Inibaru.id – Kalau biasanya seserahan pernikahan berupa perhiasan, pakaian, atau perlengkapan rumah tangga, warga Desa Sidigede, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, punya cara yang jauh lebih unik. Mereka menyebutnya Prasah, tradisi turun-temurun berupa seserahan seekor kerbau jantan dari mempelai laki-laki kepada pihak perempuan.
Tradisi ini bukan sekadar ritual simbolis, tapi juga menjadi penanda kebanggaan dan penghormatan bagi keluarga pengantin laki-laki. Bagi warga Sidigede, prasah bukan hanya menandakan status ekonomi, tapi juga soal niat tulus dan rasa hormat terhadap besan.
Arak-Arakan Kerbau yang Meriah
Pelaksanaan tradisi prasah biasanya berlangsung di pagi hari, sekitar pukul 07.00 WIB, sebelum akad nikah dimulai. Seekor kerbau jantan yang sudah dijinakkan diarak dari rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan. Kerbau itu diikat dengan tali tambang di bagian leher, kepala, dan kaki, lalu digiring dalam suasana penuh sorak-sorai warga.
Menariknya, di belakang kerbau biasanya diikuti dengan barongsai, mobil pengantin, serta rombongan pembawa seserahan lainnya. Suasananya meriah, bahkan mirip karnaval kecil yang melibatkan banyak warga desa. Malam sebelumnya, tokoh agama biasanya membacakan doa dan mantra agar kerbau tetap tenang selama diarak.
Meski ramai, ada aturan tak tertulis yang harus dijaga, yaitu kerbau tidak boleh dipukul atau disakiti.
"Itu nggak boleh. Tapi karena suasananya ramai, terkadang kerbaunya susah dikendalikan,” kata Nurrofi’i, mudin Desa Sidigede sebagaimana dinukil dari Betanews, Sabtu(1/11/2025).
Asal Usul dan Makna “Prasah”
Istilah tradisi ini ternyata berakar dari kata “pasrah.” Ceritanya, sekitar tahun 1900-an, ada seorang tokoh Sidigede bernama Simin bin Radin. Ia menikahi putri seorang pria miskin yang ia temui saat sedang memotong rumput. Sebagai bentuk keikhlasan dan bantuan, Mbah Simin memberikan seekor kerbau kepada keluarga perempuan itu.
Warga yang menyaksikan kisah itu kemudian menyebut tindakan Mbah Simin sebagai bentuk “pasrah” atau dengan logat Jawa-nya, "prasah". Sejak saat itulah, tradisi ini diwariskan turun-temurun dan menjadi bagian penting dari budaya Sidigede.
Selain itu, sebagian warga juga percaya bahwa prasah terinspirasi dari kisah Jaka Tingkir, yang harus menaklukkan kerbau sakti demi meminang putri Kerajaan Demak. Dari situ, kerbau pun menjadi simbol keberanian dan ketulusan cinta.
Bukan untuk Pamer, Tapi Bentuk Sedekah
Menurut Nurrofi’i, prasah bukan tradisi wajib, melainkan bentuk sedekah yang dilakukan secara sukarela. Karena biayanya cukup besar, mengingat harga satu ekor kerbau bisa mencapai Rp50–100 juta, hanya keluarga tertentu yang biasanya melakukannya.
“Bahasanya itu sedekah, seserahan dengan keikhlasan dari hati nurani,” ujarnya.
Selain kerbau, biaya lain seperti untuk menyewa jasa seniman barongsai, penari, atau pengiring arak-arakan juga tidak sedikit. Namun bagi warga Sidigede, prasah bukan soal gengsi, melainkan cara menunjukkan rasa syukur dan kebanggaan terhadap anak laki-laki yang sudah menikah.
Meski zaman sudah modern dan banyak tradisi mulai memudar, prasah masih tetap lestari di Sidigede. Setiap kali ada arak-arakan kerbau melintas, warga berbondong-bondong keluar rumah untuk menyaksikannya.
“Kalau ada yang membawa prasah, satu desa pasti tahu. Rasanya seperti pesta rakyat,” kata Wakhid, warga setempat.
Duh, jadi penasaran melihat sendiri tradisi prasah di Desa Sidigede, Jepara. Semoga saja, kita mendapatkan kesempatan itu ya, Gez? (Arie Widodo/E07)
