BerandaInspirasi Indonesia
Minggu, 26 Des 2020 21:00

Emiria Sunassa, Perempuan yang Melukis Feminisme

Emiria dan lukisannya. (Historia.id)

Nama Emilia Sunassa nggak begitu populer karena kemunculan dan kepergiannya yang begitu tiba-tiba. Tapiu dirinyalah perupa perempuan pertama yang menempatkan perempuan sebagi subjek lukisan. Dialah yang menuangkan feminism dalam goresan kuasnya.

Inibaru.id – Emiria Sunassa mungkin bukan perupa perempuan yang namanya dikenal oleh masyarakat luas. Namun, perempuan kelahiran Tanawangko (Kampung Tidore), Sulawesi Utara pada 1894 ini disebut-sebut sebagai pelukis perempuan pertama di Indonesia.

Dilupakan dari ingatan masyarakat, sebenarnya siapa sosok Emiria Sunassa ini?

Emiria dikenal aktif sebagai pelukis sejak pameran pertamanya yang diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1940. Diselenggarakan di Toko Buku Kolf, karya Emiria yang dipajang dalam pameran tersebut berjudul "Telaga Warna".

Selain itu, karyanaya berjudul “Pekuburan Dayak Penihing”,Orang-orang Papua”, dan Kampung di Teluk Rumbolt” juga pernah tampil dalam pameran perintis pelukis pribumi, Batavia Kunstkring pada 1941.

Bahkan, karyanya yang berjudul “Pasar” dan “Angklung” mendapat hadiah Saiko Sjikikan pada masa kependudukan Jepang.

Perempuan yang baru serius melukis saat usianya di atas 40 tahun ini juga dikenal aktif sebagai sekretaris bagian seni lukis pada Keimin Bunka Shidosho, pusat kebudayaan yang dibentuk militer jepang sebagai propaganda.

Hingga Desember 1943, Emiria menyelenggarakan pameran tunggalnya di Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Baginya, perempuan nggak hanya objek, namun juga subjek. (Historia.id)

Emiria dikenal lebih menonjolkan jiwa seni ketimbang mengikuti teknik-teknik melukis. Berbagai lukisannya banyak menggunakan warna-warna gelap, merah gelap, serta hitam yang diimbangi dengan hijau dan kuning cerah seperti dalam lukisannya yang berjudul “Orang Irian” dan “Burung Cendrawasih”.

Pelukis Feminis Awal

Atas karyanya, Emiria disebut-sebut sebagai seorang yang jenius oleh Sudjono, Bapak Seni Rupa Indonesia. Alih-alih melihat perempuan sebagai objek, Emiria menjadikan perempuan sebagai subjek. Jadi, saat orang mempertanyakan aspek gender, dirinya sudah selangkah berada di depan.

Hal ini terbukti dari karyanya yang dianggap sebagai karya feminis awal karena sering menampilkan perempuan yang bersumber dari cerita pribumi, puak (kelompok), dan model dari rakyat jelata.

Mutiara Bermain yang dibuat selama empat tahun sejak 1942 menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara di dasar laut. Ini bermakna, betapa tertidasnya perempuan pribumi. Terlebih, pada masa penjajahan Jepang perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu berahi.

Karyanya yang lain "Kembang Kemboja di Bali" (1958), "Wanita Sulawesi" (1958), "Market" (1952), dan "Panen Padi" (1942), juga bertemakan perempuan. Menurutnya, perupa Indonesia masih harus mencari jalannya, seperti yang dikutip oleh Soh Lian Tjie.

Sayangnya nama Emiria hilang begitu saja. (Tempo.co)

“'Pelayan-pelayannya', laki-laki maupun perempuan, harus sadar sepenuhnya, bahwa mereka masih jauh dari tujuan yang ingin mereka capai,” ungkapnya.

Soh Lian Tjie yang mengunjungi Emiria Sunassa pada 1953 mengungkapkan, perempuan tersebut berjiwa bebas-keras yang terlihat dalam lukisan-lukisannya. Emiria melukis sebagaimana dia melihat objeknya, menurut kesan yang dia dapatkan, nggak peduli aturan tentang anatomi atau keinginan pembeli.

Ya, nama Emiria memang terdengar asing ketimbang Basuki Resobowo, Sudjojono, Mochtar Apin, Rusli, dan perupa laki-laki lainnya, seperti jejaknya yang tiba-tiba lenyap pada 1960-an. Namun, Emiria merupakan perupa perempuan yang telah meletakkan pijakan yang tepat bagi kaumnya. (His/IB27/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024