BerandaAdventurial
Kamis, 24 Des 2025 13:01

Menelusuri Kretek Kudus dalam Catatan Jurnalis Legendaris Parada Harahap

Peserta walking tour Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban yang dilakukan Cerita Kudus Tuwa (Dok Cerita Kudus Tuwa)

Catatan Parada Harahap tentang munculnya figur-figur besar di bisnis rokok dan kebangkitan ekonomi bumiputera di Kota Kretek menjadi narasi yang menarik untuk ditelusuri peserta walking tour komunitas Cerita Kudus Tuwa.

Inibaru.id – Kadang, sebuah kota nggak hanya dibaca dari bangunan tuanya, tetapi dari jejak tangan-tangan yang pernah menuliskan kisah perjalanan di dalamnya. Dari catatan itulah ingatan kolektif bekerja, menghubungkan masa lalu dengan hari ini.

Semangat itulah yang dihadirkan dalam walking tour "Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban", sebuah perjalanan menelusuri Kudus lewat langkah kaki, cerita lisan, dan arsip-arsip lama yang pernah direkam jurnalis legendaris Parada Harahap.

Minggu pagi, akhir November lalu, Taman Ojek Menara Kudus menjadi titik temu. Sejak pukul 08.00, peserta mulai berdatangan; peneliti sejarah, pegiat arsip, mahasiswa, hingga warga Kudus yang ingin membaca kembali kotanya sendiri.

Di bawah bayang Menara Kudus yang kokoh, perjalanan ini dimulai bukan sebagai wisata biasa, melainkan sebagai upaya merawat ingatan kota.

Peserta walking tour Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban sedang mendengarkan pemandu bercerita kawan menara yang dilalui. (Dok. Cerita Kudus Tuwa)

“Walking tour ini kami rancang bukan untuk mengejar destinasi, tetapi memperlambat langkah, supaya cerita-cerita lama bisa kembali terdengar,” ujar Yusak Maulana dari komunitas Cerita Kudus Tuwa (CKT), pihak penyelenggara walking tour.

Walking tour kali ini bukan bertolak dari bangunan, tapi Parada Harahap. Di Taman Menara, Yusak mulai membuka kisah tentang sang jurnalis yang dijuluki King of the Java Press itu.

Menelusuri Narasi Parada Harahap

Lahir di Tapanuli Selatan pada 1899, Parada memulai hidupnya sebagai juru tulis perkebunan karet sebelum memilih jalan sunyi dan berisiko: menjadi jurnalis bumiputera di masa kolonial.

Pada dekade 1930-an, Parada berkeliling Jawa, menulis laporan perjalanan yang kelak menjadi sumber penting sejarah sosial-ekonomi. Kudus, kota kecil di kaki Muria, menjadi salah satu simpul penting dalam catatannya.

Peserta walking tour Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban sedang berada di gang-gang sempit Langgardalem. (Dok Cerita Kudus Tuwa)

“Parada tidak hanya melihat bangunan atau statistik. Dia mencatat manusia, etos kerja, dan jaringan dagang yang hidup,” tutur Yusak.

Dalam laporannya, Parada menulis tentang pedagang santri Kudus yang membangun industri kretek dari dapur-dapur rumah. Dia merekam bagaimana racikan tembakau dan cengkih, yang konon dirintis Jamhari sejak sekitar 1880, berkembang menjadi industri raksasa yang menghidupi ribuan orang.

Catatan Parada juga menyinggung konflik antar-pengusaha pada 1918 hingga munculnya figur-figur besar seperti Nitisemito, sang Raja Kretek.

“Bagi Parada, Kudus adalah contoh kebangkitan ekonomi pribumi waktu itu,” kata Yusak, menafsirkan catatan Parada.

Cerita Langgardalem Tempo Dulu

Peserta berada di bekas pabrik Moeslich bin Soleh, pemilik rokok kretek cap Tebu dan Cengkeh waktu itu yang sekarang menjadi Rokok Buah Cengkeh sebelum keliling pabrik. (Dok Cerita Kudus Tuwa)

Dari Taman Menara, rombongan bergerak menyusuri koridor Menara menuju Gang Masjid Puspitan. Di sinilah cerita Langgardalem tempo dulu mengemuka. Wilayah di timur Menara Kudus ini pernah menjadi jantung industri kretek, dihuni para saudagar batik yang beralih menjadi pengusaha rokok.

Langgardalem bukan sekadar nama desa, melainkan lanskap sosial. Rumah-rumah besar, gang-gang sempit, dan langgar-langgar kecil menjadi saksi denyut ekonomi rumahan yang perlahan membesar.

“Kalau hari ini kita melihatnya biasa saja. Dulu, kawasan ini adalah pusat produksi, pusat uang beredar, dan pusat tenaga kerja,” jelas Yusak.

Di sela langkah, peserta diajak membayangkan masa ketika ribuan buruh linting bekerja dari pagi hingga sore, suara tembakau diremas bercampur doa-doa yang lirih. Parada Harahap mencatat suasana ini sebagai potret unik: industri modern yang tumbuh dari etos religius.

Jejak Kretek 'Tebu dan Cengkeh'

Pemandu memperluhatkan foto lama saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda berkunjung ke rokok kretek cap Tebu dan Cengkeh 1939. (Dok Cerita Kudus Tuwa)

Setelahnya, perjalanan berlanjut menuju kediaman Moeslich bin Soleh atau H Moeslich, pemilik rokok kretek cap "Tebu dan Cengkeh" yang sekarang menjadi "Rokok Buah Cengkeh". Sosok inilah yang membuat nama Kudus tercatat dalam agenda resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.

Pada 19 Maret 1939, pabrik Moeslich di Desa Langgardalem dikunjungi langsung oleh pejabat tertinggi kolonial itu. Kunjungan tersebut menjadi berita di media-media Belanda seperti De Locomotief dan Het Nieuws van den Dag.

“Bayangkan, sebuah pabrik kretek bumiputera menjadi tujuan terakhir kunjungan gubernur jenderal di wilayah Muria!” kata Nova David, salah seorang pemandu walking tour tersebut.

Sejak memasuki wilayah timur kota Kudus, rombongan kolonial disambut umbul-umbul oranye, warna Kerajaan Belanda. Langgardalem pun tercatat sebagai desa legendaris, sementara batas kota timur saat itu berada di Pentol, kawasan yang kini dekat dengan pusat perbankan modern.

Antara Batik dan Kretek

Salah satu peserta walking tour sedang tanya jawab dengan ibu-ibu pekerja pabrik rokok. (Dok Cerita Kudus Tuwa)

Moeslich bukan asli Langgardalem, tapi diperkirakan masih berasal dari wilayah Muria, kemungkinan kelahiran Desa Bunggoro yang kini masuk Desa Purworejo, Kecamatan Bae, pada 1883. Nama aslinya Moeltazam, memulai karier sebagai buruh, baik di bawah usaha keluarga maupun saat merantau di Solo dan Surabaya.

Titik balik terjadi ketika dia mulai melihat potensi kretek sekitar awal-awal abad ke-20. Saat itu, Moeslich tengah berdagang batik. Sembari berjualan, dia membawa kretek buatan istrinya, Masrifah, untuk dijajakan juga. Kejadian itu diperkirakan berangka tahun 1914.

“Ini menarik, karena sejarah kretek memang tak bisa dilepaskan dari batik,” ujar Nova. "Lima tahun kemudian, keuntungan usaha membawanya berangkat haji. Sepulang dari Tanah Suci, nama Moeltazam berganti menjadi Moeslich."

Pada 1924, riset Darmawan Mangoenkoesoemo mencatat Moeslich sebagai salah satu dari enam pengusaha kretek besar di Kudus. Pabriknya meluas hingga 12.500 meter persegi, mempekerjakan sekitar 4.000 orang dengan produksi mencapai dua juta batang per hari, dengan pasar Jatim, Kalimantan, Sumatra, hingga Papua.

Peserta walking tour Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban yang dilakukan Cerita Kudus Tuwa sedang berjalan melanjutkan perjalanan ketujuan berikutnya (Dok. Cerita Kudus Tuwa)

“Sisa kejayaan itu masih bisa kita lihat sampai hari ini,” kata Nova sambil menunjuk bekas bangunan besar di Kampung Puspitan. Tegel lantai bergambar cengkeh menjadi artefak bisu kesuksesan masa lalu.

Namun, kejayaan itu nggak panjang. Moeslich mangkat pada 7 Agustus 1956, tiga tahun setelah Masrifah. Bersamaan dengan itu, usaha Tebu dan Cengkeh berhenti beroperasi dan nggak berlanjut ke generasi berikutnya sampai sekarang.

Menyambangi Kediaman Mbah Atmo

Ketika Tebu dan Cengkeh tumbang, bisnis rokok tetap menjadi bahan bakar pemutar roda ekonomi di Kudus. Jejaring keluarga Moeslich juga menyatu dengan dinasti kretek lain. Nitisemito, Roda, dan Garbis, menjadi tanda betapa eratnya jaringan sosial industri ini.

Dari Moeslich, peserta walking tour diajak menyambangi Mbah Atmo atau Atmowidjojo di sisi selatan Menara Kudus, tepatnya di kawasan Pringinan, Desa Kerjasan. Dialah sang pemilik kretek cap Goenoong Kedoe.

Peserta walking tour Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban yang dilakukan Cerita Kudus Tuwa sedang mendengarkan cerita. (Dok. Cerita Kudus Tuwa)

Sosoknya dikenal low profile dan kerap berpenampilan seperti tukang kebun. Dengan penampilan dan perangainya ini, konon waktu itu banyak tamu yang nggak menyangka bahwa sosok bersahaja tersebut adalah pemilik salah satu pabrik kretek terbesar.

Atmo, anak bungsu dari Trunodiwongso dan Nyi Rowo, mulai merintis usaha pada 1912. Dia termasuk generasi awal pengusaha kretek, sezaman dengan para haji Kudus Kulon. Jaringan dagangnya di Jawa Timur menjadi modal sosial penting, sebelum akhirnya memilih fokus sepenuhnya di Kudus.

Pabriknya berkembang dengan membeli rumah tetangga-tetangganya untuk menciptakan kompleks produksi yang luas. Selain Gunung Kedoe, Mbah Atmo juga melahirkan jenama Krandjang dan Omah. Ketika Parada berkunjung pada 1939, dia mencatat kontras antara kesederhanaan hidup Atmo dan besarnya skala usaha.

Atmo wafat pada 1945. Meski pabriknya kini tak lagi beroperasi, rumah, bangunan pabrik, dan musala yang ia dirikan masih berdiri. “Jejak itu penting, karena menunjukkan bahwa industri ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal laku hidup,” tutur Yusak.

Jejak Dagang PR Delima

Peserta walking tour Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban yang dilakukan Cerita Kudus Tuwa sedang berada di Museum Ketjil H.M. Ashadi. (Dok. Cerita Kudus Tuwa)

Walking tour hari itu kemudian ditutup di Museum Ketjil H.M. Ashadie. Di ruang ini, peserta diajak melihat pameran Jejak Dagang PR Delima yang berisikan arsip dagang, dokumen, foto, dan benda-benda yang menghidupkan kembali memori industri kretek Kudus.

Museum menjadi ruang refleksi. Di sini, walking tour menemukan maknanya: membaca kota sebagai teks panjang yang ditulis oleh banyak tangan, pedagang santri, buruh linting, jurnalis pengelana, dan keluarga-keluarga pengusaha.

“Kalau kita tidak berjalan dan bercerita, arsip hanya akan menjadi benda mati,” kata Yusak Maulana menutup perjalanan. “Dengan berjalan, kita memberi tubuh pada ingatan.”

Smara: Jejak Dagang, Jejak Peradaban bukan sekadar wisata sejarah. Ia adalah ajakan untuk menengok ulang peradaban dari dekat, dari gang sempit, tegel lantai pabrik, hingga catatan seorang jurnalis yang pernah percaya bahwa perjalanan adalah cara terbaik memahami sebuah kota. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Berbagai Keseruan yang Bisa Kamu Sambangi saat Musim Dingin di Seoul

11 Des 2025

Mencicipi Rasa Legendaris di Bakmi Jawa Pak Bagyo Magelang

11 Des 2025

Bebas Pilih Menu; Makan Gratis di Warmah Semarang untuk Korban Bencana Sumatra

11 Des 2025

Yang Harus Diperhatikan Generasi Muda saat Mempersiapkan Dana Pensiun

11 Des 2025

Plankton, Rahasia Warna-warni Kinclong Ikan Koi

11 Des 2025

Alas Krendowahono Bukan Sekadar Hutan, tapi Pusat Ritual Sakral

11 Des 2025

PLTN Pertama di Indonesia Ditargetkan Beroperasi 2032, Begini Rincian Rencananya

12 Des 2025

Kenapa Sih saat Foto Paspor Nggak Boleh Senyum? Ini Alasannya

12 Des 2025

Setahun Terakhir, Ada 43 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Jateng

12 Des 2025

Banjir Semakin Parah, Jateng Susun Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

12 Des 2025

Inspirasi Sepekan; dari Kiai Mangrove hingga Aksi 'Warga Bantu Warga' di Kota Lunpia

12 Des 2025

Tanpa Keseimbangan Hulu-Hilir, Banjir Permanen Hantui Pantura Jateng

12 Des 2025

Dua Arca Diduga dari Abad ke-10 Ditemukan di Sragen, Ada Teko Jepang Ikut Terkubur!

12 Des 2025

Kisah Kadjo, Abdi Dalem Muda dari Solo yang Dikirim ke Belgia dan Sukses Jadi Ahli Arloji!

12 Des 2025

Pentingnya Memahami Pencegahan dan Penanganan Pertama Kebakaran

13 Des 2025

Mengapa Semakin Banyak Gen Z yang Kosongkan Profil Instagramnya?

13 Des 2025

Mitigasi Banjir Kota Semarang; Pakai 'Bola GPS' untuk Lacak Titik Penyumbatan Air

13 Des 2025

Tanda-Tanda Awal Autisme pada Bayi dan Balita; Mengapa Deteksi Dini Penting?

13 Des 2025

Soal Ilegal Logging; Prabowo Janji Sikat Habis Pelaku

13 Des 2025

Labeli Angker, Cara Cerdas Leluhur Jaga Pohon?

13 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: