Inibaru.id – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah terjadi di masa Covid-19. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia pada 20 April 2020 menunjukkan, 2.084.593 pekerja yang berasal dari sekitar 100 ribu perusahaan terdampak karena adanya wabah ini. Dari jumlah itu, 1,5 jutanya berpotensi menyumbang jumlah pekerja ke sektor informal.
Hal ini memberi pukulan yang berarti bagi para buruh. Gerakan-gerakan solidaritas pun muncul untuk membantu para pekerja yang terdampak. Seperti yang dilakukan oleh para buruh dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) serta dibantu oleh kawan-kawan dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dan Forum Islam Progresif (FIP).
Anggota FNKSDA Muhammad Azka Fahriza mengatakan, oleh para ilmuwan di bidang yang terkait dengan wabah dan penanganan wabah di seluruh dunia manusia diingatkan bahwa umur pandemi ini bisa jadi akan lama. Dalam konteks Indonesia, solidaritas sosial sekarang menurut dia punya capaian dan peranan signifikan dalam dua hal.
Pertama, menjadi satu inisiasi yang efektif untuk merespon masalah kemanusiaan yang bukan nggak mungkin akan semakin mengerikan. Korbannya terdiri dari orang-orang miskin, kelompok marjinal, dan kelas pekerja terutama di level paling bawah.
Kedua, pemerintah, sistem politik oligarkis, dan semua aktor dan komprador yang menopangnya hari ini gagal dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Menurutnya, Covid-19 telah menelanjangi adanya sistem politik yang korup.
“Pemerintah Indonesia seperti yang sekarang mulai dimunculkan pemerintah melalui wacana pencabutan PSBB secara bertahap, lebih dari cukup menjadi pra-kondisi terjadinya bencana kemanusiaan,” kata Azka, Minggu (17/5).
Membantu Kelompok Paling Rentan
Inisiator gerakan solidaritas Perempuan Bantu Perempuan untuk buruh gendong di Yogyakarta Wulan Agustina Pamungkas bercerita, capaian nyata yang pengin dicapai dari gerakan solidaritas yang dilakukan yaitu mengurangi beban buruh gendong perempuan yang sampai saat ini masih harus bertahan hidup di emperan belakang Pasar Beringharjo.
Ketika donasi disalurkan dalam bentuk makanan dan minuman siap saji, respons para buruh gendong ini selalu baik. Mereka merasa sangat terbantu dengan gerakan solidaritas, bahkan ketika Wulan menjalin komunikasi dengan beberapa buruh dia kepengin nangis.
Berbeda dengan Wulan, sukarelawan Perempuan Bantu Perempuan bernama Bagus Nur Akbar menerangkan, jika kegiatan volunteer mengingatkannya pada masa kecilnya. Saat itu Bagus sering diajak oleh ibunya membagi-bagikan sembako atau zakat dari rumah ke rumah.
“Ketika membantu orang sebetulnya kita diri sendiri. Orang lain tidak terpisah dari kita. Membuat mereka tersenyum berarti membuat diri tersenyum juga,” kata mahasiswa jurusan Filsafat yang berasal dari Jakarta ini.
Kamu berminat mau bikin gerakan solidaritas sosial atau menjadi relawan juga nggak, Millens? (Isma Swastiningrum/E05)