Inibaru.id - Banjir besar melanda sebagian besar wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah awal tahun ini. Hingga berhari-hari, lagi-lagi banjir yang disebabkan oleh arus pasang air laut dan tingginya curah hujan itu belum juga surut. Banyak yang mengungsi dan kembali kehilangan harta bendanya.
Banjir disertai rob atau arus pasang air laut bukanlah bencana baru bagi masyarakat pantura. Tiap tahun, banjir selalu datang dan kian meninggi. Karena bencana ini, sebagian orang memutuskan pindah ke kawasan yang lebih tinggi, tapi sisanya terpaksa tinggal dan berdamai karena keterbatasan.
Mentari Isnaini tahu betul apa yang dirasakan masyarakat pesisir ini. Pada Mei 2020 silam, penari asal Kabupaten Demak itu bahkan sempat melakukan aksi tarian di tengah genangan banjir saat kampung halamannya di Desa Purwosari, Kecamatan Sayung, dihantam rob.
"Oh, itu? Aksi itu adalah bentuk protes saya," kenang penari energetik tersebut singkat, lalu tertawa. Matanya terpejam seolah mengingat-ingat kejadian yang membuat namanya kian dikenal luas ini.
Mentari saya temui pasca-pertunjukan di Omah Alas, Desa Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, beberapa waktu lalu. Saya sengaja membuat janji dengan perempuan yang saat ini tengah sibuk mengajar Seni Budaya di sebuah SMA di Kota Semarang tersebut untuk membahas banjir rob di kampung halamannya.
"Selain protes, saya juga mau membuat rekam jejak," ujar Mentari, lau menghela napas panjang. "Ya, saya nggak pernah tahu 10 tahun nanti masih bisa tinggal di Sayung atau sudah tenggelam; setidaknya ada rekam jejak pernah di sana."
Respons Positif Masyarakat
Apa yang dikatakan Mentari sangatlah masuk akal. Demak adalah salah satu wilayah dengan dampak rob terbesar di Jateng. Nah, Sayung, kampung halaman Mentari, menjadi kecamatan dengan genangan terluas di Demak. Bahkan, ada beberapa kampung yang telah diklaim lautan di sana.
"Aksi itu inisiasi saya sendiri. Saya ingin mengekspresikan amarah, kekesalan, dan kekecewaan sebagai orang yang ikut terdampak banjir rob," kata perempuan 29 tahun tersebut.
Dia mengaku nggak menyangka bakal mendapatkan respons begitu besar dari masyarakat Sambutan tersebut bahkan datang dari pelbagai media, baik lokal maupun asing. Mendapatkan apresiasi sebesar itu, Mentari merasa senang.
"Saya senang karena merasa misi tersampaikan. Sebetulnya selama ini masyarakat sudah sering protes, tapi jarang dapat perhatian," akunya.
Menurut Mentari, tari sudah seharusnya memiliki fungsi kritik, selain media doa dan interpretasi rasa. Jadi, bukan semata pertunjukan. Karena itulah peraih Magister Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini lebih sering menjadikan tari sebagai media untuk merespons isu sosial di sekitarnya.
"Karena itulah pada 2017 saya bikin sanggar untuk anak-anak belajar seni tari sekaligus seni musik dan lukis juga. Tapi, sanggar itu nggak bertahan lama karena rumah saya tenggelam kena rob. Mungkin nanti, kalau ada rezeki, bikin lagi di tempat baru," harapnya.
Harapan-Harapan Mentari
Memiliki sanggar seni adalah satu dari banyak harapan Mentari yang ingin dia perjuangkan dalam waktu depan. Harapan lain dari ibu satu anak ini adalah melanjutkan pendidikannya hingga S3 atau meraih gelar Doktor. Rencananya, dia mau mengambil studi tentang pemberdayaan masyarakat.
"Saya sepenuhnya sadar, nggak mungkin hanya mengandalkan tari sebagai media untuk kritik atau menumpahkan rasa kesal. Perlu cara lain untuk menyuarakan perkara banjir rob di kampung saya ini," tegasnya.
Menurutnya, nggak mungkin baginya menyuarakan kritik sosial seorang diri. Dia membutuhkan banyak pihak dengan pelbagai disiplin ilmu yang satu suara, sama-sama berjuang untuk menyikapi isu lingkungan terkait banjir rob di sekitarnya.
"Saya ingin fokus pada penyadaran serta edukasi masyarakat agar semuanya satu suara dan saling dukung," jelas perempuan berambut sebahu tersebut.
Untuk langkah terdekat, Mentari mengaku saat ini tengah menyusun strategi untuk menuntut pemerintah mengubah undang-undang yang menyatakan bahwa banjir rob bukan bencana alam. Menurutnya, inilah yang membuat masyarakat yang puluhan tahun dikepung rob nggak mendapat bantuan.
"Tolong dikaji lagi supaya banjir rob bisa dinyatakan sebagai bencana alam. Mereka butuh bantuan, sebab rumah beserta isinya rusak, dan secara psikologis juga hancur," tandasnya.
Jujur, malam itu hati saya sesak. Saya paham apa yang dirasakan Mentari dan orang-orang yang harus "berdamai" dengan banjir hampir setiap hari, tapi nggak pernah dianggap menderita karena rob hanya dipandang sebagai fonomena alam alih-alih bencana yang seharusnya segera ditanggulangi. (Fitroh Nurikhsan/E03)