BerandaHits
Senin, 29 Okt 2017 13:15

Ini Kata Prof Mia soal Memperlambat Kepunahan Bahasa

Prof Dr Multamia Retno Mayekti Tawangsih Lauder, Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Indonesia. (Liputan6.com/Hotnida Novita Sary)

Ada cara memperlambat kematian bahasa daerah. Tapi semua anggota masyarakat “wajib” mendukungnya.

Inibaru.id – Begitu terancanmnya bahasa daerah di Nusantara, Prof Dr Multamia Retno Mayekti Tawangsih Lauder, Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Indonesia menilai urgensi penyelamatan bahasa-bahasa daerah dari kepunahan ada di angka 8 dari skala 10.

“Dari 706 bahasa daerah di Indonesia yang tersisa, sekitar 50 persen sudah dalam kondisi terancam. Tentu ada yang terancam, tapi masih bisa diselamatkan, direvitalisasi. Namun, ada yang sudah terancam menuju sekarat dan sudah tidak bisa diselamatkan,” ujar perempuan yang akrab disapa Prof Mia ini seperti dilansir Liputan6.com (28/10/2017)

Mia menyebut tingginya persentase bahasa-bahasa daerah yang berstatus terancam sebagai sebuah kerawanan. “Mengapa? Karena mereka-mereka itulah yang membentuk kebinekaan budaya bangsa kita. Kalau lebih dari separuh mereka (bahasa-bahasa daerah) itu punah, lama-lama budaya kita akan menjadi kebudayaan monolingual. Dan itu sudah tidak menarik lagi. Indonesia itu menjadi sangat menarik dan unik karena keragamannya."

Baca juga:
Bahasa Sehat, Bahasa Terancam, dan Bahasa Sekarat
Meme Setya Novanto Bukan Ranah Hukum tapi Etika

Sementara itu, Badan Bahasa Kemdikbud juga menekankan, kehilangan bahasa berarti kita akan kehilangan daya kreativitas dan pemikiran sebagai realisasi kebudayaan. Apapasal? Bahasa bukan sekadar sekumpulan kata atau seperangkat kaidah tata bahasa, melainkan juga khazanah pemikiran berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai keunikan sebagai refleksi pemikiran dan pengetahuan.

Kebijakan terkait bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. "Dalam Pasal 42 dikatakan, pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah, berkoordinasi dengan lembaga kebahasaan,” kata Dadang Sunendar, Kepala Badan Pemgembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud.

Ia menegaskan, kewajiban utama pelestarian bahasa daerah dan sastra daerah itu ada di pemerintah daerah, bekerja sama dengan Badan Bahasa. "Jangan sampai ada bahasa daerah di suatu kabupaten atau kota tanpa kepala daerahnya mengetahui tentang itu. Padahal, kewajiban pertamanya (pelestarian bahasa) ada di pemda," ujarnya.

Tak hanya itu, Badan Bahasa juga menyiapkan bantuan-bantuan teknis untuk menangani kepunahan bahasa. Misalnya, membuat kamus bahasa daerah sebagai pedokumentasian bahasa daerah yang terancam punah. Badan Bahasa juga menyelenggarakan seminar-seminar kebahasaan dan mencari strategi untuk menangani bahasa daerah yang punah di daerah tertentu.

Baca juga:
Mengenal Empat Pahlawan Nasional Baru Indonesia
Kelebihan Nurtanio, Pesawat N219 yang Baru Saja Diresmikan Presiden Jokowi

Selain itu, Badan Bahasa juga melakukan pelatihan-pelatihan dan pembekalan terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan peneliti juga perguruan tinggi setempat. "Tidak mungkin penduduk dibiarkan begitu saja dalam melestarikan bahasa daerah. Mereka harus diberi panduan-panduan dengan berbagai cara," ujar Dadang.

Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah program revitalisasi bahasa Hitu pada 2016 dengan berbasis komunitas, yakni pendekatan terhadap masyarakat Negeri Hitu Lama. Badan Bahasa bekerja sama dengan Kantor Bahasa Maluku dan Pemerintah Provinsi Maluku (melalui Pendidikan dan Kepemudaan) melakukan berbagai langkah percontohan.

Di antaranya, menjadikan 20 rumah tangga sebagai model percontohan yang mempergunakan bahasa daerah secara aktif, evaluasi dan pengajaran bahasa daerah satu kali setiap pekan, menetapkan hari Minggu sebagai hari wajib berbahasa daerah di rumah, dan hari Sabtu wajib berbahasa daerah di sekolah, serta menggunakan bahasa daerah dalam spanduk-spanduk di ruang publik. (EBC/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024