Inibaru.id - Penangkapan aktivis lingkungan dari Walhi Jawa Tengah Adetya Pramandira atau lebih akrab disapa Dera bersama pasangannya, Fathul Munif, oleh Polrestabes Semarang pada akhir November 2025 lalu, menggulirkan ingatan saya pada Semarang Climate Strike yang saya ikuti pada November lalu.
Sedikit informasi, Semarang Climate Strike adalah aksi lingkungan yang merupakan bagian dari Global Climate Strike, gerakan serentak yang digelar di berbagai negara untuk memberi tekanan moral dan politik kepada para pemimpin dunia.
Untuk 2025, aksi global tersebut digelar bertepatan dengan penyelenggaraan COP30, Konferensi Perubahan Iklim PBB yang tahun ini digelar di Belem, Brasil. Aksi itu dimaksudkan untuk menjadi sebuah momentum krusial ketika masa depan kebijakan iklim dunia kembali dipertaruhkan.
Secara peristiwa, perhelatan itu telah selesai. Namun, justru karena aksi itulah muncul pertanyaan yang relevan untuk dilontarkan, yakni sejauh mana kita punya ruang aman untuk bersuara tentang krisis yang mengancam hidup bersama ini?
Penangkapan Dera dan deretan aktivis lingkungan di Indonesia hari-hari ini adalah gambaran bahwa narasi dan isu iklim, lingkungan, dan keadilan ekologis, begitu sulit dimaknai sebagai bentuk peringatan. Ia lebih mirip gangguan, provokasi, atau disebut sebagai aksi melawan hukum.
Di titik inilah ingatan saya kembali pada para peserta aksi yang merupakan masyarakat sipil; keluarga dan anak-anaknya, mahasiswa, komunitas literasi, hingga tokoh lintas iman. Mereka beriringan dalam barisan untuk menyuarakan satu kegelisahan yang sama, bahwa Bumi sedang tidak baik-baik saja.
“(Semarang) Climate Strike bukan sekadar aksi simbolik, tapi upaya kolektif untuk mengingatkan bahwa keputusan para pemimpin dunia berdampak langsung pada kehidupan masyarakat,” ujar Koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam Ellen Nugroho, yang seketika membuat saya mengiyakan dalam hati.
Mengangkat tema “Just Transition Now”, long march di jantung Kota Lunpia untuk kampanye keadilan iklim ini sepenuhnya relevan, karena kita tinggal di "selatan". Perlu kamu tahu, dibanding negara-negara "utara", emisi karbon kita sejatinya relatif kecil, tapi dampak pemanasan global justru paling kentara di sini.
Arus pasang air laut yang mengakibatkan banjir "rob" di pesisir, suhu kota yang makin panas, krisis air, hingga kerentanan pangan, adalah dampak paling nyata dari pemanasan global itu. Nah, ketimpangan inilah yang ingin disuarakan dalam kampanye yang dipusatkan di jalur protokol Semarang tersebut.
Saya senang melihat aksi damai ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, seakan menunjukkan bahwa isu lingkungan adalah masalah bersama. Generasi muda, anak-anak, keluarga, organisasi lingkungan, mahasiswa, hingga para tokoh lintas agama tampak menyerukan kegelisahan yang sama.
"Sejak kali pertama digelar pada 2019, Semarang Climate Strike memang selalu menghadirkan generasi muda," terang Ellen. "Pesan utamanya jelas; jangan sampai kebijakan hari ini, yang banyak dibuat oleh generasi tua, mewariskan Bumi yang tidak lagi layak dihuni bagi generasi muda.”
Bencana akibat kerusakan lingkungan di Sumatra dan berbagai wilayah di Tanah Air adalah tamparan keras bagi kita; sebuah peringatan keras bahwa kita belum sepenuhnya menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan betapa besar kerusakan yang telah kita buat.
Maka, sebagaimana dikatakan Ellen, tujuan utama climate strike bukanlah semata untuk unjuk diri di jalanan, tapi mencoba membangun kesadaran publik. Perubahan iklim adalah isu kompleks yang sarat istilah ilmiah sehingga sering terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.
"Di sinilah peran aksi publik dan media menjadi penting. Membumikan isu, menjadikannya dekat, dan terasa relevan," jelasnya. "Lalu, bersama-sama menyebarkan pemahaman, mengubah gaya hidup, dan mendesak pemangku kebijakan agar serius mempercepat transisi dari energi kotor ke energi bersih."
Ellen menyadari, perubahan sosial nggak mungkin dikerjakan sendirian. Maka, krisis perubahan iklim yang merupakan isu bersama seharusnya bisa menyentuh semua orang, tanpa terkecuali. Keberhasilannya bukanlah besarnya massa, tapi seberapa jauh pesan tersampaikan.
"Tolok ukurnya seberapa luas isu ini dibicarakan dan seberapa kuat jejaring yang terbentuk untuk gerakan lanjutan, karena krisis iklim bukan persoalan satu hari, satu aksi, atau satu generasi," tuturnya.
Ke depan, krisis iklim, pemanasan global, dan isu-isu lingkungan serupa, mungkin akan semakin akrab kita dengar, bahkan saksikan dan alami. Jika orang-orang yang memberi peringatan agar kita meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan ditangkapi, siapa lagi yang akan melakukannya?
Dengan atau tanpa orang-orang yang menyuarakan, krisis iklim akan tetap berlangsung. Kita berubah atau tidak, pemanasan global akan tetap terjadi. Jika bukan kita, mungkin anak cucu kita yang menanggung dampaknya. Maka, masih bisakah berpangku tangan?
Dera adalah gambaran kecil betapa sulitnya melakukan kampanye lingkungan di Indonesia saat ini. Hanya dengan menumbuhkan kesadaran bersama kita bisa berkelindan menjaga lingkungan. Ingatlah bahwa Bumi bukanlah warisan, tapi titipan untuk generasi mendatang! (Marita Ningtyas/E10)
