Inibaru.id - Museum Nyah Lasem tampak sederhana dari luar, tapi seperti lorong waktu begitu kita melangkah ke dalam. Inilah yang membuat saya betah berlama-lama mengelilingi bangunan tua yang berlokasi di ujung Gang Karangturi V, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang itu.
Ditemani sinolog cum pegiat kearsipan Agni Malagina yang telah bertahun-tahun mendalami surat-surat dagang batik Lasem, saya tiba di rumah gladak berarsitektur Tionghoa-Jawa ini saat matahari pagi masih malu-malu menyibak kabut tipis yang menggantung di atas genting tuanya.
Udara hangat berembus pelan begitu saya tiba rumah yang telah menjadi ruang kolektif ingatan perempuan, batik, dan sejarah dagang Lasem ini, membawa aroma kayu dan tanah yang mungkin masih sama sejak rumah-rumah kuno di sekitar sini berdiri pada abad ke-19.
Peristiwa ini berlangsung bulan lalu saat saya menyambangi museum ini untuk menghadiri Pameran Arsip Memori Kolektif Bangsa: Jaringan Dagang Batik Lasem Awal Abad Ke-20 sekaligus mendengarkan cerita Agni.
Saya katakan museum ini seperti lorong waktu karena dari halaman depan hingga ruang pameran utama, tergantung di dindingnya lembaran-lembaran kertas tua; beberapa ditulis tangan dalam bahasa Melayu, sebagian lain menggunakan huruf Mandarin dan diketik rapi.
Agni mengatakan, semua kertas itu punya satu kesamaan, berupa informasi yang mengabadikan denyut nadi perdagangan batik dari Lasem. Hampir seluruh bukti sejarah terkait hal tersebut bisa ditemukan di sini.
“Ini surat antara Nyonya Liem Koen An,” kata Agni, menunjuk sebuah arsip. "Kalau kita perhatikan baik-baik, surat ini penuh kode. Tapi bukan kode biasa. Mereka memakai kosakata batik."
Saya mendekat. Di lembaran itu tertulis kata “DJAMBON” yang ternyata berarti “pasaran rame, boleh kirimkan sarung lebih banyak dari biasa”. Ada juga “GADOENG” yang diterjemahkan sebagai “ada harapan sarung turun harga”.
Bahasa sandi itu diciptakan bukan semata untuk estetika, melainkan kebutuhan bisnis yang berhadapan dengan kompetitor dan penjaga pos kolonial yang bisa membaca isi surat.
Salah satu arsip paling mencolok adalah rekapitulasi jaringan mitra dagang Nyonya Liem Koen An, yakni sebanyak 109 distributor batik Lasem di 41 kota, tersebar dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Maluku dan Singapura.
“Surat ini ditemukan dari koleksi keluarga Afnantio Soesantio,” ujar Agni. “Dan sangat penting, karena untuk kali pertama kita bisa melihat bahwa Lasem punya jaringan distribusi skala yang luas.”
Saya terpana membaca nama-nama seperti Haji Mustafa dari Pematangsiantar, Lie Soen Lee dari Rembang, hingga Salim Alhadar dari Ternate. Saya melihat, hubungan dagang tak hanya dibangun atas dasar bisnis, tapi juga kepercayaan, budaya, dan mungkin persaudaraan lintas etnis.
Ada mitra beragama Islam, Tionghoa, bahkan perusahaan yang kelihatannya bersifat keluarga.
“Liem Koen An itu bukan sekadar pengusaha,” lanjut Agni. “Dia arsitek jejaring dagang. Perempuan yang tahu betul siapa yang bisa dipercaya di tiap pelabuhan, kota, bahkan pasar.”
Saya berhenti cukup lama di satu bagian yang memajang foto rumah dan ruang kerja Liem Koen An. Di sampingnya, tertera beberapa catatan pesanan batik dari kota-kota di luar Jawa. Rinciannya mengejutkan: warna, ukuran sarung, motif, hingga selera pelanggan.
“Batik Lasem di Padang misalnya lebih laris motif karang-sewu, sedangkan di Kalimantan mereka lebih suka watu-templek,” kata Agni. “Dari sini kita belajar bahwa motif batik bukan hanya estetika, tapi juga cermin preferensi sosial dan ekonomi di tiap wilayah.”
Pameran ini menarik karena menempatkan posisi batik begitu tinggi; menampilkan kesenian adiluhung itu sebagai sebuah sistem alih-alih benda mati. Dalam jaringan itu, Nyonya Liem adalah main character-nya.
Dialah sang penggerak utama. Surat-suratnya seperti algoritma dagang yang teliti, mencatat siapa, kapan, berapa jumlah kain, dan bagaimana mengatur logistik.
Logistik, Kode, dan Shipping
Bukan hanya soal pesanan kain, beberapa surat juga mencantumkan catatan pengiriman barang melalui Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda. Di situlah saya menyadari bahwa jaringan batik Lasem adalah bagian dari sistem logistik maritim kolonial.
"Bayangkan saja," kata Agni, "batik Lasem bisa dikirim dari Rembang ke Pontianak, kemudian ke Singapura, lalu dari sana mungkin dibawa lagi ke Malaysia. Dan semua itu diatur oleh selembar surat yang ditulis dengan tinta hitam dan kosakata batik.”
Surat-surat itu menandakan bahwa jaringan ini melintasi batas negara, bahkan sebelum konsep “Indonesia” terbentuk. Dari kota kecil di pesisir Jawa, Lasem menjadi simpul dalam sirkuit dagang internasional.
“Yang kami rawat di sini bukan hanya arsip,” kata Agni, “tetapi ingatan kolektif. Tanpa arsip, kita mudah melupakan, bahkan mudah menghapus.”
Sekitar 276 arsip statis terdiri dari surat pesanan, pengaduan, logistik, daftar distributor, hingga kwitansi pajak. Semuanya berasal dari koleksi keluarga Afnantio Soesantio, yang kini dikelola oleh Yayasan Lasem Heritage
Pameran ini, kata Agni, juga menjadi peringatan satu tahun wafatnya Afnantio, inisiator Museum Nyah Lasem. Rumah ini dulunya merupakan kediaman leluhur keluarga Soesantio, dibangun sekitar 1850, dan menjadi saksi perjalanan batik dari tangan ke tangan.
Saya meninggalkan museum dengan langkah pelan. Masih terbayang wajah para perempuan yang dahulu menulis surat, menyetrika batik, mengurus toko, dan memelihara jaringan. Mereka mungkin tak pernah masuk buku sejarah resmi, tapi dari lembaran-lembaran arsip itu, suara mereka kembali hidup.
Dari Lasem, kita belajar bahwa sejarah tak melulu tentang pertempuran dan kekuasaan. Sejarah juga bisa tentang kain, perempuan, dan surat-surat kecil yang menjelajah laut.
Ketika menyentuh sehelai batik Lasem hari ini, kita sejatinya tengah menyentuh peta tak kasatmata: jaringan dagang yang dirajut dengan kesabaran, intuisi, dan cinta; sekaligus menyentuh jejak yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. (Imam Khanafi/E10)
