Inibaru.id - Agustus hingga Sepetember menjadi waktu yang mendebarkan bagi sebagian besar warga Temanggung, Jawa Tengah. Inilah saatnya panen raya. Belasan ribu hektare tembakau yang tersebar di seluruh penjuru kecamatan biasanya siap dipanen pada bulan-bulan tersebut.
Tahun ini agaknya petani Temanggung bisa agak bernapas lega karena cuaca cukup baik. Kemarau datang bertepatan dengan musim panen. Biasanya, saat-saat ini anak sekolah sudah diliburkan; atau mereka akan memilih bolos sekolah untuk membantu orang tuanya memanen tembakau.
Bagi masyarakat Temanggung, tembakau memang segala-galanya. Mereka tentu berharap, komoditas yang biasanya sudah memiliki penadah pabrik-pabrik rokok besar dan menengah itu bisa mendapatkan harga yang cukup tinggi untuk menyambung hidup.
Harga tembakau untuk saat ini memang seharusnya meningkat. Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengatakan, permintaan bahan baku rokok dari pabrikan besar tercatat meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, kedai tembakau rajangan juga tengah menjamur di Tanah Air.
Laiknya kopi, tembakau agaknya juga mulai naik pamor. Saat ini, nggak sulit menemukan kedai atau gerai modern yang menjadikan tembakau sebagai dagangan utamanya. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya tren rokok tingwe di kalangan anak muda.
Oya, tingwe adalah akronim dari ngelinting dewe atau melinting sendiri. Ini merujuk pada kegiatan melinting secara manual tembakau rajang kering untuk dijadikan rokok. Dulu, cara tersebut dilakukan masyarakat perdesaan, khususnya orang tua, yang enggan atau nggak bisa menikmati rokok pabrikan.
Namun, tren itu agaknya mulai berubah. Kini, menjadi hal yang lazim saat ada tiga hingga empat pemuda duduk mengelilingi meja bundar dengan sebungkus tembakau kering, papir, lem, dan gunting di sebuah kafe; sibuk memilin tembakau untuk dirokok.
Pertanyaannya, kenapa tren ini mencuat lagi?
Muncul setelah 'Hiatus' Panjang
Tingwe bukanlah tren baru di kalangan anak muda Tanah Air. Tren ini sudah sempat ada belasan tahun silam. Namun, bombardir rokok pabrikan berharga miring yang membanjiri pasaran membuat tingwe mengalami "hiatus" panjang.
Setelah lama menghilang, tren tingwe kembali muncul dalam beberapa tahun terakhir, yang mencapai puncaknya pada awal 2020 lalu, tapi segera turun pamor menjelang akhir tahun. Namun, gelombang baru rokok tingwe kembali datang pertengahan tahun ini.
1. Antara Ngirit dan Melawan
Dulu kamu mungkin pernah mendengar orang-orang yang sengaja memilih mengisap rokok tingwe alih-alih rokok pabrikan sebagai bentuk perlawanan. Bagi petani tembakau, perangai ini tentu mulia sekali! Namun, apakah kegiatan ngelinting yang sekarang lagi tren ini juga bentuk perlawanan? Hm, entahlah!
Fatir Alfath, salah seorang karyawan di Marinero, toko tembakau yang berlokasi di wilayah Tembalang, Kota Semarang, mengatakan, orang yang datang mencari tembakau di tempatnya biasanya punya motif yang beragam. Namun, dia jarang melihat orang dengan motif sebagai bentuk perlawanan terhadap pabrik rokok.
"Ya, ramai di sini, didominasi anak muda. Motifnya beragam, tapi yang paling umum sih biar lebih ngirit," terangnya sembari menimbang tembakau yang dipesan seorang pelanggan. Sore itu, Jumat (27/8/2021), Marinero terlihat lengang, tapi pembeli datang silih berganti.
Menurut Fatir, selain karena ikut-ikutan, salah satu faktor yang paling memengaruhi naiknya tren tingwe adalah pertimbangan harga. Kalau dihitung-hitung, perbedaan harga rokok pabrik dengan tembakau kiloan memang cukup signifikan, lo!
Pemuda berambut agak kriting tersebut kemudian mulai membuat hitungan. Seorang perokok aktif, kata dia, mungkin menghabiskan sebungkus rokok pabrik dalam 1-2 hari. Haranya sekitar Rp 20 ribuan. Sementara, setengah ons tembakau yang harganya cuma belasan ribu bisa dinikmati untuk 3-4 hari.
“Di tempat kami, minimal beli adalah setengah ons dengan harga Rp 18 ribu, bahkan bisa lebih murah. Tembakau setengah ons untuk 3-4 hari pemakaian,” tutur Fatir. "Jadi, sudah jelas tingwe menghemat cukup banyak pengeluaran."
2. Tampilan Baru yang Lebih Edgy
Tren tingwe yang muncul sekarang bukanlah yang pertama di Indonesia. Belasan tahun lalu, tren ini sudah sempat ada dan kemampuan melinting rokok menjadi skill yang sangat diperhitungkan di tongkrongan, karena nggak semua orang bisa melakukannya dengan rapi dan pas takarannya.
Saat itu pelinting rokok mungkin selevel dengan barista saat ini. Namun, perkembangan teknologi rupanya membuat kemampuan melinting nggak lagi dianggap sebagai keahlian. Alat melinting rokok portabel banyak dijual di marketplace. Harganya murah, takaran bisa disesuaikan, dan hasilnya rapi.
Inovasi ini hanyalah satu dari sekian banyak teknologi penunjang yang membuat tren tingwe semakin berkembang. Tembakau yang dulu hanya dijual di pasar atau kios kecil dengan varian alakadarnya, kini telah naik level. Tempatnya lebih modern, jenis tembakau yang dijual juga lebih variatif.
Membeli tembakau kini laiknya menyambangi coffee shop. Kiosnya tampak berkelas, karyawannya pun wangi dengan penampilan edgy. Bahkan, nggak sedikit kios yang menyediakan meja dan kursi untuk duduk santai sembari ngudud.
3. Jenis dan Rasa yang Variatif
Sedekade lalu, rokok pabrikan mungkin hanya berkutat dengan bentuk fisiknya, yakni antara filter versus kretek, light versus bold, atau slim versus regular. Namun, tren itu berubah dengan kemunculan rokok rasa-rasa. Setali tiga uang, tingwe juga kian menarik karena pilihan varian rasa yang kian banyak.
Di kios tingwe modern, kamu biasanya bakal ditawari pelbagai jenis tembakau dengan karakter yang berbeda-beda laiknya kopi. Beberapa jenis tembakau yang umum antara lain Harumanis dari Lombok, Srintil dari Temanggung, atau Gayo dari Aceh.
"Rasa tembakau Nusantara ini sudah barang tentu nggak bisa kita temukan di rokok pabrikan," terang Fatir. Lelaki muda ini tampak cukup paham dengan dunia pertembakauan.
Selain jenis yang variatif, belakangan juga muncul tembakau dengan flavor yang beraneka ragam, mulai dari coklat, stroberi, hingga wiski.
“Kalau ini, biasanya anak muda (yang minat),” tandasnya.
Seperti kata Fatir, tiap orang punya motif sendiri-sendiri untuk beralih ke tingwe. Bisa jadi mereka hanya mengikuti tren atau memang punya sesuatu yang diperjuangkan. Namun, hal ini tentu menjadi angin segar untuk petani tembakau yang mendiami banyak sudut di Indonesia.
Jadi, semoga meningkatnya konsumsi tembakau ini juga akan berimbas baik terhadap nasib para petani tembakau di seluruh negeri ini ya, Millens! (Bayu N/E03)