Inibaru.id – Pergantian pucuk kepemimpinan di Kementerian Keuangan ternyata nggak cuma soal kursi yang berganti. Lebih dari itu, ada pergeseran arah kebijakan fiskal yang langsung terasa. Dari Sri Mulyani yang dikenal hati-hati dan suka menyimpan “tabungan negara”, kini tongkat estafet berpindah ke Purbaya Yudhi Sadewa, yang justru memilih cepat menggelontorkan uang ke bank agar kredit lebih deras mengalir ke masyarakat.
Nah, menariknya, keduanya sama-sama bicara soal menjaga ekonomi. Bedanya, jalannya yang dipilih cukup kontras.
Baca Juga:
Tarif 0 Persen Produk AS, Sri Mulyani: Harga Migas dan Pangan Bisa Turun, tapi Petani Perlu WaspadaSri Mulyani: Simpan untuk Stabilitas
Menjelang akhir jabatannya, Juli 2025, Sri Mulyani masih teguh pada prinsip prudent. Dia menyiapkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) Rp459,5 triliun sebagai “tameng” APBN dari guncangan global maupun transisi politik dalam negeri. Uang ini disimpan di kas negara dan Bank Indonesia.
Eits, bukan berarti dia pasif, lo. Saat pandemi 2020–2021, Sri Mulyani sempat menaruh dana pemerintah di bank Himbara untuk memperluas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kredit pun sempat mengalir deras ke sektor riil. Jadi, baginya, menyimpan dana bukan parkir sia-sia, melainkan menunggu momentum yang tepat agar efeknya lebih terukur.
Purbaya: Langsung Dorong Sektor Riil
Begitu dilantik awal September 2025, Purbaya langsung “tancap gas.” Nggak tanggung-tanggung, Rp200 triliun dana pemerintah dia geser dari Bank Indonesia ke bank-bank BUMN. Skemanya berupa deposito tenor 6 bulan, dengan bunga 80,5 persen dari BI-Rate.
Sebagai informasi, Bank Mandiri, BNI, dan BRI masing-masing dapat Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, sementara BSI kebagian Rp10 triliun. Tapi ada syarat keras: dana itu harus dipakai untuk kredit produktif, bukan beli SBN atau sekuritas. Setiap bulan, bank wajib melaporkan realisasi ke Kemenkeu.
Alasannya jelas, kata Purbaya, “Likuiditas bank kering, kredit melambat. Ekonomi butuh dorongan cepat.”
Mana yang Lebih Ampuh?
Dua strategi ini punya konsekuensi berbeda. Model Sri Mulyani bikin APBN lebih tahan banting, tapi kredit nggak otomatis naik tanpa program khusus. Sementara itu, Purbaya mendorong agar likuiditas langsung masuk ke sektor riil, meski risikonya besar kalau permintaan kredit tetap lesu.
Per Juli 2025, bunga kredit rata-rata masih 9,16 persen. Tanpa daya serap kuat dari sektor riil, tambahan likuiditas bisa saja mandek. Meski begitu, peluang sektor UMKM, manufaktur, pertanian, hingga konstruksi untuk memanfaatkan dana ini terbuka lebar.
Hm, menarik ya? Mereka memiliki jalan berbeda, namun satu tujuan; menjaga ekonomi. Sri Mulyani memilih simpanan tebal demi stabilitas, Purbaya memilih aliran deras demi geliat pasar. Siapa yang lebih tepat? Jawabannya akan terlihat beberapa bulan ke depan, saat angka kredit, investasi, dan pertumbuhan ekonomi bicara.
Mau nggak mau, kita sebagai masyarakat tentu berharap satu hal. Semoga strategi mana pun yang dipakai benar-benar bikin ekonomi makin hidup dan terasa manfaatnya sampai ke dapur rumah tangga. Betul nggak, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
