BerandaInspirasi Indonesia
Selasa, 14 Okt 2025 16:42

Tepuk Sakinah, Minizine, dan Full-body Reading Komunitas Literasi Lumbung Baca

Penulis:

Tepuk Sakinah, Minizine, dan Full-body Reading Komunitas Literasi Lumbung BacaImam Khanafi
Tepuk Sakinah, Minizine, dan Full-body Reading Komunitas Literasi Lumbung Baca

Peserta sedang melakukan senam dan tepuk sakinah. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Memarodikan 'Tepuk Sakinah', lalu menggabungkannya dengan produksi minizine tampak nggak nyambung, tapi justru menjadi aktivitas absurd yang menarik di tangan komunitas literasi 'Lumbung Baca' di Taman Oasis Kudus.

Inibaru.id - Akhir pekan; pagi merambat pelan di Taman Oasis Kudus, belum lama ini. Di antara orang-orang yang menikmati udara pagi di taman yang berlokasi di Kecamatan Bae itu, sekelompok pemuda tampak berkumpul di salah satu sudutnya,berdiri melingkar di rerumputan yang masih basah.

Ekspresi mereka beragam. Ada yang tersenyum kikuk, memejamkan mata, serta menggenggam catatan kecil seperti hendak menangkap sesuatu yang entah apa. Saiful Annas, koordinator kelompok yang mendaku diri sebagai Lumbung Baca Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) itu mengatakan, mereka tengah 'membaca".

"Bukan (membaca) buku, tapi literasi yang lain,” serunya, lalu tertawa ringan. “Kami sedang belajar membaca semesta; mengingat bahwa membaca bukan cuma kerja otak, tapi juga seluruh tubuh.”

Jawaban absurd itu tentu saja membingungkan. Menurutnya, kegiatan pagi itu memang nggak ada yang konkret. Alih-alih berurusan dengan buku sebagaimana pertemuan-pertemuan sebelumnya, hari itu komunitas literasi populer di Kudus ini memang tengah mencoba sesuatu yang lain.

Saiful Annas, koordinator Lumbung Baca Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) sedang menjelaskan ke peserta dalam acara di atas. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Saiful Annas, koordinator Lumbung Baca Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) sedang menjelaskan ke peserta dalam acara di atas. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Mereka yang biasanya berkutat dengan teks di bawah pohon jati di pelataran rumah warga di kampung halaman mereka yakni Kampung Budaya Piji Wetan, Saiful Annas mengungkapkan, pagi itu dipantik untuk meresapi alam di Taman Oasis.

"Kami bertandang cukup jauh dari rumah," sebutnya, "Ini adalah ritual literasi yang memadukan antara kesadaran tubuh, kejenakaan, dan pencarian makna spiritual."

Seorang peserta seketika menyeletuk, mengatakan bahwa pagi itu mereka tengah mencoba refresh dengan melakukan hal lain. Sambil menghirup aroma rumput basah, dia melanjutkan, para peserta mencoba membaca udara, rasa, dan getaran, yang disebut sebagai full-body reading.

"Full-body reading itu membaca dengan seluruh pancaindra," sambut Annas. “Selama ini literasi identik dengan kegiatan duduk tenang membaca teks, tapi tubuh kita tumpul dan kita berhenti merasa. Maka kami ajak orang membaca pakai tubuhnya, supaya literasi kembali jadi pengalaman yang hidup.”

Menguji Makna Sakinah

Saiful Annas, koordinator Lumbung Baca Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) sedang menjelaskan ke peserta dalam acara. (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Saiful Annas, koordinator Lumbung Baca Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) sedang menjelaskan ke peserta dalam acara. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Alih-alih kelas membaca, yang dilakukan Lumbung Baca pagi itu lebih mirip teater avant-garde yang unik dan eksperimental. Ada yang berbaring mendengar suara angin, menatap bayangan di air mancur kecil, ada pula yang menulis di udara dengan jari, seolah sedang menyalin doa.

Semuanya berkonsentrasi dengan penuh kesadaran, melakukan apa pun yang mereka inginkan. Annas yang pagi itu bertindak sebagai kurator dan fasilitator mempersilahkan absurditas itu terus berlangsung hingga sekitar pukul 08.00 WIB, saat dia mengeluarkan novelet Dompet Ayah Sepatu Ibu karya JF Khairan.

“Teman-teman,” katanya lembut, seketika memecah keheningan, membuat sorot mata para peserta kelas literasi itu tertuju pada arah suara. “Hari ini kita akan menguji ulang makna sakinah!"

”Kata sakinah, yang berarti ketenangan atau kedamaian, biasanya muncul di khutbah pernikahan atau majelis taklim. Tapi di tangan komunitas ini, maknanya diretas, direka ulang, bahkan diparodikan," lanjutnya.

Peserta dalam acara. (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Peserta dalam acara. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Selanjutnya, Annas pun segera mengajak mereka membentuk lingkaran, lalu menepuk tangan pelan secara berirama. “Tepuk sakinah, tepuk sakinah!” serunya. Bernada, tapi terdengar lucu seperti tengah mengajari anak-anak menyanyi.

Annas terus menepuk tangan dan bernyanyi secara berulang. Suara yang semula terdengar tanpa ritme perlahan menjadi beraturan, seperti ketukan yang cocok untuk meditasi. Merespons apa yang dilakukan Annas, ada peserta yang tertawa kecil, menunduk diam, bahkan meneteskan air mata.

“Sumpah, geli banget di awal,” kata seorang peserta. “Tapi, lama-lama kayak ada energi yang ngalir. Rasanya tenang, tapi bukan tenang yang kaku.”

Di tengah "ritual" tepukan tersebut, Annas segera membaca satu kalimat dari JF Khairan, “Ketenangan bukan berarti berhenti bergerak, tapi menemukan ritme di tengah kegaduhan.”

Minizine Tepuk Sakinah

Peserta dalam acara. (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Peserta dalam acara. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Terkadang, butuh jalan memutar untuk menjelaskan satu hal agar maknanya tersampaikan. Inilah yang dilakukan Annas. Butuh melewati "Tepuk Sakinah" untuk menjelaskan pentingnya ketenangan untuk melihat arus informasi yang datang begitu cepat saat ini.

"Sekarang semua orang baca. Cepat; caption, kutipan, ringkasan; tapi nggak ada yang benar-benar mengalami," terangnya setelah menghentikan parodi "Tepuk Sakinah" yang kali pertama dipopulerkan Kementerian Agama. "Kami ingin membaca jadi cara hidup, bukan gaya hidup."

Setelahnya, Annas pun meminta seluruh peserta membuat karya kolektif berupa "Minizine Tepuk Sakinah". Nggak seperti minizine (buklet mini independen dengan sirkulasi terbatas) pada umumnya, hasil karya ini hanya akan menjadi koleksi pribadi, nggak dipublikasikan di mana pun.

“Kalau mau tahu isinya, harus ikut (aktivitas ini),” celetuk Annas, lalu tersenyum misterius. “Ya, karena literasi sejati itu bukan dibaca, tapi dialami.”

Peserta dalam acara sedang membuat zine. (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Peserta dalam acara sedang membuat zine. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Annas hanya menggambarkan bahwa zine itu akan berisi potongan pengalaman seperti kata-kata spontan, gambar tangan, atau bunyi onomatope seperti "ssshhh", "tap-tap", dan "nggelayut". Sebuah arsip tubuh, bukan arsip teks.

Pembuatan minizine menjadi acara pemungkas pagi itu. Setelah bersama-sama mereka membuka bekal berupa nasi bungkus, lalu menjerang kopi, dan menertawakan apa yang baru saja mereka lakukan, lalui, atau hal remeh-temeh yang mereka alami, mereka duduk melingkar di bawah pohon trembesi besar di sudut taman.

Berbekal kertas, spidol warna-warni, dan benang, mereka mulai berkreasi. Nggak ada format dan tanpa aturan dalam pembuatan minizine tersebut. Hasilnya sungguh absurd, tapi penuh makna.

"Ada satu peserta yang menulis, 'Aku membaca dengan lutut. Ia lelah tapi jujur.' Kemudian, ada juga yang menulis, “Sakinah adalah rasa geli yang berubah jadi tenang.' Macam-macam isinya," beber Annas.

Menjadi Arsip Rahasia

Peserta dalam acara menujukan zine. (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Peserta dalam acara menujukan zine. (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Setelah karya mereka selesai, minizine segera dijilid secara manual, disatukan menggunakan benang coklat yang sudah dipersiapkan, lalu disimpan. Annas enggan membeberkan isinya lebih lanjut karena menurutnya ini adalah arsip rahasia mereka.

“Kami ingin menjaga kesakralan pengalaman mereka,” terang Annas.

Saat acara penuh keabsurdan yang menyenangkan itu hampir berakhir, suasana taman juga mulai ramai. Deretan kendaraan terparkir di bahu jalan, sementara orang-orang menyemut di sekitar taman. Ada yang bermain-main, ada yang berolahraga. Riuh. Ramai. Penuh tawa.

“Kita sudah terlalu sering membaca dunia lewat layar. Sekarang, mari kita baca lagi lewat tubuh. Karena tubuh adalah halaman pertama yang diberikan semesta,” tutup Annas. Suaranya tersamarkan oleh keriuhan di sekitar mereka.

Acara tersebut mengajarkan kita bahwa literasi bukan hanya tentang menambah pengetahuan, tapi menajamkan kesadaran; sebuah modal yang penting untuk mengarungi arus informasi yang bergerak begitu cepat saat ini. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved