BerandaKulinary
Jumat, 9 Sep 2021 11:58

Mukti Cafe dan Siasat Mengenalkan Tembakau Nusantara di Kalangan Anak Muda

Beberapa baris toples berisi tembakau yang terdapat di lantai satu Mukti Cafe. (Inibaru.id/ Bayu N)

Mukti Café menyimpan satu misi yang cukup serius: Mengenalkan tembakau Nusantara di kalangan anak muda. Apa saja yang mereka lakukan?

Inibaru.id - Budaya Tionghoa dan Arab terasa menyatu di Jalan KH Wahid Hasyim, Kranggan, Kota Semarang. Tepat di persimpangan menuju Pasar Semawis, ada satu bangunan tua berlantai dua dengan lampu redup di depannya. Inilah Mukti Cafe, tempat kopi dan tembakau bisa dinikmati bersamaan.

Bangunan yang berdiri tepat di hadapan gapura bertuliskan "Pecinan Semarang" itu memang sangat menarik. Dari namanya, jelas sekali ini merupakan tempat ngopi atau makan. Namun, Mukti justru lebih terkenal di kalangan pencinta tembakau ketimbang pencinta kopi atau kuliner di Kota Lunpia.

Sejak awal, Mukti memang kentara sekali mengusung konsep tobacco-cafe. Sebelum menjadi kafe, tempat ini adalah toko tembakau. Konsep tersebut masih dipertahankan di lantai dasar, sedangkan untuk kedai kopi dan penganan ditempatkan di lantai dua.

Jauh sebelum kios tembakau menjamur di Kota Semarang, Mukti sudah mengawalinya lebih dulu. Di lantai satu, kamu bisa melihat toples-toples kaca berjejer memanjang berisikan berbagai macam tembakau yang didatangkan dari berbagai tempat.

Lantai dasar berbentuk memanjang itu memang dikhususkan sebagai toko tembakau. Kamu bisa nongkrong di sudut ruangan sambil menikmati tembakau dengan melintingnya sendiri di ruangan tersebut. Maka, sangat wajar kalau begitu masuk aroma tembakau terasa kuat menusuk hidung.

Sementara, lantai dua yang terasa lebih cozy merupakan kedai kopi, tentu saja masih dengan persediaan tembakau yang boleh kamu cicipi juga. Setelah melewati tangga besi melingkar, kamu akan disambut ruangan kecoklatan dengan peranti zadul tapi terasa hangat.

Bekas Gudang Tembakau

Radika (kanan) pengelola Mukti Cafe bersama baristanya yang akrab dengan pengunjung. (Inibaru.id/ Bayu N)

Bangunan Mukti Cafe telah berdiri sejak 1895. Pengelola Mukti Ngabdulrahman Radika mengatakan, bangunan itu semula merupakan gudang dan toko tembakau bernama Toko Tembakau Mukti kepunyaan keluarga Kusuma Atmaja Agung.

Radika, begitu dia biasa disapa, semula adalah pelanggan tembakau di toko tersebut. Dia yang cukup rajin membeli tembakau di sana menjadi akrab dengan pemilik toko. Nah, pada 2014, Radika mengajak pemilik toko untuk bekerja sama.

“Awalnya kepikiran pengin mengenalkan tembakau secara luas, terutama di kalangan anak muda. Lalu, muncul ide untuk bikin kafe," tuturnya sembari melinting tembakau srintil di bar Mukti, belum lama ini. "Anak muda kan biasanya suka nongkrong!”

Setelah berbicara serius dengan sang pemilik bangunan, keduanya pun mencapai kesepakatan. Nggak lama kemudian, lahirlah Mukti Cafe dengan tobacco cafe sebagai konsep utamanya.

Titik Kumpul Berbagai Komunitas

Sebelum berbentuk cafe, Mukti adalah sebuah toko tembakau bernama Toko Tembakau Mukti. (Inibaru.id/ Bayu N)

Jangan membandingkan Mukti dengan coffee shop modern yang bertebaran di pusat kota Semarang, karena tampilan luar kafe yang buka hingga tengah malam itu pastilah bakal kalah! Laiknya deretan bangunan di kawasan tersebut, Mukti memang tampak kusam dari luar, dengan lampu luar yang temaram.

Memasuki bangunan, kamu juga nggak bakal menemukan interior ruangan yang edgy. Yang ada hanyalah toples-toples kaca berukuran besar berisikan tembakau yang diletakkan di atas meja-meja kayu tua yang sudah menghitam.

Sekilas melihat, tempatnya terkesan kusam dengan lampu, kursi-meja, hingga peranti di kafe yang zadul. Pun demikian dengan suasana balkon di lantai dua. Pada malam hari, nggak ada pemandangan alam yang menarik di luar bangunan, kecuali suasana pecinan yang mulai terlelap dan muram.

Namun, entah kenapa Mukti justru menjadi magnet banyak orang dan acap menjadi titik kumpul berbagai komunitas. Mungkin karena suasananya yang hangat dengan interior yang didominasi warna coklat dan sentuhan kayu-kayuan. Atau, bisa jadi barista dan pengelolanya yang ramah?

Menanggapi pertanyaan itu, Radika hanya tertawa. Menurutnya, justru kesan zadul itulah yang pengin diusung Mukti. Dia mengaku sengaja menarik perhatian orang, khususnya anak muda, dengan menampilkan suasana yang bernuansa sepia yang fotogenik.

Tembakau dan Teman-temannya

Suasana lantai dua di Mukti Cafe yang <i>cozy. </i>(Inibaru.id/ Bayu N)

Kios tembakau yang bertebaran di Kota Semarang dalam dua tahun terakhir nggak menyurutkan pamor Mukti Café. Peminatnya justru kian banyak. Nggak hanya untuk ngelinting tembakau atau mencicipi rokok khusus di sini, sebagian pengunjung juga datang karena tempatnya yang ikonik.

Dari segi konsep, Mukti memang terbukti berhasil menjadi magnet untuk anak muda di Kota Semarang. Bahkan, nggak sedikit pejabat di Kota Lunpia mampir ke Mukti. Radika mengatakan, konsep kafe yang dikelolanya saat ini adalah yang pertama. Jadi, wajar kalau orang-orang datang ke sini.

"Penjual tembakau di Semarang ada banyak; tapi tobacco-café, setahu saya di sini yang pertama."

Radika menambahkan, tujuan utama dia mendirikan kafe adalah untuk memperkenalkan tembakau ke masyarakat luas. Konsepnya pun otomatis bakal nge-highlight produk tembakau. Jadi, dia akan dengan senang hati melayani obrolan pengunjung seputar tembakau.

Selain itu, agar pembeli bisa menjajal sebelum membeli dalam jumlah banyak, dia juga melayani pembelian dalam jumlah kecil, minimal 10 gram. Menurutnya, ini pun bisa menjadi salah satu trik untuk lebih bisa mengenalkan tembakau ke masyarakat luas.

“Kalau anak muda biasanya, kan, agak berat misal harus beli langsung 1 ons. Nah, dengan beli 10 gram, selain harganya lebih ringan, mereka bisa icip-icip berbagai tembakau dulu,” akunya. "Biar variatif, kami juga menyediakan cerutu, pipa, dan kretek atau klobot."

Oya, kamu yang baru kali pertama datang ke Mukti ada baiknya melihat-lihat dulu atau jangan segan untuk bertanya ke bar, menu apa yang sebaiknya dijajal dan tembakau apa yang kudu dicicipi. Tenang, mereka ramah-ramah, kok, Millens! (Bayu N/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024