Inibaru.id - Demi mengharapkan berkah dari Nabi Muhammad, ribuan warga Kudus tampak setia berbaris berjajar di halaman Masjid Wali Loram Kulon, akhir September silam. Terik matahari yang begitu menyengat agaknya nggak menyurutkan minat mereka untuk ikut andil dalam tradisi tahunan tersebut.
Hari itu bertepatan dengan 12 Rabiulawal kalender Hijriyah. Bagi umat Islam, tanggal tersebut merupakan hari istimewa karena mereka memperingati hari kelahiran sang Rasul, yang dikenal dengan sebutan Maulid Nabi.
Di banyak tempat, masyarakat muslim berkumpul untuk merayakan Maulid Nabi, nggak terkecuali di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Setiap tahun, warga setempat memperingatinya dengan menggelar tradisi Kirab Ampyang Maulid yang dipusatkan di Masjid Wali.
Nggak hanya diikuti warga setempat, tradisi ini juga dihadiri ribuan orang yang berasal dari berbagai daerah. Mereka sukarela berpanas-panas, berdesak-desakan, berdiri berjajar, untuk menunggu rombongan kirab yang dijadwalkan tiba pukul 14.00 WIB.
Festival Desa Loram Kulon
Kirab Ampyang Maulid merupakan puncak dari perayaan Maulid Nabi di Desa Loram Kulon. Tiap tahun, tradisi ini selalu dikemas dalam wujud festival desa lengkap dengan pasar UMKM dan panggung seninya, yang berisikan rangkaian lomba, pergelaran seni, dan kirab.
Kirab di desa ini terbilang unik karena yang diarak adalah ampyang atau kerupuk. Camilan renyah itu merupakan kondimen wajib yang harus disertakan dalam gunungan kirab. Adapun untuk kondimen lain bisa variatif, mulai dari nasi kepal khas Desa Loram hingga hasil bumi seperti sayur dan buah.
Berbagai kreasi ditampilkan para peserta Kirab Ampyang Maulid. Untuk tahun ini, yang menarik adalah penampilan cosplay para tokoh dari Loram Kulon, di antaranya putri Sunan Kudus Dewi Probodinabar dan suaminya, Sultan Hadirin.
Selain itu, ada pula deretan orang yang memerankan sosok Ratu Kalinyamat (istri Sultan Hadirin yang lain), Mbah Soleh Haji, Mbah Gede Loram, dan Ki Ageng Gulang. Mereka diikuti oleh para anak yang siang itu mengenakan kostum karnaval dari limbah plastik.
Menjadi Etalase Budaya
Beragamnya aksi dan atraksi pada Kirab Ampyang Maulid ini membuat pelataran Masjid Wali di Desa Loram Kulon laiknya etalase budaya bagi masyarakat. Pengurus Takmir Masjid Wali Afroh Aminudin mengatakan, pihaknya memang sengaja ingin memvisualisasikan tradisi dan budaya di lingkungannya.
"Misal, di rombongan ini ada visualisasi Nganten Mubeng. Itu tradisi khas Loram Kulon," kata Afroh yang nggak lupa menjelaskan bahwa Nganten Mubeng adalah tradisi mengarak calon pengantin yang telah membudaya di Desa Loram Kulon.
Kirab Ampyang, lanjutnya, juga merupakan bentuk tradisi yang terus mereka pertahankan. Masyarakat masih percaya bahwa gunungan dan nasi kepal yang dikirab itu membawa berkah. Karena itulah para penonton mau sukarela menunggu, lalu berdesak-desakan untuk berebut gunungan.
Hal tersebut nggak dimungkiri Oni, warga Loram Kulon yang tiap tahun turut memeriahkan tradisi Kirab Ampyang Maulid. Sembari menikmati nasi kepal yang didapatkannya, dia mengaku mengikuti tradisi tersebut karena mengharapkan berkah dari Nabi Muhammad.
"Ngalap keberkahan di Ampyang Maulid memang begini, sambil berebut. Seru dan meriah," serunya, yang sejurus kemudian telah kembali meringsak ke kerumunan untuk berebut gunungan.
Sajian Khas Ampyang Maulid
Menurut penuturan Oni, nasi kepal memang menjadi ciri khas dari gelaran Kirab Ampyang Maulid di Desa Loram Kulon tersebut. Sajian nasi yang ber-duduh (lodeh) tahu dengan lauk ayam atau daging yang dibungkus daun pisang ini nggak selalu tersedia setiap hari.
Selain menjadi bagian dari gunungan yang jadi bahan rebutan, nasi kepal biasanya juga disertakan dalam gunungan utama yang setelah didoakan bersama bakal dibagikan secara gratis pada akhir acara. Gunungan ini nggak ikut dikirab, tapi sengaja disajikan panitia untuk seluruh pengunjung.
Menjelang sore, kirab tahunan ini berakhir. Lautan manusia yang sebelumnya memadati pelataran Masjid Wali pun berangsur lengang. Mereka perlahan beringsut pulang, membawa berkah sang Nabi ke rumah masing-masing.
Tingginya animo masyarakat dalam mengikuti kirab ini sejatinya sungguh melegakan, karena berarti masih banyak orang yang ingin bergerak bersama untuk menjaga tradisi tersebut agar tetap lestari. Barangkali, kebersamaan inilah berkah terbesar yang sesungguhnya dari sang Nabi! (Hasyim Asnawi/E03)