Inibaru.id - Pada 1 Juni 2025, aktivis lingkungan asal Swedia Greta Thunberg bergabung dengan Freedom Flotilla Coalition dalam misi kemanusiaan berlayar dari Catania (Sicilia) menuju Gaza menggunakan kapal “Madleen”.
Tujuannya adalah menentang blokade Israel yang telah berlangsung dua bulan dan membuktikan solidaritas lewat bantuan simbolis berupa ratusan kilogram tepung, beras, susu formula, serta suplai medis dan kebersihan.
Dalam konferensi pers sebelum keberangkatan, Greta menyebut perjalanan itu sebagai upaya menyalurkan “kesadaran global” terhadap krisis di Gaza. Apa pun rintangan yang akan dihadapi dan betapapun berbahayanya misi tersebut, dirinya akan terus berusaha.
"Saat berhenti berusaha adalah momen kita kehilangan kemanusiaan. Betapa pun berbahayanya misi ini, tidak lebih berbahaya daripada kesunyian seluruh dunia dalam menghadapi genosida yang disiarkan langsung," serunya sambil menangis tersedu-sedu, awal Juni lalu.
Intersepsi di Perairan Internasional
Pernyataan itu nggak lepas dari aksi Freedom Flotilla sebelumnya, termasuk serangan drone yang merusak kapal lain di lepas pantai Malta.
Pada 9 Juni, kapal Madleen diadang oleh pasukan Israel di perairan internasional, sekitar 200 kilometer dari pantai Gaza. Video menunjukkan awak kapal mengenakan jaket pelampung dan mengangkat tangan saat boarding dilakukan.

Menurut pasukan pertahanan Israel IDF, intersepsi dilakukan demi keamanan. Mereka juga menyatakan bantuan akan disalurkan melalui “jalur kemanusiaan resmi”. Namun, para aktivis menolak klaim tersebut, menuding tindakan itu sebagai penculikan dalam sebuah misi damai.
Israel segera menahan 12 orang termasuk Greta yang menolak menandatangani dokumen deportasi. Sebanyak delapan orang awak kapal ditahan di penjara Givon di Ramla, 20 kilometer tenggara Tel Aviv, Israel. Greta akhirnya dideportasi pada 10 Juni via Prancis menuju Swedia.
Tak Lebih dari Sekadar Gimik
Israel menyebut misi tersebut nggak lebih dari “gimik selebritas”. Mereka juga menegaskan bahwa tindakan itu sah berdasarkan blokade legal mereka sejak 2007. Sebaliknya, aktivis seperti Greta menuduh intersepsi tersebut melanggar hukum internasional dan mendesak agar dunia menindaklanjuti krisis Gaza.
Situasi ini menimbulkan ketegangan diplomatik: Perancis menuntut akses konsuler bagi warga mereka. Setali tiga uang, berbagai organisasi HAM seperti Amnesty International menyebut penahanan kapal ini ilegal. Media global bahkan mencatat tekanan terhadap dua pejabat Israel karena dirasa terlalu ekstrem.
Di dalam negeri Israel, beberapa pejabat sampai mencabut sebutan Greta dari kurikulum sekolah, menyebut posisi pro-Gaza-nya membahayakan moral siswa. Namun, aksi Greta Thunberg ke Gaza lewat jalur laut ini kian memperkuat pesan solidaritas dan kesadaran global akan krisis kemanusiaan di negeri tersebut.
Intersepsi dan deportasi ini menjadi simbol bagaimana jalur diplomasi dan keamanan bisa menyanggah niat kemanusiaan. Krisis Gaza bukanlah semata wacana. Ini nyata dan solidaritas sipil terhadap saluran bantuan kemanusiaan seharusnya diberi jalan alih-alih mendapat penolakan. (Siti Khatijah/E07)