BerandaHits
Sabtu, 19 Sep 2025 15:01

Para Pelaku Genosida dan Sulitnya Mengadili Mereka

Korban genosida Srebrenica di Bosnia yang menewaskan ribuan umat Muslim pada 1995, membuat dua tokoh penting Serbia Bosnia, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, dijatuhi hukuman seumur hidup. (Srebrenicamemorial)

Meski PBB telah ditetapkan sebagai pelaku genosida terhadap warga Palestina di Gaza, mengadili Israel bukanlah pekerjaan mudah. Sejarah mencatat, meski praktik kejahatan HAM terberat ini diakui, acapkali pelaku lolos dari jerat hukum. Mengapa?

Inibaru.id - Aksi balasan Israel di Jalur Gaza pada Oktober 2023 yang diklaim sebagai respons atas serangan Hamas sebelumnya berujung pada operasi militer berlarut-larut yang bahkan hingga kini belum juga berakhir, bahkan setelah PBB menetapkan tindakan itu telah merujuk pada genosida, belum lama ini.

Sebelumnya, tuduhan bahwa Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza telah dilancarkan sejumlah negara, mulai dari pemimpin Turki hingga Iran. Di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ), Afrika Selatan bahkan telah melayangkan tuduhan tersebut secara resmi pada 29 Desember 2023.

Tuduhan itu sangatlah serius, mengingat genosida merupakan salah satu kejahatan paling berat dalam pengadilan dunia. Istilah ini merujuk pada tindakan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama.

Sejarah mencatat sejumlah tragedi kelam terkait hal ini; dari Afrika hingga Asia; dari Balkan hingga Timur Tengah. Namun, meski definisi hukum internasional mengenai genosida sudah jelas, mengadili para pelaku genosida selalu penuh tantangan.

Jejak Genosida di Dunia

Sejumlah kasus genosida telah meninggalkan luka mendalam bagi umat manusia. Pada awal abad ke-20, Jerman akhirnya mengakui bahwa mereka telah melakukan genosida terhadap suku Herero dan Nama di Namibia, dengan puluhan ribu orang tewas akibat eksekusi massal dan pengusiran paksa selama 1904–1908.

Sedekade berselang, tragedi Armenia terjadi. Armenia menuduh Kekaisaran Ottoman (Turki) membunuh 1,5 juta orang Armenia selama Perang Dunia I. Lebih dari 20 negara menyebutnya sebagai genosida, tapi Turki menyangkal dengan mengatakan bahwa kematian terjadi karena konflik perang serta deportasi massal.

Sementara di Asia Tenggara, kasus genosida melibatkan Khmer Merah di Kamboja, yang membunuh jutaan orang melalui kerja paksa, kelaparan, dan eksekusi. Sedangkan di Afrika, bentrok antaretnis di Rwanda pada 1994 sempat berujung pada pembantaian ratusan ribu etnis Tutsi hanya dalam 100 hari.

Adapun di Eropa, pembantaian Srebrenica di Bosnia yang menewaskan ribuan lelaki dan anak Muslim pada 1995, yang disebut ICJ sebagai genosida pada 2007, membuat dua tokoh penting Serbia Bosnia, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, dijatuhi hukuman seumur hidup.

Deretan peristiwa ini belum termasuk Holokaus yang menewaskan jutaan Yahudi pada pada 2933-1945, Darfur di Sudan yang menewaskan ratusan ribu jiwa pada 2003, genosida terhadap Yazidi di Irak pada 2014, serta kekerasan sistematis terhadap Rohingya di Myanmar pada 2017.

Kompleksitas Mengadili Genosida

Bangunan yang hancur dan kondisi yang menyulitkan bagi warga Palestina di Khan Yunis, Gaza. PBB menegaskan bahwa Israel telah melakukan genosida di wilayah tersebut. (Getty Images/Anadolu/Abed Rahim Khatib via CNN)

Meski bukti sejarah dan kesaksian korban sering begitu nyata, jalan menuju pengadilan genosida acap sulit dilakukan. Dikutip dari Hukumonline, ahli hukum dari Universitas Indonesia, Heru Susetyo mengatakan, genosida adalah pelanggaran HAM berat yang sangat sulit ditangani.

Menurutnya, ada beberapa tantangan utama yang membuatnya sulit diadili baik secara nasional maupun internasional. Berikut adalah tantangan-tantangan tersebut:

1. Negara sebagai pelaku

Tidak jarang genosida dilakukan atau difasilitasi negara. Masalahnya, negara memiliki kendali atas peradilan. Kecuali terjadi pergantian rezim, jarang sekali penguasa mau mengadili dirinya sendiri.

2. Kekerasan masif oleh kelompok sipil

Ketika genosida dilakukan oleh massa secara sporadis, sulit menentukan siapa aktor intelektual, siapa provokator, dan siapa yang hanya ikut-ikutan.

3. Pembuktian niat (mens rea)

Pasal 2 Konvensi Genosida 1948 menekankan adanya unsur niat untuk menghancurkan kelompok tertentu. Membuktikan niat ini kerap menjadi hambatan besar di pengadilan.

4. Yurisdiksi internasional

Tidak semua negara meratifikasi Konvensi Genosida 1948 atau Statuta Roma 1998. Artinya, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) hanya bisa bertindak jika negara bersangkutan adalah pihak peserta atau jika ada rujukan dari Dewan Keamanan PBB.

5. Politik lebih kuat daripada hukum

Seperti dikatakan praktisi hukum UI Prof Hikmahanto Juwana, hukum internasional sering tak lebih dari kesepakatan antarnegara. Realitasnya, kekuatan politik dan militer negara adidaya kerap menentukan apakah kasus genosida bisa diproses atau tidak.

6. Kendala geografis dan teknis

Proses peradilan internasional kerap jauh dari lokasi genosida, sehingga akses korban minim. Selain itu, negara tempat kejadian bisa saja melindungi tersangka, menolak kerja sama, atau mempersulit pengumpulan bukti.

"Penuntutan genosida adalah proses yang kompleks dan mahal. Pengadilan internasional harus mengakomodasi sistem hukum berbeda antara civil law versus common law, yang menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam mewujudkan legitimasi putusan," tulisnya.

Realitas dari Kasus Genosida

Sejarah membuktikan, hanya sedikit pelaku genosida yang benar-benar diadili. Adolf Eichmann, arsitek Holokaus Nazi, memang berakhir di tiang gantungan setelah ditangkap di Argentina dan diadili di pengadilan Israel atas 15 dakwaan kriminal. Namun, realtasnya, banyak pelaku yang lolos dari jerat hukum.

Hingga hari ini, dunia masih menyaksikan tuduhan genosida yang sulit dituntaskan. Kasus Rohingya, Yazidi, maupun Uighur masih berada di antara bukti, tuduhan, dan tarik-menarik politik. Lalu, bagaimana dengan genosida di Gaza yang juga mengakibatkan kematian begitu banyak warga Palestina?

Terkait hal ini, Heru mengaku meragukan kemungkinan adanya perubahan di Gaza kendati PBB telah menyatakan bahwa Palestina didukung untuk merdeka dan Israel telah melakukan genosida. Menurutnya, vonis di atas kertas nggak menjamin adanya perubahan nyata.

”Secara politik bisa diproses, tapi secara hukum susah," tutupnya.

Mungkin benar kata pameo yang mengatakan bahwa hukum internasional acapkali tertinggal dari tragedi kemanusiaan. Mengadili genosida bukan hanya soal hukum, tapi juga keberanian politik, solidaritas global, dan komitmen nyata untuk mencegah agar tragedi serupa nggak terulang. Gimana menurutmu, Gez? (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: