BerandaAdventurial
Sabtu, 25 Jul 2025 13:06

Surat Lama dan Peta Dagang Batik yang Tersimpan Rapi di Museum Nyah Lasem

Agni Malagina, sinolog dari Museum Nyah Lasem menjelaskan tentang arsip yang ada. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Seperti lorong waktu, deretan surat dan peta dagang batik masa lalu tampak rapi di dinding Museum Nyah Lasem, menjadi bukti sejarah luasnya jangkauan bisnis tersebut.

Inibaru.id - Museum Nyah Lasem tampak sederhana dari luar, tapi seperti lorong waktu begitu kita melangkah ke dalam. Inilah yang membuat saya betah berlama-lama mengelilingi bangunan tua yang berlokasi di ujung Gang Karangturi V, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang itu.

Ditemani sinolog cum pegiat kearsipan Agni Malagina yang telah bertahun-tahun mendalami surat-surat dagang batik Lasem, saya tiba di rumah gladak berarsitektur Tionghoa-Jawa ini saat matahari pagi masih malu-malu menyibak kabut tipis yang menggantung di atas genting tuanya.

Udara hangat berembus pelan begitu saya tiba rumah yang telah menjadi ruang kolektif ingatan perempuan, batik, dan sejarah dagang Lasem ini, membawa aroma kayu dan tanah yang mungkin masih sama sejak rumah-rumah kuno di sekitar sini berdiri pada abad ke-19.

Peristiwa ini berlangsung bulan lalu saat saya menyambangi museum ini untuk menghadiri Pameran Arsip Memori Kolektif Bangsa: Jaringan Dagang Batik Lasem Awal Abad Ke-20 sekaligus mendengarkan cerita Agni.

Agni Malagina, sinolog dari Museum Nyah Lasem menjelaskan kepada pengunjung. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Saya katakan museum ini seperti lorong waktu karena dari halaman depan hingga ruang pameran utama, tergantung di dindingnya lembaran-lembaran kertas tua; beberapa ditulis tangan dalam bahasa Melayu, sebagian lain menggunakan huruf Mandarin dan diketik rapi.

Agni mengatakan, semua kertas itu punya satu kesamaan, berupa informasi yang mengabadikan denyut nadi perdagangan batik dari Lasem. Hampir seluruh bukti sejarah terkait hal tersebut bisa ditemukan di sini.

“Ini surat antara Nyonya Liem Koen An,” kata Agni, menunjuk sebuah arsip. "Kalau kita perhatikan baik-baik, surat ini penuh kode. Tapi bukan kode biasa. Mereka memakai kosakata batik."

Arsip yang dipamerkan di museum Nyah Lasem. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Saya mendekat. Di lembaran itu tertulis kata “DJAMBON” yang ternyata berarti “pasaran rame, boleh kirimkan sarung lebih banyak dari biasa”. Ada juga “GADOENG” yang diterjemahkan sebagai “ada harapan sarung turun harga”.

Bahasa sandi itu diciptakan bukan semata untuk estetika, melainkan kebutuhan bisnis yang berhadapan dengan kompetitor dan penjaga pos kolonial yang bisa membaca isi surat.

Salah satu arsip paling mencolok adalah rekapitulasi jaringan mitra dagang Nyonya Liem Koen An, yakni sebanyak 109 distributor batik Lasem di 41 kota, tersebar dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Maluku dan Singapura.

Arsip yang dipamerkan di museum Nyah Lasem. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

“Surat ini ditemukan dari koleksi keluarga Afnantio Soesantio,” ujar Agni. “Dan sangat penting, karena untuk kali pertama kita bisa melihat bahwa Lasem punya jaringan distribusi skala yang luas.”

Saya terpana membaca nama-nama seperti Haji Mustafa dari Pematangsiantar, Lie Soen Lee dari Rembang, hingga Salim Alhadar dari Ternate. Saya melihat, hubungan dagang tak hanya dibangun atas dasar bisnis, tapi juga kepercayaan, budaya, dan mungkin persaudaraan lintas etnis.

Ada mitra beragama Islam, Tionghoa, bahkan perusahaan yang kelihatannya bersifat keluarga.

“Liem Koen An itu bukan sekadar pengusaha,” lanjut Agni. “Dia arsitek jejaring dagang. Perempuan yang tahu betul siapa yang bisa dipercaya di tiap pelabuhan, kota, bahkan pasar.”

Agni Malagina, sinolog dari Museum Nyah Lasem menjelaskan kepada pengunjung. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Saya berhenti cukup lama di satu bagian yang memajang foto rumah dan ruang kerja Liem Koen An. Di sampingnya, tertera beberapa catatan pesanan batik dari kota-kota di luar Jawa. Rinciannya mengejutkan: warna, ukuran sarung, motif, hingga selera pelanggan.

“Batik Lasem di Padang misalnya lebih laris motif karang-sewu, sedangkan di Kalimantan mereka lebih suka watu-templek,” kata Agni. “Dari sini kita belajar bahwa motif batik bukan hanya estetika, tapi juga cermin preferensi sosial dan ekonomi di tiap wilayah.”

Agni Malagina, sinolog dari Museum Nyah Lasem menjelaskan kepada pengunjung. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Pameran ini menarik karena menempatkan posisi batik begitu tinggi; menampilkan kesenian adiluhung itu sebagai sebuah sistem alih-alih benda mati. Dalam jaringan itu, Nyonya Liem adalah main character-nya.

Dialah sang penggerak utama. Surat-suratnya seperti algoritma dagang yang teliti, mencatat siapa, kapan, berapa jumlah kain, dan bagaimana mengatur logistik.

Logistik, Kode, dan Shipping

Salah satu sudut Museum Nyah Lasem. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Bukan hanya soal pesanan kain, beberapa surat juga mencantumkan catatan pengiriman barang melalui Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda. Di situlah saya menyadari bahwa jaringan batik Lasem adalah bagian dari sistem logistik maritim kolonial.

"Bayangkan saja," kata Agni, "batik Lasem bisa dikirim dari Rembang ke Pontianak, kemudian ke Singapura, lalu dari sana mungkin dibawa lagi ke Malaysia. Dan semua itu diatur oleh selembar surat yang ditulis dengan tinta hitam dan kosakata batik.”

Agni Malagina, sinolog dari Museum Nyah Lasem menjelaskan kepada pengunjung. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Surat-surat itu menandakan bahwa jaringan ini melintasi batas negara, bahkan sebelum konsep “Indonesia” terbentuk. Dari kota kecil di pesisir Jawa, Lasem menjadi simpul dalam sirkuit dagang internasional.

“Yang kami rawat di sini bukan hanya arsip,” kata Agni, “tetapi ingatan kolektif. Tanpa arsip, kita mudah melupakan, bahkan mudah menghapus.”

Pengujung sedang memperhatikan isi arsip yang dipamerkan. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Sekitar 276 arsip statis terdiri dari surat pesanan, pengaduan, logistik, daftar distributor, hingga kwitansi pajak. Semuanya berasal dari koleksi keluarga Afnantio Soesantio, yang kini dikelola oleh Yayasan Lasem Heritage

Pameran ini, kata Agni, juga menjadi peringatan satu tahun wafatnya Afnantio, inisiator Museum Nyah Lasem. Rumah ini dulunya merupakan kediaman leluhur keluarga Soesantio, dibangun sekitar 1850, dan menjadi saksi perjalanan batik dari tangan ke tangan.

Agni Malagina, sinolog dari Museum Nyah Lasem menjelaskan kepada pengunjung. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Saya meninggalkan museum dengan langkah pelan. Masih terbayang wajah para perempuan yang dahulu menulis surat, menyetrika batik, mengurus toko, dan memelihara jaringan. Mereka mungkin tak pernah masuk buku sejarah resmi, tapi dari lembaran-lembaran arsip itu, suara mereka kembali hidup.

Dari Lasem, kita belajar bahwa sejarah tak melulu tentang pertempuran dan kekuasaan. Sejarah juga bisa tentang kain, perempuan, dan surat-surat kecil yang menjelajah laut.

Ketika menyentuh sehelai batik Lasem hari ini, kita sejatinya tengah menyentuh peta tak kasatmata: jaringan dagang yang dirajut dengan kesabaran, intuisi, dan cinta; sekaligus menyentuh jejak yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: