Inibaru.id - Sebagai salah satu klub tertua di Indonesia, Putri Mataram Sleman masih konsisten selama setengah abad lebih membina sepak bola perempuan. Tak mudah bagi mereka bisa bertahan sejauh itu di tengah stereotip gender yang ada pada masyarakat Jawa.
Dulu, pada medio 1970, Putri Mataram Sleman bersama Putri Priangan Bandung dan Buana Putri Jakarta jadi tonggak berdirinya klub-klub sepak bola perempuan di Indonesia. Setelah ketiga klub tersebut sering mengikuti turnamen, baru bermunculan klub-klub sepak bola perempuan lainnya.
Berdasarkan buku Wanita dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia 1969-1998, klub Putri Mataram Sleman mulanya berasal dari siswi yang bersekolah di Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Yogyakarta. Sekolah ini salah satu pencetak olahragawan dan olahragawati di Indonesia.
Kala itu para siswi SMOA Yogyakarta diseleksi guna mengikuti sebuah turnamen sepak bola perempuan di Kota Bandung. Selepas turnamen itu, pangeran Yogyakarta saat itu alias Sri Sultan Hamengkubuwana IX meminta pengurus sepak bola perempuan yang dulu bernama Ikatan Olahraga Indonesia diganti menjadi Putri Mataram.
Tanggal 17 Juli 1971 dicatat jadi sejarah kelahiran Putri Mataram. Kehadiran klub ini didedikasikan untuk mendorong emansipasi perempuan dalam olahraga yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki.
"Sekitar tahun 2005 kami pindah homebase dari Kota Yogyakarta ke Rogoyudan, Mlati, Kabupaten Sleman. Sesuai aturan, kami harus ikut Askab PSSI Sleman. Nama klub kemudian ada sedikit penambahan jadi Putri Mataram Sleman," ucap pelatih Putri Mataram Sleman, Sri Hastuti, pada Inibaru.id beberapa waktu lalu.
Minim Dana
Jika Putri Priangan Bandung mendapat sokongan dana dari klub Persib Bandung, dan Buana Putri Jakarta mendapat sokongan dana dari perusahaan koran, tidak demikian dengan Putri Mataram Sleman. Dari dulu hingga sekarang, biaya operasional dan lain-lain hanya mengandalkan iuran dari pengurus dan pemain.
Dalam satu dekade terakhir, Putri Mataram Sleman tidak memungut biaya bulanan. Tetapi ketika ada turnamen di luar kota, barulah orang tua pemain dimintai iuran untuk mengakomodasi biaya transportasi, penginapan dan lain-lain.
"Kami latihan gratis saja jarang ada yang minat, apalagi bayar," kelakar perempuan yang akrab disapa Itut tersebut. "Saya rela melatih anak-anak dari tahun 2005 nggak mendapat bayaran!".
Ya, menurutnya sepak bola perempuan tidak bisa dijual. Berbeda dengan laki-laki, ketika ada liga banyak orang membeli tiket menonton. Sementara jika sepak bola perempuan ada liga, maka yang menonton hanya orang yang suka saja.
Melahirkan Pemain Berbakat
Dalam perjalanannya, Putri Mataram Sleman telah memiliki segudang prestasi. Dulu, klub ini selalu menjadi yang terbaik setiap ada turnamen ditingkat regional maupun nasional.
Klub yang identik dengan jersey berwarna hijau ini juga sering mencetak pemain berbakat. Sebut saja Rr Azizah, Annisa Febiana, dan Nafhizah Nuraini yang beberapa tahun terakhir mendapat panggilan untuk memperkuat Timnas Sepak Bola Putri Indonesia.
Selain itu, ada juga nama Tugiyati Cindi, Idea Rifqi Agustin, hingga Suciana Yuliani yang sudah malang melintang memperkuat Timnas sepak bola maupun futsal putri Indonesia.
Tidak mudah bertahan hingga sejauh ini. Semangat dan tekad para atlit serta pelatih Putri Matraman Sleman ini memang patut kita acungi jempol. Nah, buat kamu yang pengin melihat bagaimana mereka berlatih, datang saja ke latihan rutin setiap Rabu, Jumat, dan Minggu di Lapangan Nogotirto, Sleman! (Fitroh Nurikhsan/E10)