Inibaru.id - Siang yang agak teduh di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus saat Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat melangkah ke halaman Museum Situs Patiayam akhir pekan lalu, Jumat (17/10).
Di bawah naungan tenda putih, sejumlah panel informasi berdiri tegak, menampilkan replika tulang-belulang gajah purba Elephas hysudrindicus, peta stratigrafi situs, dan foto-foto ekskavasi terbaru.
Suasana hari itu bukan sekadar kunjungan seremonial. Rerie, demikian Lestari biasa disapa, juga datang untuk berdialog langsung dengan sekitar 150 guru sejarah dari berbagai sekolah di aula Sekretaris Daerah (Sekda) Kudus.
Di sela kegiatan sosialisasi bersama sekitar 150 guru sejarah se-Kabupaten Kudus, dia menyempatkan diri berkunjung langsung ke museum yang terhubung dengan Situs Purbakala Patiayam tersebut.
Dengan langkah perlahan, dia menelusuri ruang pamer mini di halaman museum yang menampilkan fosil gajah purba Elephas hysudrindicus, tulang rahang stegodon, dan gigi-gigi hewan yang hidup jutaan tahun silam.
Kekayaan Sejarah Patiayam
Kegiatan ini menjadi bagian dari sosialisasi dan edukasi publik tentang kekayaan prasejarah Patiayam; kawasan yang telah lama dikenal sebagai “permata tersembunyi” di Muria, tepatnya di jalur pegunungan antara Kudus dan Pati.
Di sinilah berbagai fosil hewan purba, seperti stegodon, badak, banteng, hingga kerbau prasejarah ditemukan, menjadikannya sebagai salah satu situs paleontologi terpenting di Pulau Jawa.
Ruang pamer "pop-up" museum yang dibuka bertepatan dengan HUT Kabupaten Kudus pada akhir September lalu tersebut belakangan memang menjadi salah satu daya tarik masyarakat Kudus dan sekitarnya.
Salah satu magnet utamanya adalah mock-up fosil temuan terbaru Elephas hysudrindicus yang dikerjakan bersama tim Balai Arkeologi Yogyakarta dan pegiat lokal Patiayam. Menurut Rerie, inisiatif ini bukan hanya pameran visual, tetapi juga laboratorium ingatan bagi generasi muda Kudus.
“Harapan kami, anak-anak tidak hanya mengenal Patiayam sebagai nama tempat, tetapi juga memahami maknanya; bahwa dari tanah ini, kita bisa membaca jejak kehidupan jutaan tahun lalu,” tutur politikus dari Partai Nasdem tersebut.
Menurutnya, upaya memperkenalkan sejarah dan warisan prasejarah harus dimulai dari sekolah. Guru menjadi pintu pertama yang mampu menyalakan rasa ingin tahu murid terhadap asal-usul daerahnya.
Patiayam sebagai Cagar Budaya
Perlu kamu tahu, situs Patiayam saat ini tengah diusulkan untuk menjadi Cagar Budaya Nasional, mengingat nilai arkeologis dan ilmiahnya yang tinggi. Upaya itu terus dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kudus bersama para peneliti dan komunitas lokal.
Sejumlah upaya yang dilakukan di antaranya dengan memperkuat data pendukung, agar status tersebut segera ditetapkan oleh pemerintah. Jika terwujud, kawasan Patiayam berpotensi menjadi pusat wisata sejarah dan edukasi prasejarah yang mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif masyarakat sekitar.
Kunjungan Rerie hari itu meneguhkan bahwa melestarikan situs purbakala bukan hanya soal menjaga benda-benda tua, melainkan juga menyambung rantai pengetahuan antargenerasi. Menurutnya, nggak hanya fosil yang akan menjadi daya tarik, tapi juga narasi kebudayaan dan kisah peradaban kuno di dalamnya.
“Pelestarian tidak hanya tanggung jawab arkeolog atau pemerintah,” ujarnya pelan sesaat sebelum meninggalkan pop-up museum. “Ia hidup kalau masyarakat merasa memiliki, memahami, dan mencintai warisan ini.”
Sebelum benar-benar meninggalkan museum, sayup terdengar perempuan bersahaja itu menyapa para siswa yang sedang mencatat keterangan fosil, lalu berbincang dengan pemandu lokal yang menceritakan proses ekskavasi di lapangan.
Di bawah perbukitan merah keemasan itu, suara anak-anak SD yang berlarian di halaman museum terdengar riang. Betapa indahnya jika museum purbakala terus seriuh itu. Mungkin, kelak akan lahir arkeolog baru di antara mereka yang menemukan jejak lain dari masa lalu di Kota Kretek ini. (Imam Khanafi/E10)
