BerandaHits
Kamis, 6 Jul 2022 13:00

Populer di Zaman Belanda, Kopi Sumowono Berusaha Dibangkitkan Kembali

Ilustrasi: Kopi Sumowono yang dikenal berkualitas tinggi. (Kopen)

Kopi Sumowono populer di masa kolonial karena dikenal berkualitas tinggi dan punya ciri khas. Tapi, semenjak 1987, kopi tersebut kalah saing dengan sayuran.

Inibaru.id – Nama Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang seperti tenggelam di balik riuhnya tempat-tempat wisata yang tersedia di kecamatan sebelahnya, Bandungan. Tapi, di wilayah yang dikenal sebagai penghasil sayur dan bunga ini, ada satu hasil bumi yang punya potensi besar, yaitu kopi.

Di sejumlah desa seperti Candigaron, Duren, Gambangwaluh, dan Pledokan, masih ada banyak perkebunan kopi aktif. Sebaliknya di desa penghasil sayur seperti Jubelan, banyak kebun kopi yang dibiarkan begitu saja nggak terawat.

Petani Sumowono memang lebih memilih sayuran karena bisa memberikan hasil lebih cepat dan keuntungan lebih besar. Apalagi, perawatan sayuran juga tidak begitu rumit. Masalahnya, hal ini membuat kopi Sumowono yang sebelumnya jadi primadona sejak zaman kolonial semakin meredup sejak 1987.

“Masih ada yang menanam kopi, tapi tak lagi sebergairah sebelumnya. Saat itu (mulai 1987) sayur menjadi pilihan utama,” ungkap Bambang Suprianto dari Omahkopi Candisongo, Kamis (17/10/2019).

Dipelopori Orang Belanda

Sejarah kopi di Sumowono memang diinisiasi orang Belanda bernama Grass Valk. Pada 1904, dia pengin mendirikan panti asuhan di dataran tinggi Gunung Ungaran tersebut. Nah, untuk membiayai operasional panti asuhan, dia mendirikan perkebunan kopi liberika atau kopi nangka.

“Dia terpikir dari hasil kopi ini bisa membiayai panti asuhan. Grass Valk pun membangun pabrik di Gambangwaluh yang saat ini sisa-sisa pabriknya masih ada,” cerita Bambang.

Ilustrasi: Kopi berjenis robusta dari Sumowono dianggap berkualitas tinggi. (Kopen)

Bambang yang tahu dengan potensi besar kopi di sana pun mendirikan Omahkopi Candisongo sebagai tempat bagi para petani kopi Sumowono saling berdiskusi pada 2011. Dari diskusi inilah, ditemukan kalau kopi berjenis robusta cocok ditanam di sana dan bisa menghasilkan kopi berkualitas dengan ciri khas unik.

Harga kopi Sumowono memang masih belum benar-benar tinggi. Per 2019 lalu saja, olahan asalan kopi tersebut hanya dijual Rp 21 ribu per kilogram. Tapi, khusus untuk kopi wulung, harga jualnya cukup fantastis, yaitu Rp 5 juta per kilogram. Maklum, kopi ini sangat langka dan berkualitas nomor wahid. Setiap panen paling banyak juga tersedia 3 kg saja, Millens.

Dijual secara Luring dan Daring

Selain Bambang dengan Omahkopi Candisongi, ada pula Asosiasi Kopi Asli Sumowono atau Askas yang didirikan oleh Giyono dan rekan-rekannya. Tujuannya sama, yaitu memberikan edukasi cara merawat kopi, mengolah kopi, hingga membantu pemasaran hasil olahan kopi Sumowono.

“Selama ini penjualan dilakukan secara langsung di Kabupaten Semarang, Yogyakarta, Magelang, dan Purwodadi. Sedangkan secara online, pesanan kerap datang dari Sumatera dan Kalimantan,” ungkap Giyono, Selasa (11/2/2020).

Kini, ada sejumlah jenama kopi Sumowono yang dijual dalam bentuk bubuk seperti Kopi Lempuyangan, Kopi Jlegong, Kopi Sukorini, Kopi Gunukdali, Kopi Candisongo, Kopi Esensa, dan lain-lain. Semuanya berasal dari petani yang tergabung dalam satu wadah, yaitu Askas sehingga terjamin kualitasnya.

Omong-omong, kamu sudah pernah mencoba kopi Sumowono, Millens? (Ine, Kom/IB09/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024