BerandaPasar Kreatif
Rabu, 3 Sep 2024 18:26

Gerabah Mayong, Makin Legam Makin Menawan

Pembuatan kendi masih dilakukan secara manual menggunakan keterampilan tangan. (Inibaru.id/ Alfia Ainun Nikmah)

Bukan putih mengilat, pembakaran gerabah Mayong justru dianggap berhasil jika berwarna makin legam.

Inibaru.id - Jepara dikenal luas sebagai Kota Ukir. Namun, Mayong Lor, salah satu desa di kabupaten tersebut, justru masyhur oleh produk gerabahnya. Masyarakat setempat bahkan diyakini sudah sangat lama menjadikan kerajinan berbahan dasar tanah liat ini sebagai sumber pendapatan mereka.

Oya, Mayong Lor adalah bagian dari Kecamatan Mayong. Pada musim kemarau seperti sekarang, desa yang berjarak sekitar 25 kilometer ke arah selatan dari pusat kota ini biasanya akan terasa lebih terik dan berdebu. Namun, justru kondisi itulah yang paling dinantikan para perajin gerabah setempat.

Salah satu pusat produksi gerabah di Mayong Lor berada di Dusun Bendowangen. Di dusun tersebut, terdapat 15 perajin yang masih aktif berproduksi, salah seorang di antaranya adalah Zakiya. Perempuan paruh baya itu sudah lama menekuni gerabah, tapi baru 12 tahun terakhir mendirikan usaha sendiri.

"Mulai dari bapak, dulu jual keramitan (gerabah kecil bercat warna-warni untuk mainan) ambil dari orang, kemudian kami memberanikan diri untuk mendirikan usaha sendiri," tutur Zakiya di rumahnya, belum lama ini.

Menurut Zakiya, produksi gerabah di Mayong Lor bermacam-macam, tapi dirinya dan suami mengaku hanya fokus pada pembuatan kendi dan cobek. Untuk yang belum tahu, kendi adalah penampung air berbentuk silinder, sedangkan cobek merupakan alat penghalus bumbu berbentuk seperti piring besar.

"Secara umum, pembuatan gerabah sama saja. Ada empat tahap, yaitu penyiapan tanah, pembentukan, penjemuran, dan pembakaran," terang perempuan 50 tahun tersebut. "Kendi dan cobek termasuk yang sulit dibikin, tapi banyak dicari."

Proses yang Panjang

Kendi yang sudah dibakar memiliki warna hitam yang lebih mengilat. (Inibaru.id/ Alfia Ainun Nikmah)

Pembuatan gerabah, Zakiya melanjutkan, sepenuhnya berbahan dasar tanah liat yang dihaluskan menjadi "adonan" dengan cara digiling memakai mesin molen. Selanjutnya, tanah yang sudah digiling dijadikan bulatan-bulatan kecil untuk dibentuk atau dicetak.

"Istilahnya, di-gebeki atau dibuat per adonan. Untuk kendi, karena dibikin satuan, adonan dibentuk bulatan seperti bikin kue, terus dibentuk; sedangkan untuk cobek cukup dicetak pakai mesin pres," kata dia.

Untuk cobek, dalam sehari Zakiya mengaku bisa mencetak 300 cobek berukuran 18-22 sentimeter. Sementara, pembuatan kendi jauh lebih sulit karena harus per bagian, mulai dari corong, leher, cucuk, hingga badannya. Setelah dirangkai, kendi didiamkan dulu sebelum masuk proses ngabang.

"Ngabang itu proses mewarnai; kendi yang belum terlalu kering di-abangi (dibikin merah) dengan tanah merah halus yang dicampur air," tuturnya. "Proses ini dilakukan tiga kali."

Agar tampilan luarnya lebih halus, kendi yang sudah memerah diampelas memakai kain kelambu. Setelah itu, barulah kendi dibakar di atas api selama kurang lebih empat jam. Zakiya mengatakan, proses pembakaran tahap pertama menggunakan kayu bakar, selanjutnya pakai sekam.

"Jika kayu sudah berubah jadi arang, pembakaran diganti memakai sekam yang asapnya bisa bikin kendi jadi hitam mengilap. Makin hitam, makin bagus," terangnya. "Pembakaran dilakukan per tiga hari, sekitar 1.000 kendi dan 1.000 cobek."

Menjanjikan Kualitas

Proses pengiriman area yang diangkut menggunakan peti dari kayu supaya tidak mudah pecah. (Inibaru.id/ Alfia Ainun Nikmah)

Dalam memproduksi gerabah, Zakiya mengaku mementingkan kualitas ketimbang kuantitas. Meski harga tanah liat belakangan terus naik, dia nggak berani menurunkan kualitas karena hanya dengan cara itulah dia bisa bersaing dengan produk serupa dari bahan lain.

"Kami berani kasih garansi kalau ada pembeli yang menerima barang, setelah dicoba, ternyata retak, bocor, bahkan pecah. Barang boleh dikembalikan, kami ganti," serunya.

Kendati sudah berhati-hati dan mengecek secara mendetail selama pembuatan, dia memang nggak bisa memastikan gerabah yang diproduksinya pasti berfungsi dengan baik karena berbagai alasan. Namun begitu, dia selalu berusaha menjaga kualitas dan melakukan pengepakan sebaik mungkin.

"Pengemasan kami pastikan aman karena kami packing pakai peti biar kualitas barang terjaga," kata dia sembari menata gerabah-gerabah yang sudah setengah jadi.

Karena sudah berlangsung belasan tahun, dalam pembuatan gerabah Zakiya mengaku nggak mempunyai kendala berarti, kecuali cuaca. Saat musim penghujan tiba, dia mengatakan, waktu penjemuran bisa berlangsung hingga seminggu.

"Yang saya khawatirkan justru generasi penerus usaha gerabah ini. Setelah generasi kami, kayaknya kok nggak ada lagi, karena anak muda sekarang pada lari ke pabrik," keluhnya.

Dalam usaha apa pun, tenaga terampil yang terus diregenerasi memang dibutuhkan. Maka, sangat disayangkan jika akhirnya produksi gerabah yang menjadi ciri khas Mayong Lor harus terhenti total lantaran nggak ada lagi seniman yang membuatnya. (Alfia Ainun Nikmah/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT