BerandaHits
Rabu, 16 Mei 2023 08:00

Ada Isu Lingkungan dan Sejarah Semarang di Event Literasi Maring

Salah satu karya lukis di pameran buku dan even literasi Maring. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Meski sempat mengalami banyak penolakan, kegiatan bazar buku dan even literasi yang digagas Maring Institut dengan BEM KM Unnes akhirnya digelar. Acara itu sukses menarik perhatian masyarakat.

Inibaru.id - Jam menunjukkan pukul 4 sore ketika saya tiba di lokasi kegiatan literasi Maring di Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang beberapa hari lalu. Di bagian tengah area kampung budaya itu, berdiri megah sebuah pendopo besar yang dipenuhi banyak orang.

Pendopo beratap joglo itu diisi banyak meja besar yang di atasnya tersusun ratusan buku dengan diskon besar-besaran. Banyak pula karya lukis yang dipajang di sana. Sedang di pojok pendopo, nampak beberapa orang tengah asyik mengikuti acara diskusi bersama.

Kerusakan Lingkungan di Semarang

Galeri pameran transisi kota Semarang tentang kerusakan lingkungan karena perubahan tata ruang. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Ada satu spot yang menarik perhatian saya dalam acara yang diadakan Maring Institut dengan BEM KM Unnes itu. Nggak jauh dari tempat diskusi, ada banyak foto tentang transisi ekosistem perkotaan Semarang yang berfokus pada kerusakan lingkungan.

“Semarang itu sejarahnya makin tergerus, mbak. Selain karena rombakan industrialisasi, iklim masyarakat di Semarang itu iklim kerja, bukan iklim diskusi macam Jogja,” jelas Dira, ketua panitia yang saya temui di sela-sela kesibukannya mengatur acara.

Perempuan bernama lengkap Adetya Pramandira ini menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di Semarang ini adalah masalah krusial yang harus diperhatikan. Apalagi dengan perubahan tata ruang di Semarang, lingkungan menjadi korban yang meprihatinkan.

“Kami juga memajang 12 karya lukis dari Dewan Kesenian Semarang yang juga mengangkat isu kerusakan lingkungan,” terang Dira.

Sejarah Gerakan di Semarang

Beberapa gambar dokumentasi tapol Buru di event literasi Maring. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Pada pameran transisi kota Semarang itu, ada spot lain yang nggak kalah menarik. Dengan backdrop hitam, terlihat beberapa foto dokumentasi tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru. Ya, dokumentasi pengasingan tahanan politik itu memang disajikan agar para pengunjung nggak lupa dengan sejarah.

“Kami mencoba berani untuk menyajikan sejarah dengan benar, mbak” tegas perempuan yang masih duduk di bangku perkuliahan itu.

Event literasi dan seni ini memang terbilang sangat berani menyuarakan isu-isu sejarah yang sensitif. Hal ini juga bisa dilihat dari pemilihan tema acara “Sejarah Gerakan Semarang 1916-1965” yang banyak menuai penolakan.

“Tahun-tahun itu adalah fase Semarang Merah. Memang itu isu sensitif, tapi sejarah itu selalu dihilangkan,” jelas Dira.

“Kami ingin mendiskusikan isu-isu ini dalam tataran akademis. Biar orang-orang juga nggak takut membahas itu,” imbuhnya.

Kenapa Maring?

Suasana pengunjung kegiatan even pameran buku dan literasi Maring di Kampung Budaya Unnes. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Maring, yang digunakan sebagai nama kegiatan ini, juga nggak sembarang dipilih. Dira mengaku bahkan mengundur acara yang harusnya dilaksanakan Desember tahun lalu hanya karena kesusahan mencari nama acara yang pas.

“Kami memilih nama Maring sebagai nama event. Diambil dari seorang tokoh Semarang yang memiliki kontribusi soal literasi dan banyak gerakan di Semarang, terlepas dari ideologinya,” tutur Dira.

Sebagai informasi, Maring adalah nama perjuangan dari seorang Belanda bernama asli Henk Sneevliet. Menurut Dira, tokoh ini salah satu yang membesarkan Semarang dan memunculkan gerakan-gerakan untuk meraih kemerdekaan waktu itu.

“Semarang punya tokoh dan kita angkat saja jadi nama event ini,” tandasnya.

Nah, sebagai generasi muda, kita patut mencontoh semangat teman-teman Maring ini dalam menyuarakan sejarah dan isu lingkungan yang mulai terabaikan. Semoga makin banyak acara yang membuat wawasan kita semakin bertambah. (Rizki Arganingsih/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024