BerandaTradisinesia
Sabtu, 18 Mar 2022 14:33

Tradisi Ching Bing, 'Nyadran' Versi Masyarakat Tionghoa

Ching Bing menjadi perayaan nyadran pada masyarakat Tionghoa. (Tribun Jateng)

Bagi masyarakat Muslim Jawa, nyadran biasanya dilakukan menjelang bulan Puasa atau saat masih di bulan Ruwah. Nah, orang Tionghoa ternyata punya budaya nyadran-nya sendiri bernama Ching Bing. Seperti apa ya jalannya tradisi ini?

Inibaru.id – Tradisi nyadran di Jawa rutin digelar menjelang bulan puasa. Masyarakat Muslim Jawa biasanya melakukan tradisi ini dengan mendatangi makam para leluhur dan membersihkannya. Nggak lupa, mereka juga mendoakan para mendiang.

Nah, masyarakat Tionghoa ternyata juga memiliki tradisi serupa bernama Ching Bing. Ching Bing biasanya dilaksanakan pada bulan April atau 104 hari setelah Tangcik yang berlangsung pada 22 Desember atau setelah sembahyang musim dingin dilangsungkan.

Ching Bing berasal dari kata Ching (cerah) dan Bing (terang). Maknanya adalah doa agar pada saat tradisi Ching Bing dilaksanakan, maka hari itu cerah, Millens.

Ching Bing seringkali dilaksanakan di halaman klenteng. Mengapa di sana? Hal ini disebabkan oleh pada zaman dahulu, klenteng juga sering dipakai sebagai tempat penitipan abu jenazah dan korban perang yang nggak terawat. Memang, kini sebagian besar abu jenazah nggak lagi ditempatkan di sana. Namun, pada akhirnya tradisi Ching Bing tetap dilaksanakan di tempat ibadah ini.

Dalam tradisi ini, setidaknya kamu bisa melihat tiga sesaji di tiga altar yang berbeda, yakni Altar Thi Kong yang ditujukan bagi Sang Pencipta, Altar Vegetarian yang ditujukan kepada arwah leluhur yang vegetarian, serta Altar Umum. Biasanya sih, sesaji-sesaji ini diletakkan di pojok ruangan, lengkap dengan tempelan nama para leluhur yang didoakan.

Sesaji yang digunakan biasanya berupa nasi, air teh, arak, lauk-pauk, buah-buahan, dan kue. Ada pula tiga daging utama seperti ayam ingkung, ikan bandeng, dan kepala babi. Yang menarik, ada juga sepasang tebu yang diikat ke meja sembahyang.

Nggak lupa, orang Tionghoa juga membakar dua hio dalam tradisi ini. Hal ini menandakan ikatan batin antara keluarga yang masih hidup dengan mendiang yang sudah tiada. Nah, usai proses ini, semua sesaji juga bakal dibakar bersama dengan uang-uangan kertas dan uang perak sebagai simbol "mengirim bekal" kepada mereka yang telah meninggal.

Mempelai pria dan wanita membawa tebu untuk dinikahkan sebagai simbolik dalam upacara Cembengan. (Liputan6)

Perayaan Dilakukan Bersamaan dengan Musim Giling Tebu

Ching Bing seringkali dilakukan bareng dengan musim giling tebu. Maklum, di zaman dahulu, banyak ladang tebu dan pabrik pengilingannya di Jawa. Masa panennya juga seringkali terjadi pada bulan April. Nah, tatkala para orang Tionghoa berdatangan ke makam leluhur atau para klenteng pada bulan-bulan tersebut, banyak mandor tebu yang menyadarinya. Mereka pun kemudian menyebut tradisi ini dengan Cembengan, penyebutan khas Jawa untuk Ching Bing.

Di Solo, masyarakat Jawa bahkan sampai mengadopsi perayaan Cembengan, lo. Hingga sekarang, warga yang ada di sekitar Pabrik Gula Colomadu masih melakukannya.

Hanya, bagi masyarakat Jawa, tradisi ini dilakukan bukan untuk mendoakan para leluhur. Cembengan justru dilakukan sebagai simbol syukur atas keberkahan yang didapat selama proses panen tebu dan pengolahannya menjadi gula.

Tradisi Cembengan di Yogyakarta juga dilakukan warga di sekitar pabrik gula. Di sana, jalannya tradisi ini bahkan lebih meriah karena sampai melibatkan kereta kuda hias. Di dalam kereta kuda ini, ada sepasang laki-laki dan perempuan yang dihias layaknya pengantin. Mereka membawa dua batang tebu,

Kedua tebu ini diibaratkan seperti mempelai pria dan wanita. Nantinya kedua tebu akan diikat sebagai simbolisasi pernikahan. Setelahnya, tebu ini dimasukkan ke dalam mesin penggiling sebagai tanda bahwa proses penggilingan tebu sudah siap dilaksanakan. Selain itu, ada harapan agar proses penggilingan tebu menjadi gula bisa berjalan dengan lancar tanpa insiden apapun.

Semoga saja tradisi Ching Bing atau Cembengan ini tetap lestari ya, Millens.(Etn/Boo/IB31/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024