Inibaru.id – Salah seorang kerabat saya, Daryono, mengirimkan video kondisi rumahnya yang terdampak banjir Semarang pada 31 Desember 2022 lalu. Terlihat air sudah memasuki area ruang tamu dan dapur rumahnya. Sejumlah barang seperti kulkas, mesin cuci, dan sepeda motor terendam cukup dalam.
Laki-laki yang sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak ini sebenarnya sudah terbiasa dengan banjir setiap kali musim hujan. Namun, baru kali ini banjir mencapai bagian dalam rumahnya yang berlokasi di Muktiharjo Kidul, Kecamatan Pedurungan.
“Padahal sudah dua kali rumah ini ditinggikan, 70 cm dan 50 cm. Biasanya paling sampai di halaman saja. Tapi banjir kali ini memang sangat besar,” ceritanya pada Minggu (1/1/2023) sore, saat air banjir sudah surut.
Daryono memiliki rumah tersebut sejak 2008. Setiap kali selesai meninggikan rumah, dia merasa aman. Tapi, rasa aman dari banjir tersebut hanya sementara karena nyatanya, banjir tetap memasuki rumahnya di kemudian hari.
“Karena jalan juga terus ditinggikan, akhirnya rumah kami juga bakal kena banjir lagi ke depannya,” keluhnya.
Tanah di Semarang Bawah yang Terus Ambles
Kota Semarang memiliki kontur yang cukup unik sehingga membuatnya seperti terpisah menjadi dua bagian, yaitu Semarang Atas dan Semarang Bawah. Di sebagian wilayah Semarang Bawah, terjadi penurunan muka tanah yang cukup signifikan.
“Penurunan permukaan tanah di Semarang bagian utara mencapai 2 sampai 8 sentimeter setiap tahun,” ucap Dr Rahma Hayati MSi, seorang dosen jurusan geografi Universitas Negeri Semarang sebagaimana dilansir dari Kampusnesia, (28/7/2021).
Penurunan ini terjadi di Kecamatan Semarang Utara, Semarang Timur, Genuk, Gayamsari, Pedurungan, dan Semarang Tengah. Total wilayah yang terdampak mencapai lebih dari 5.400 hektare.
Penyebab penurunannya bermacam-macam. Yang pasti, material tanah di sebagian wilayah Semarang Bawah yang berupa endapan alluvial dan endapan delta belum cukup kokoh untuk dijadikan penopang ribuan bangunan. Kondisi ini diperparah dengan penyedotan air tanah dalam skala yang besar.
Karena kondisi inilah, wajar jika kita melihat rumah-rumah ‘tenggelam’ seperti yang terlihat di dekat rumah Daryono. Rumah tersebut nggak pernah ditinggikan sebagaimana jalan atau rumah-rumah yang ada di sekelilingnya. Alhasil, yang terlihat dari rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya tersebut tinggal atap yang hanya berjarak kurang lebih satu meter dari permukaan jalan.
Biaya Renovasi Mahal, Tapi Warga Nggak Mau Pindah
Meski penurunan muka tanah cukup parah, sebagian besar warga yang tinggal di wilayah dengan masalah ini memilih untuk bertahan alih-alih pindah. Contohnya adalah masyarakat Kampung Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang Utara.
“Rumah saya dulu dua lantai. Kini tinggal satu lantai. Yang kita duduki ini dulunya atap, sekarang jadi teras,” cerita Amron yang sudah tinggal di rumah tersebut selama 26 tahun di Tambaklorok sebagaimana dilansir dari Suara (2/2/2021).
Dia mengaku sudah enam kali meninggikan rumah. Tapi, tindakan itu seperti nggak ada gunanya karena di wilayah tersebut, tanah bisa ambles 20 sentimeter dalam setahun.
Banjir dan rob terus mengintai tempat tinggalnya. Padahal, setiap kali meninggikan rumah, biaya yang dia keluarkan nggak sedikit.
“Rp50 juta (setiap kali meninggikan rumah), itu saja ngepres,” ceritanya.
Lantas, mengapa mereka nggak mau pindah jika rumah yang mereka huni pasti tenggelam? Kalau soal ini, alasannya bermacam-macam. Daryono misalnya, mengaku nggak mau tinggal terlalu jauh dari tempat kerjanya. Dia juga sudah nyaman dengan tetangga-tetangga sehingga memilih untuk mengumpulkan uang demi meninggikan rumahnya kembali di masa depan.
“Mau pindah ke mana, mau dijual juga belum tentu laku pas tahu di sini sering banjir dan tanah ambles. Pindah ke tempat lain yang aman banjir juga harga rumahnya mahal. Mungkin pas besok anak-anak sudah bisa punya rumah sendiri baru kita bisa ikut pindah,” ucap Daryono.
Semoga saja ada solusi bagi masyarakat Kota Semarang yang mengalami fenomena tanah ambles dan sering dilanda banjir, ya Millens. (Arie Widodo/E10)