Inibaru.id - Di Tokyo, mimpi tinggal dekat kantor sering kali harus dibayar mahal secara harfiah. Harga sewa hunian yang terus meroket membuat banyak anak muda di kota ini akhirnya berkompromi dengan ruang hidup. Belakangan, muncul tren tinggal di apartemen super kecil, bahkan ada yang luasnya hanya sekitar 9 meter persegi!
Apartemen dengan ukuran tersebut kerap disebut dengan istilah apartemen mikro. Apartemen sekecil ini banyak diburu oleh lajang usia 20–30 tahun yang ingin tetap tinggal di pusat kota. Dengan sewa sekitar 60 ribu yen per bulan, hunian mungil ini bisa 30 persen lebih murah dibanding apartemen ukuran standar di lokasi yang sama. Tak heran, tingkat huniannya hampir selalu penuh.
Bagi sebagian orang, tinggal di ruang sekecil itu terdengar ekstrem. Tapi di Tokyo, lokasi adalah segalanya. Tinggal dekat kantor berarti memangkas waktu dan biaya transportasi, sekaligus menjaga ritme hidup tetap efisien.
Apalagi, ruang yang sempit dianggap bisa “disiasati” dengan furnitur lipat, tempat tidur tingkat atau kasur gulung, dan kebiasaan hidup minimalis. Lemari besar? Tidak perlu. Dapur luas? Kompor kecil sudah cukup asalkan bisa dipakai untuk memasak air.
Menariknya, menurut Japanese Station (17/12/2025), tren ini muncul di tengah kabar bahwa gaji awal lulusan baru di Jepang sebenarnya sedang naik. Sayangnya, kenaikan gaji tersebut tetap kalah cepat dibanding lonjakan harga sewa yang naik dua digit secara tahunan di banyak distrik Tokyo. Alhasil, banyak anak muda memilih menurunkan standar hunian demi bertahan hidup di kota besar.
Sebagian lainnya mengambil jalan berbeda, yaitu pindah ke apartemen lama yang usianya sudah puluhan tahun. Unit-unit ini memang lebih luas, tapi kondisi bangunan dan fasilitasnya sering kali seadanya. Namun, sejak kerja jarak jauh semakin umum, apartemen tua yang lebih lapang justru kembali diminati, yang ironisnya, berimbas pada naiknya harga sewa.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta, fenomena ini terasa cukup dekat. Banyak anak muda Indonesia juga terbiasa ngekos di kamar sempit, bahkan ada yang luasnya hanya 3x2 meter atau sekitar 6 meter persegi.
Isi huniannya pun mirip: kasur, kipas, rak kecil, dan sisa ruang untuk duduk atau berdiri. Bedanya, di Indonesia penghuni kamar kos sempit sering kali masih berbagi kamar mandi dan dapur dengan penghuni lainnya, sementara di Tokyo, apartemen mikro biasanya sudah punya fasilitas sendiri meski ukurannya minimal.
Baik di Tokyo maupun di Indonesia, ceritanya sama: anak muda dipaksa kreatif menghadapi mahalnya biaya hidup di kota. Ruang boleh sempit, tapi harapan tetap besar. Tinggal di kamar kecil jadi strategi bertahan, sambil menunggu kesempatan hidup yang lebih longgar, baik secara ruang, maupun finansial. (Arie Widodo/E07)
