BerandaInspirasi Indonesia
Minggu, 9 Apr 2022 11:50

Ketika 'Penyembah Pohon' Berusaha Selamatkan Gunungkidul dari Kekeringan

Anggota Komunitas Resan sedang menanam pohon yang bisa menjaga sumber air. (Vice/Alfian Widiantono)

Pada 2021, 16 dari 18 Kapanewon di Gunungkidul mengalami kekeringan parah di musim kemarau. Nah, ada satu komunitas 'penyembah pohon' yang berusaha mengatasi masalah ini. Mereka adalah Komunitas Resan. Seperti apa ya aksinya?

Inibaru.id – Selain dikenal dengan tempat wisata alam yang indah, Kabupaten Gunungkidul di Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal rentan mengalami kekeringan, khususnya di musim kemarau. Demi mencegah masalah kekeringan ini semakin parah, Kelompok Resan yang sering dikenal sebagai para ‘penyembah pohon’ pun melakukan aksinya.

Apa yang dilakukan Kelompok Resan ini sebenarnya sederhana, yakni menanam pohon, menjaga mata air, dan menjaga keseimbangan alam. Meski begitu, dampaknya bisa sangat besar karena bisa memberikan manfaat bagi banyak orang.

Sayangnya, sejumlah warga menganggap mereka sebagai ‘penyembah pohon’ atau bahkan ‘merawat setan’. Hal ini disebabkan oleh aksi mereka yang juga mengedepankan kearifan lokal. Ketika beraksi, mereka juga melilitkan kain ‘langse’ pada pohon besar yang ada di tepi Kali Gowang, mirip dengan yang dilakukan orang Bali.

Ritual nglangse dikenal warga Yogyakarta sebagai cara untuk memuliakan pohon-pohon berusia tua dan berukuran besar. Biasanya sih, pohon-pohon ini dikeramatkan dan dianggap punya penunggu. Meski begitu, sebenarnya cara mengeramatkan pohon bisa membuat nggak ada orang berani menebangnya dan akhirnya kondisi alam di sekitarnya terjaga, Millens.

Selain nglangse dua pohon besar di tepi Kali Gowang dan Petilasan Gunung Bagus, pada 20 Maret 2022, Komunitas Resan Gunungkidul melakukan ritual memule leluhur. Ritual ini bernuansa kejawen karena melibatkan sesaji, membakar dupa dan menyan, serta merapalkan doa. Usai ritual ini dilakukan, anggota komunitas konservasi ini kemudian menanam bibit pohon.

“Ini bentuk kula nuwun ke penunggu tempat yang tidak terlihat. Bahwa kita mau nanam pohon, titip anak pohon ke ibu bumi di sini supaya dijaga dan tumbuh,” ungkap Sigit Nurwanto yang merupakan dalang berusia muda dan pemimpin ritual doa dari Komunitas Resan.

Komonitas Resan melakukan ritual nglangse, melilitkan kain pada pohon berukuran besar untuk memuliakan keberadaannya. (Vice/Alfian Widiantono)

Nama Resan dipilih dari dua kata Bahasa Jawa Kawi, yakni reksa yang berarti menjaga serta wreksa yang berarti pohon besar. Sebagaimana namanya, anggota komunitas ini merawat pohon-pohon besar yang dianggap sebagai penjaga mata air dan tanah sekaligus menjaga sumber air agar nggak tercemar dan tetap lestari.

Nah, pohon-pohon resan juga bisa dianggap sebagai pohon berukuran raksasa yang ada di dekat mata air, telaga, sungai, dan sumber air lainnya. Pohon ini punya akar yang bisa memastikan air tetap terikat di tanah sehingga saat kemarau panjang, dedaunan pohon ini tetap hijau dan tanah di sekitar akarnya tetap gembur.

Di Indonesia, pohon resan bisa berupa beringin, bambu, trembesi, jambu alas, randu, timaha, asem, gayam, bulu, kepuh, serta gandhok.

“Menanam adalah budaya yang sangat tua, sebab, dari dulu manusia hidup dari apa-apa yang tumbuh di bumi. Hampir semua mitos dan sejarah peradaban bermula dari pohon. Pohon itu saudara tua manusia,” terang Edi Padmo, anggota komunitas lainnya.

Belajar dari kekeringan parah yang terjadi di Gunungkidul pada musim kemarau 2021 yang membuat 16 dari 18 kapanewon di sana mengalami krisis air, komunitas ini pun semakin giat menanam pohon setiap pekan sejak awal 2022. Tercatat, mereka sudah menanam pohon di Paliyan, tebing Pantai Nggunggap, dan Gunung Sumilir.

Meski begitu, sejak 2018, komunitas ini sudah menanam lebih dari 13 ribu bibit pohon, lo.

“Kalau dulu pohon-pohon resan secara alami menjaga kita, sekarang karena banyak ancaman, ‘simbah-simbah’ (pohon tersebut) harus kita jaga. Dengan kita jaga mereka, mereka menjaga kita,” pungkas Edi.

Sungguh aksi menjaga alam yang luar biasa dari komunitas 'penyembah pohon' ini ya, Millens? (Vic/IB09/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024