BerandaAdventurial
Kamis, 19 Jun 2024 18:30

Sejarah Kudus, Simpang Tujuh Jadi Pusat Keramaian sejak Masa Kolonialisme

Perbedaan kondisi Kompleks Alun-Alun Kudus zaman dahulu dengan sekarang. (Inibaru.id/ Alfia Ainun Nikmah)

Sejarah Kudus mencatat, alun-alun di kota tersebut yang dikenal sebagai 'Simpang Tujuh' ternyata sudah jadi pusat keramaian sejak masa Kolonialisme.

Inibaru.id - Seperti kebanyakan alun-alun di pelbagai kota, Simpang Tujuh di Kabupaten Kudus juga menjadi pusat keramaian yang menyediakan berbagai hal. Pusat pemerintahan, area perbelanjaan, lokawisata kuliner, hingga toko-toko legendaris, semuanya ada di sini.

Meski Kudus memiliki pusat keramaian lain seperti Kompleks Masjid Menara, Balai Jagong, atau Makam Sunan Muria, masyarakat setempat biasanya bakal tetap merekomendasikan Simpang Tujuh sebagai destinasi wisata utama mereka, terutama saat akhir pekan.

Kalau pernah berkunjung ke kabupaten yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Kota Semarang ini, kamu pasti akan merasakan betapa ramainya Simpang Tujuh pada akhir pekan. Sejak pagi, lapangan yang menghubungkan berbagai jalan protokol itu telah ramai dipadati warga, mulai dari yang ingin bersepeda, lari, hingga sekadar jalan-jalan bareng keluarga sambil berwisata kuliner di sana.

Sebagai orang yang sempat numpang belajar di Kudus, sesekali saya juga menikmati keramaian di sana. Oya, ada satu fakta menarik tentang Simpang Tujuh yang baru saya ketahui beberapa hari lalu, yakni bahwa keramaian di tempat tersebut sejatinya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Minggu pagi beberapa waktu lalu saya menyambangi car free day (CFD) di Alun-Alun Kudus untuk mengikuti walking tour tentang perkembangan Simpang Tujuh yang digelar oleh Lelana. Di sinilah saya mengetahui fakta bahwa tempat tersebut sudah menjadi pusat keramaian sejak Zaman Kolonialisme.

Oya, Lelana atau lebih lengkapnya Lelana Kudus Walking Tour adalah sebuah komunitas pencinta sejarah di Kudus. Hari itu, bersama belasan peserta lintas usia, saya belajar banyak tentang alun-alun kebanggaan warga Kota Kretek ini, mulai dari sejarah hingga perkembangannya.

Dikelilingi Bangunan Lama

Simpang Tujuh atau Alun-Alun Kudus dikelilingi kantor bupati di sisi utara, masjid di sisi barat, dan pasar (dulu) di sisi timur. (Inibaru.id/ Alfia Ainun Nikmah)

Hidayat, salah seorang story teller Lelana mengungkapkan, banyak bangunan lama di sekitar alun-alun yang menunjukkan tempat ini merupakan pusat keramaian. Menurutnya, tempat tersebut ramai karena merupakan persimpangan jalur antarkota yang dilalui orang dari berbagai arah.

"Menurut catatan sejarah, sejak 1877 alun-alun ini adalah perlintasan Pati-Kudus yang selalu ramai dan dirindangi pohon kenari dan beringin, meski sekarang di tengah (alun-alun) sudah nggak ada lagi," terang Hidayat.

Kendati sudah nggak ada beringin di tengah Simpang Tujuh yang menjadi ciri khas alun-alun kota, Hidayat memaparkan, Kudus tetap mempertahankan keberadaan vegetasi hijau berupa beringin yang mengelilingi lapangan, berseberangan dengan kantor bupati yang berpagar tinggi dengan dua gapura.

"Dulu, alun-alun ini berpagar palang kayu, yang merupakan batas dengan kabupaten. Lalu, di depan kantor bupati ada dua paseban (pendopo kecil) untuk transit tamu," terangnya. "Kalau masuk ke kantor bupati, desain interiornya masih asli dengan lampu di tengah teras yang ditata apik."

Hidayat menambahkan, alun-alun diapit oleh masjid dan pasar di sisi barat dan timur. Masjid di sisi barat sebagai pengingat terhadap keberadaan Tuhan, sedangkan pasar yang bersebelahan dengan gedung kejaksaan di sisi barat. Di pasar inilah pusat keramaian terjadi.

"Di sisi utara alun-alun, sebelah kantor bupati, yang sekarang adalah pusat kuliner Taman Bojana, dulunya adalah Bioskop Karya, lalu berubah jadi Bioskop Ramayana. Yang diputar di bioskop ini kebanyakan film india," jelasnya sembari berjalan ke arah timur dari kantor bupati.

Bioskop sebagai Pusat Hiburan

Bioskop Karya dan Garuda menjadi bagian nggak terpisahkan dari pusat keramaian di Alun-Alun Kudus tempo dulu. (Inibaru.id/ Alfia Ainun Nikmah)

Bioskop Karya yang kemudian berganti nama menjadi Bioskop Ramayana menjadi pusat hiburan pada masa kolonialisme. Sepelemparan batu dari bioskop tersebut, Hidayat menceritakan, ada juga Oost Java Bioscope, gedung bioskop kenamaan yang berangka tahun 1922.

"Sekarang Restoran Garuda; dulu Oost Java Bioscope. Oost itu timur, Java itu Jawa. Di luar Kudus juga ada Oost Java. Kalau sekarang mungkin seperti Cineplex atau XXI," kelakarnya.

Terkait Oost Java, Hidayat mengimbuhi, bioskop itu sempat beberapa kali berganti kepemilikan. Saat dimiliki Belanda pada 1922, namanya adalah Appel. Tiga tahun berselang atau setelah dijual ke kongsi Tionghoa, namanya jadi Kudus Theater.

"Pada 1933 berubah nama menjadi Royal Theater, lalu antara 1970 hingga 1980 ganti lagi jadi Garuda Teater Bioskop, sebelum meredup karena kemunculan televisi berwarna sekitar 1990-an," kenang Hidayat. "Sekarang diubah jadi Restoran Garuda, tapi tetap mempertahankan arsitektur lama."

Seharian itu, pikiran saya benar-benar terlempar jauh ke masa lalu. Saya membayangkan betapa ramainya Simpang Tujuh pada masa itu. Situasinya mungkin nggak bakal jauh berbeda dengan, meski secara infrastruktur jelas nggak bisa disamakan dengan saat ini.

Nah, buat kamu yang asli Kudus atau bermukim di kota tersebut, sudah pernah mendengar sejarah ini jugakah? Ternyata kota tersebut nggak kalah "kuno" dibanding Semarang dengan Kota Lama-nya atau Jakarta dengan Kota Tua-nya, ya? Ha-ha. (Alfia Ainun Nikmah/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT