memengaruhi seberapa cepat air garam mengkristal. Untuk mengukurnya, dia mengaku mengandalkan alat pengukur salinitas yang dikenal sebagai salinometer.

Sedikit informasi, alat pengukur salinitas bekerja dengan mengukur konduktivitas listrik atau sifat lain dari suatu cairan untuk memperkirakan konsentrasi garam terlarut. Dengan menggunakan alat tersebut, petani garam pun bisa memprediksi kapan dia bisa mulai memanen garam yang ditanamnya.

“Kalau air di sini harus berusia 20 atau 25 baru bisa panen,” jelas Sukahar sambil menunjukan salinometer kepunyaannya.

Harga yang Fluktuatif

Salah seorang petani garam di Tanggul Tlare sedang memindah garam untuk diangkut ke tempat penampungan. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Cuaca yang berubah-ubah tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Namun, itu bukanlah satu-satunya kendala yang seringkali dihadapi para petani garam di Desa Tanggul Tlare. Sukahar mengatakan, harga jual garam yang fluktuatif juga acap menyulitkan petani.

"Kendala kami adalah harga garam yang berubah-ubah. Kalau pas turun, petani seperti kami sudah tentu kesulitan memperoleh keuntungan yang cukup," keluhnya.

Sukahar menambahkan, hingga sekarang fluktuasi harga garam belum menemukan solusi. Untuk panen periode ini, dia mengaku harganya sedang turun. Dibandingkan panen sebelumnya, harganya turun hingga 40 persen.

“Kami sekarang jual Rp60 ribu per tombong (keranjang bambu untuk wadah garam). Panen sebelum ini Rp100 ribu per tombong," paparnya. "Per tombong berisi kurang lebih satu kuintal garam."

Menggunakan garu panjang, Sukahar mengumpukan kristal-kristal garam di tambak garapannya. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Selain itu, Sukahar juga mengeluhkan persaingan produk antara garam bikinannya dengan garam impor yang semakin ketat. Menurutnya, persaingan harga dan kualitas ini tentu saja akan berpotensi besar menggerus keberlangsungan usaha petani garam tradisional seperti dirinya.

"Kami tentu merasa terancam. Apalagi garam impor sekarang sudah membanjiri pasaran. Saya dan para petani garam tradisional ini waswas dengan keberlangsungan usaha kami," jelasnya.

Kendati demikian, Sukahar tampaknya enggan menyerah begitu saja dengan kondisi sekarang ini. Bersama para petani lain yang tersisa di Tanggul Tlare, dia terlihat optimistis mendaku diri sebagai produsen garam laut dari Jepara.

"Harus gigih menjalani pekerjaan ini. Tapi, kami telah memiliki keahlian dan pengalaman turun-temurun untuk mengolah garam, meski dengan peralatan seadanya," tukasnya.

Seorang petani garam di Tanggul Tlare sedang memindah garam untuk diangkut ke tempat penampungan. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Garu, cangkul, dan pelbagai peralatan tradisional lain yang digunakan Sukahar dan kawan-kawan adalah saksi bisu dari perjuangan para petani garam di Desa Tanggul Tlare. Di bawah terik matahari, mereka mendulang garam bulir demi bulir, sembari berharap musim hujan nggak segera tiba.

"Bagi kami, garam dari Tanggul Tlare bukan semata komoditas, tapi juga warisan budaya yang perlu kami lestarikan dan wariskan," ungkapnya, mengambang.

Kendati ada keraguan, Sukahar berharap produksi garam di desanya bakal bertahan lama dan terus berkembang sehingga mampu menggaransi kehidupan yang jauh lebih memadai bagi masyarakat setempat.

"Semoga produksi garam ini akan terus menghidupi kami, terus berkembang, dan bisa diwariskan ke anak cucu kami ke depan," simpul Sukahar sembari memandang puas hasil panennya dari kejauhan.

Panjang umur, garam laut dari Desa Tanggul Tlare! (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT