BerandaHits
Sabtu, 17 Jun 2022 16:06

Nestapa Penambang Pasir Sungai Klawing; Penghasilan Tak Tentu, Dituding Rusak Lingkungan

Penambang pasir di Sungai Klawing. (Law-justice.co/Robinsar Nainggolan)

Pendapatan para penambang pasir di Sungai Klawing, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah nggak tentu setiap harinya. Padahal, pekerjaan mereka berisiko karena terkadang harus menyelam ke dasar sungai. Seperti apa ya kisah hidup mereka?

Inibaru.id – Nama Sungai Klawing mungkin nggak sepopuler Sungai Serayu di eks-Karesidenan Banyumas. Meski ukurannya besar, sering banjir, dan kerap memakan korban jiwa tenggelam, nyatanya banyak orang yang menganggapnya sebagai ‘anak sungai’ Serayu. Maklum, di Banyumas, sungai ini memang bergabung dengan sungai yang lebih besar tersebut.

Pada aliran sungai yang sering keruh ini, kamu bisa menemukan perahu atau rakit yang berisi beberapa orang. Mereka adalah penambang pasir tradisional yang sudah bertahun-tahun menjalankan profesinya. Pasir ini adalah pasir vulkanik yang berasal dari Gunung Slamet yang masih aktif, Millens.

Para penambang ini bisa kamu temukan di Desa Penaruban, Kecamatan Kaligondang atau di Desa Toyareja, Kecamatan Purbalingga. Mereka hanya bermodalkan sekop, cangkul, serta alat sorong. Mereka bahkan terkadang sampai menyelam ke dasar sungai hanya demi bisa mengambil pasir.

Pasir-pasir ini kemudian dikumpulkan di pinggir sungai atau di lokasi yang terdekat dengan jalan yang bisa diakses kendaraan. Nah, para penambang ini bisa menjualnya secara eceran.

Per 23 Mei 2022 lalu, harga pasir yang dijual bisa mencapai 140 ribu per perahu. Kalau sedang musim hujan, setidaknya lima sampai tujuh kali perahu bisa bolak balik melakukan bongkar muat pasir. Beda cerita dengan saat kemarau, biasanya hanya dua atau tiga kali saja perahu bisa terisi penuh.

“Kalau musim kemarau seperti ini, pasir suit dicari. Jadi pendapatan para penambang juga turun,” keluh Paryono, penambang dari Desa Tejasari, Kecamatan Kaligondang, Jumat (30/8/2019).

Selisih pendapatan ini terjadi karena saat musim hujan, aliran air sungai yang deras bisa membawa material vulkanik seperti pasir dalam jumlah banyak. Apalagi jika sampai terjadi banjir, dijamin pasir akan melimpah di Sungai Klawing. Di musim kemarau, aliran air yang lebih kecil membuat pasir seperti tertahan di hulu.

Dampaknya, saat musim kemarau, para penambang membutuhkan waktu dua atau tiga jam hanya untuk mengisi penuh satu perahu dengan pasir. Sementara, kalau di musim hujan, 30 menit saja sudah cukup.

Para penambang pasir di Sungai Klawing memasukkan pasir ke dalam truk. (Law-justice.co/Robinsar Nainggolan)

Dituding Merusak Lingkungan

Tudingan bahwa para penambang pasir di Sungai Klawing ini merusak alam muncul dari Aktivis KPMD Indah Pamuji. Pada 15 Mei 2019, dia menganggap mereka jadi penyebab tergerusnya sekitar 20 hektare tanah di Desa Majasem, Kecamatan Kemangkon.

“Kami khawatir kalau tidak ada tindakan dari pemerintah daerah, maka tanah kas desa akan habis. Lebih parah lagi sampai ke tanah permukiman,” ungkap Indah.

Yuli, salah seorang penambang dari Desa Penaruban sudah kebal dengan julukan perusak lingkungan yang disematkan kepadanya dan rekan-rekannya. Padahal, proses penambangan dilakukannya hanyalah secara manual biar nggak merusak.

“Penambangan manual bisa berlangsung lama karena material tidak pernah habis total. Saat terjadi banjir, keesokan harinya material batu dan pasir sudah banyak lagi,” ungkapnya, (29/7/2019).

Mereka juga patuh dengan imbauan pemerintah, yaitu nggak menambang dekat dengan jembatan agar nggak merusak konstruksinya. Minimal, mereka mengambil jarak 500 meter. Kalau di sekitar hilir, jaraknya minimal 1.000 meter.

“Warga tidak pernah melanggar (imbauan pemerintah) karena mereka menyadari Sungai Klawing sebagai sumber mata pencaharian,” terangnya.

Pendapatan para penambang pasir memang tak tentu. Pada akhir Mei 2022 lalu, Poniman, penambang dari Desa Toyareja mengaku bisa membawa uang Rp 110 ribu - 200 ribu per hari. Tapi, jika kemarau panjang tiba dan pasir nggak lagi melimpah di Sungai Klawing, bisa jadi pendapatannya berkurang. (Law, Tim, Rad, Mat/IB09/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024