BerandaHits
Sabtu, 23 Okt 2020 17:04

Go Tik Swan, Batik Indonesia, dan Tionghoa Pertama Bergelar Panembahan Keraton Surakarta

Ilustrasi: Batik Go Tik Swan. (Whiteboard Journal)

Berawal dari permintaan Soekarno, Go Tik Swan kemudian mengembara untuk menemukan motif batik yang sesuai jati diri Indonesia. Kiprah dalam dunia batik membuat lelaki Tionghoa ini diberi anugerah oleh Keraton Kasunanan Surakarta.

Inibaru.id – Setiap daerah di Indonesia memiliki corak batik yang berbeda. Namun, hanya sedikit pembatik yang mudah dikenali corak dan warnanya tanpa harus tahu mereknya. Adalah Go Tik Swan (GTS), salah seorang pembatik yang mudah dikenali dengan motif dan teknik pewarnaannya.

Motif dan teknik pewarnaan sosok yang juga dikenal sebagai Hardjonagoro itu adalah klasik ala pesisir. Beberapa di antaranya adalah Sawunggaling, Rengga Puspita, Kembang Bangah, dan Kuntul Nglayang. Siapa pun yang menyukai batik pasti ingin menjadikan Sawunggaling sebagai must-have-item-nya.

Berkat ketenarannya itu, karya pembatik asal Solo ini dikenal premium, jadi nggak bisa dimiliki sembarang orang.

Permintaan Soekarno

Ilustrasi: Membatik motif Sawunggaling. (Femina)

GTS mulai memproduksi batik di sebuah rumah yang disebut Dalem Hardjonegaran, yang berlokasi di Jalan Yos Sudarso, Kota Solo. Titik balik GTS sebagai pembatik dimulai dari perjumpaannya dengan Presiden Sukarno dalam Dies Natalis Universitas Indonesia ke-5 pada 1955.

Lelaki keturunan Tionghoa tersebut terpilih membawakan tarian Gambir Anom di Istana Negara. Bahkan, Sukarno sempat menyalaminya karena kepiawaiaannya membawakan tarian. Dari situ, Bapak Proklamator itu kemudian mendapatkan inspirasi tentang idealisme persatuan.

Sukarno lalu meminta GTS untuk mewujudkan pemikiran tersebut dalam desain batik.

“Kamu kan dari keluarga pengusaha batik, mbok coba membuat untuk bangsa ini ‘batik Indonesia’. Bukan batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, dan lain-lainnya, tapi batik Indonesia,” pinta Sukarno.

Ibu GTS yang merupakan putri dari pengusaha batik hanya melihat batik nggak lebih dari urusan bisnis. Namun, demi memenuhi permintaan Sukarno, GTS mulai melakukan ziarah, meditasi, dan tinggal berpindah-pindah berbagai kota yang memiliki sentra batik.

Saat berada di Campuhan, Ubud, GTS mendapatkan inspirasi tentang tafsir sebuah batik. Dia kemudian kembali ke Solo dan mulai memproduksi motif batik tersebut di rumah kakeknya. Lalu, tercipatalah wastra yang diberi nama "Parang Bima Kurda", yang dipersembahkan untuk Sukarno.

Bima merupakan tokoh pewayangan Presiden Soekarno, sedangkan Kurda berarti tindakan berani.

Setelah itu, tercipatalah berbagai motif batik lainnya seperti motif Sawunggaling yang terinspirasi dari tradisi sabung ayam di Bali. Ada pula motif Parang Mega Kusuma yang khusus diciptakan untuk Megawati Soekarno Putri.

Batik Lambang Persatuan

Foto GTS. (Lifestyle.kompas)

Dalam membatik, GTS memadukan corak klasik keraton (Solo dan Yogya) dengan gaya pesisir (Pekalogan, Tuban, Lasem). Lelaki kelahiran 11 Mei 1931 ini juga memadukan pewarnaan monokrom dan multiwarna.

Perpaduan warna ini merupakan cara GTS menafsirkan batik Indonesia sebagai lambang persatuan. Dia menghapus batas-batas kedaerahan, tapi tetap mempertahankan falsafah pada tiap corak dan teknik lokal.

Selain membatik, GTS juga mengabdikan hidupnya untuk membangun Yayasan Pendidikan Saraswati yang menjadi cikal bakal Universitas Sebelas Maret Solo (UNS). Dia juga dipercaya mendiang Paku Buwono XII untuk memimpin pemugaran Museum Keraton Kasunan Surakarta pada 1964.

Pada tahun yang sama, GTS juga menjadikan batik dikenal dunia lewat New York World’s Fair 1964. Dia dipercaya sebagai pengelola paviliun Indonesia selama 6 bulan. Atas kiprahnya ini, dia pun menerima berbagai penghargaan.

Salah satu pencapaian terbesarnya, dia menjadi orang Tionghoa pertama yang menerima anugerah derajat tertinggi dari Keraton Kasunanan, yakni gelar Panembahan Hardjonagoro.

Ya, seni nggak pernah mengenal suku. Jalan GTS untuk menyelami batik nggak pernah salah. Nggak cuma memberikan nyawa pada batik, dia juga berhasil menyatukan berbagai corak pada batik menjadi satu kesatuan, yang menjadi simbol negeri ini. (Fim/IB27/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024