BerandaAdventurial
Sabtu, 9 Feb 2024 14:00

Bermalam di Pedalaman Suku Badui seperti Mengingat Masa Kecil

Pintu masuk menuju perkampungan Suku Badui di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Beberapa waktu lalu, saya menginap selama tiga hari dua malam di pemukiman Suku Badui Luar. Pengalaman di sana seperti membawa ke kehidupan masa kecil dulu yang belum mengenal internet, listrik, dan ponsel.

Inibaru.id - Saya masih ingat ketika Pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan mengharuskan beraktivitas di rumah. Kala itu saya berstatus mahasiswa tingkat akhir dan tak banyak tugas atau kelas online yang saya ikuti.

Di sela-sela banyaknya waktu luang itulah, kadang saya memanfaatkan untuk nonton film. Tayangan video dokumenter yang menceritakan seputar kehidupan Suku Badui bikin saya terkesan. Dalam lubuk hati, saya berbicara, "Suatu saat nanti saya harus ke sana!"

Pucuk di cinta ulam pun tiba, awal bulan Januari 2024, seorang kawan mengirim poster berisi ajakan ikuti acara "Jelajah Jejak Bencana Badui". Tanpa pikir panjang, saya langsung mendaftar dan mengirim portofolio tulisan bertema lingkungan.

Tanggal 10 Januari 2024, pihak penyelenggara yakni Asia Pasific Aliance For Digital Manage (APAD) Indonesia mengumumkan kalau nama saya masuk ke dalam daftar 25 peserta yang lolos untuk mengikuti acara yang akan dilaksanakan pada 16-18 Januari 2024. Saya senang karena keinginan bertandang ke Suku Badui akhirnya terwujud.

Saya berangkat dari Semarang menggunakan kereta api. Pada hari Senin (15/1/2024), saya bermalam dulu di Jakarta. Keesokkan harinya saya beserta rombongan berkumpul di Taman Sampoerna Strategic Square, Jakarta Selatan. Kami berangkat menuju Terminal Ciboleger, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten menggunakan mobil travel.

Jalan setapak dan bebatuan jadi tantangan yang harus dilewati menuju Kampung Gazebo. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Kondisi lalu lintas pagi itu sedikit ramai, tapi perjalanan kami tidak menemui kendala berarti. Jarak titik keberangkatan dengan Terminal Ciboleger sekitar 116 kilometer. Jadi butuh waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai di lokasi.

Setelah melewati perjalanan panjang, pukul 13.00 WIB kami sampai di Terminal Ciboleger sekitar pukul 13.00 WIB. Kami lalu berjalan kaki menelusuri jalan setapak untuk singgah di pemukiman Suku Badui Luar di Kampung Gazebo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar.

Menuju ke sana memakan waktu sekitar 2 jam. Kondisi jalan bebatuan dan naik-turun, apalagi diguyur hujan cukup menyulitkan saya. Beberapa kali saya terpeleset ketika menuruni jalan bebatuan. Untungnya saya tidak sampai jatuh.

Rasa lelah selama perjalanan panjang seketika hilang setelah saya melihat suasana Kampung Gazebo yang masih asri, jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk perkotaan. Sebelum matahari terbenam, saya menghabiskan sisa-sisa waktu di sore hari dengan berenang di sungai.

Memasuki malam hari, perkampungan yang saya tinggali berubah jadi gelap gurita. Walaupun ada sedikit penerangan, kondisi tersebut berbeda jauh hampir 180 derajat bagi saya yang terbiasa tinggal di perkotaan.

Aktivitas MCK Baik Suku Badui Dalam maupun Suku Badui Luar dilakukan di sungai. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Di pemukiman Badui Dalam sama sekali tidak ada listrik maupun internet. Sedangkan sebagian pemukiman Badui Luar ada internet dan listrik yang berasal dari tenaga surya. Hal itu saya sikapi dengan positif karena saat malam pertama menginap di Suku Badui, kami jadi lebih banyak bercengkrama satu sama lain.

Waktu berganti, udara sejuk seperti sedang di pegunungan begitu terasa di pagi hari. Udara segar yang saya hirup jarang saya rasakan di perkotaan. Saya mungkin termasuk orang yang bangun kesiangan. Para peserta termasuk orang-orang Suku Badui sudah melakukan beragam aktivitas.

Agenda hari kedua kami di Suku Badui yakni mendengarkan pemaparan jejak-jejak bencana yang pernah terjadi di Suku Badui, kondisi alam saat ini hingga sejarah kemunculan Suku Badui. Yang menjadi pembicara adalah tokoh Badui Dalam yaitu Karmain, beberapa perwakilan APAD Indonesia dan Kepala Bidang Ekraf Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Rohaendi.

Selesai mendengarkan hal tersebut, para peserta kemudian dibebaskan untuk melakukan aktivitas apapun. Saya beserta beberapa orang memutuskan untuk tracking lagi menelusuri perkampungan-perkampungan lainnya di Badui Luar.

Terdapat beberapa pesan seperti tulisan 'Menjaga Alam, Menjaga Kehidupan' di beberapa titik perkampungan Suku Badui Luar. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Sepanjang yang saya lihat, beberapa kampung di Badui Luar terlihat sepi. Mungkin karena penduduknya sedang beraktivitas di ladang. Tapi ada beberapa perempuan sedang fokus menenun di teras rumahnya.

Sementara kegiatan waktu sore dan malam di hari kedua menginap di Suku Badui hampir sama dengan aktivitas di hari pertama. Pada hari terakhir, saya tidak banyak melakukan aktivitas selain persiapan untuk turun menuju Terminal Ciboleger.

Ya, selama tiga hari dua malam menginap di Perkampungan Suku Badui Luar, saya seperti mengingat masa kecil. Dulu, saat berumur 6-10 tahun, saya sering bermain di alam seperti main layangan di sawah, lalu mancing maupun berenang di sungai.

Saat itu internet apalagi ponsel belum populer. Kampung tempat saya lahir adalah Desa Susukan Agung, Kecamatan Susukan Lebak, Kabupaten Cirebon. Di sana sering mati listrik bahkan pernah sampai berhari-hari.

Tinggal di Kampung Suku Badui bagi saya seperti memasuki dimensi lain yang menyenangkan dan menentramkan. Sepulang dari sana, energi saya seperti terisi penuh, pikiran jernih, dan bersemangat menjalani hari selanjutnya. Kalau rindu masa kecil, mungkin saya akan ke Kampung Suku Badui lagi. (Fitroh Nurikhsan/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024