BerandaHits
Selasa, 30 Jan 2023 17:32

Berempati pada Peristiwa 1965 via Buku Terbaru Martin Aleida

Buku terbaru Martin Aleida, 'Tuhan Menangis, Terluka'. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Melalui karya terbarunya, Martin Aleida mencoba mengajak pembaca berempati pada Peristiwa 1965.

Inibaru.id - Rambut beruban Martin Aleida tampak mencolok di hadapan puluhan anak muda yang menjejali ruang Sekretariat Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Semarang. Namun, perbedaan usia tampak nggak terasa di antara mereka. Gaya santai Martin membuat diskusi pada Jumat (27/1/2023) itu tampak cair.

Oya, Martin adalah penulis kawakan Tanah Air yang telah mengakrabi dunia sastra sejak 1962. Lelaki kelahiran 31 Desember 1943 ini sengaja datang memenuhi undangan AJI Semarang untuk membedah buku terbarunya, Tuhan Menangis, Terluka.

Digarap selama dua tahun, buku setebal 600 halaman itu banyak bercerita tentang kesaksian Peristiwa 1965 yang hingga kini masih diwarnai polemik. Martin adalah saksi hidup dari sejarah kelam tersebut. Sudah sejak lama sastrawan asal Tanjungbalai, Sumatra Utara, ini bicara tentang Peristiwa 1965.

"Jika pengadilan nggak bisa menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusiaan pasca-1965, Mahkamah Sastra-lah yang akan menuntaskannya," seru Martin di hadapan para peserta yang terdiri atas jurnalis dan anggota pers mahasiswa itu, diikuti tawa lepas.

Meluruskan Narasi yang Keliru

Martin Aleida memaparkan isi buku terbarunya di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Menurut Martin, peristiwa yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu belum selesai. Kendati Presiden Jokowi telah memohon maaf dan mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut, dia belum sepenuhnya legawa karena hingga detik ini keadilan belum ditegakkan.

"Tujuan saya (menulis) adalah untuk meluruskan narasi-narasi keliru yang acap mendiskriminasi keluarga atau anggota PKI," ungkap Martin saat memaparkan latar belakang pembuatan buku terbarunya yang terbit pada awal Januari 2023 tersebut.

Widyanuari Eko Putra, esais sekaligus pendiri Penerbit Buku Beruang yang sore itu turut dihadirkan dalam diskusi pun menyambut pernyataan Martin dengan senyum haru. Lelaki yang akrab disapa Wiwid ini mengaku terenyuh membaca Tuhan Menangis, Terluka yang khatam dalam tiga hari tersebut.

"Saya menyambut baik buku ini dengan satu perasaan yang terus-menerus mencoba memahami pergulatan batin Pak Martin hingga sekarang," akunya.

Ajak Generasi Z Berempati

Nggak kurang dari 60 peserta yang didominasi gen-z memenuhi ruang Sekretariat AJI Semarang dalam bedah buku terbaru Martin Aleida. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Wiwid nggak menampik bahwa Tuhan Menangis, Terluka yang berisikan ringkasan cerita kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selama kurun 1965-1966 itu merupakan karya yang berat. Namun, cara penyampaian narasi Martin yang mengedepankan perasaan membuatnya mudah dipahami.

"Narasi yang dibangun Pak Martin berhasil mengajak pembaca merasa terlibat dalam peristiwa sebesar ini," ungkapnya sembari menunjuk buku bersampul dominan merah yang dibanderol hampir Rp200 ribu di pasaran tersebut. "Buku ini benar-benar menghadirkan diri kita (ke dalam peristiwa itu)."

Peristiwa yang terjadi pada 1965, lanjut Wiwid, memang belum tuntas. Hingga kini, dia masih menjumpai pelbagai kalangan yang masih berbenturan tiap kali menikai peristiwa kemanusiaan tersebut.

"Tiap tahun, kita tahu saat ada teks-teks yang terbit atau seseorang memberi kesaksian GS30, ada saja yang mengaitkannya dengan upaya kebangkitan PKI. Padahal, tanpa empati, proses pembacaan ulang sejarah 1965 akan sia-sia," kesahnya.

Karena itulah, melalui Tuhan Menangis, Terluka, Wiwid berharap generasi muda akan lebih adil menilai kejahatan HAM masa lalu yang terjadi di Indonesia dengan mengedepankan rasa empati, termasuk membandingkannya dengan teks-teks sejarah lain di negeri ini.

"Saya rasa buku ini bukan yang terakhir, karena saya yakin ada banyak hal yang belum dituliskan Pak Martin," tandas Wiwid diikuti tepuk tangan riuh peserta yang didominasi para milenial dan gen-z tersebut.

Seperti kata Mas Wiwid, semoga rasa empati mampu membuat kita lebih adil dalam memahami peristiwa sejarah kelam di Tanah Air, ya, Millens! (Fitroh Nurikhsan/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024