BerandaTradisinesia
Minggu, 11 Jul 2020 09:00

Sebab Musabab Teosofi Kerap Disandingkan dengan Freemasonry dan Hal-hal Berbau Konspirasi

Sanggar Wijaya Kusuma tempat berkumpulnya Teosofi Semarang. (Inibaru.id/ Audrian F)

Teosofi kerap dibariskan dengan Freemasonry dan konspirasi. Aku sekarang paham, kenapa ada anggapan seperti itu.<br>

Inibaru.id - Setelah ikut pertemuan Teosofi Semarang, aku jadi paham, kenapa para penganutnya disamakan dengan freemason atau konspirasi yang dijadikan kambing hitam di balik beberapa peristiwa besar di dunia. Mereka sering disangka pengin menciptakan tatanan dunia yang baru. Sebelum kubeberkan pemahamanku, sebaiknya kamu ketahui dulu apa itu teosofi.

Aku dapat banyak pencerahan dari Muhammad Zazuli. Di kalangan Teosofi Semarang, dia sebetulnya bukan anggota, tapi hanya simpatisan. Namun, Zazuli banyak menulis buku tentang keagamaan, teologi, dan astrologi.

Teosofi didirikan di New York pada 1875 oleh seorang perempuan bangsawan keturunan Rusia, Helena Petrovna Blavatsky. Dalam perjalanannya, Madam Blavatsky juga banyak diminta untuk menularkan ilmunya di kelompok Freemasonry.

“Oleh karena itulah, ilmu yang dianut dari kedua kajian ini nggak jauh-jauh beda bahkan sampai pengikutnya yang bercabang,” kata Zazuli pada Jumat (3/7/2020)

Helena Petrovna Blavatsky, penemu ajaran Teosofi. (ThesopicalSociety)<br>

Kemudian karena pemikiran teosofi condong pada pemikiran mistik Timur, pada 1879 pusat ajarannya berpindah ke Adyar di Madras, India. Pengikut Teosofi nggak sembarang orang, lo. Banyak tokoh besar juga seperti James Joyce, Sir Arthur Conan Doyle, Thomas Edison, Carl Gustav, Elvis Presley, Jawaharlal Nehru, dan Mahatma Gandhi.

Kata Zazuli, pada 1883 ajaran ini kali pertama masuk ke Indonesia tepatnya Pekalongan. Kala itu penganutnya adalah orang-orang Hindia Belanda. Teosofi pertama di Pekalongan dipimpin oleh Baron van Tengnagel.

“Beberapa saat kemudian pribumi mulai merangsek masuk. Kebanyakan para priyayi. Karena Teosofi memuat kajian keilmuan. Dan memang pada saat itu hanya kalangan priyayi yang berpendidikan mumpuni daripada pribumi lainnya,” ujarnya.

Salah seorang anggota berdiri di depan Foto-foto anggota Teosofi lama yang terpajang di dinding. (Inibaru.id. Audrian F)<br>

Dalam catatan sejarahnya, di Indonesia banyak terjadi akulturasi kebudayaan. Baik dari cara penyampaian atau ajaran. Ada yang sedikit menyimpang memang, tapi belum terlalu fatal.

“Di antara priyayi dan kalangan berilmu itu menjadi negarawan atau tokoh besar di Indonesia,” terangnya.

Tokoh-tokoh besar tadi antara lain seperti Sukemi (ayah Soekarno), Radjiman Widyodiningrat, Dr Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hadjar Dewantara. Beberapa organisasi seperti Boedi Oetomo, Stovia, dan Jong Java juga menganut prinsip Teosofi. Zazuli bahkan berani menyebut kalau Ir Soekarno dididik pemikirannya secara Theosofi.

Teosofi mengutamakan pemikiran universal. Mengedepankan keberagaman serta jiwa dan pemikiran merdeka. Ajaran ini barangkali dianut oleh para tokoh yang kemudian berperan penting dalam pergerakan nasional.

Dari situlah letak pemahaman yang ingin aku tunjukkan. Jika ada yang bilang Teosofi berperan dalam gerakan perubahan besar, anggapan itu nggak sepenuhnya salah.

Berpose di depan Sanggar. (Inibaru.id/ Audrian F)<br>

Kalau aku boleh bilang, ya, para penganut Teosofi yang mumpuni dengan dasar keilmuannya berperan penting dalam berbagai peristiwa besar.

Teosofi berkembang pesat pada abad 20. Namun, semua meredup karena Soekarno memberantas segala hal yang berbau asing. Itulah mengapa, tokoh-tokoh besar yang ikut hanya pada masa pergerakan sebelum kemerdekaan.

“Saat jadi Presiden, Soekarno benci hal-hal yang berbau asing. Teosofi karena bisa dibilang bawaan kolonial, makin terimpit. Pergerakannya jadi sembunyi atau kamuflase,” pungkas Zazuli.

Namun belakangan minat orang-orang untuk mempelajari Teosofi bisa dibilang sudah bertumbuh, Millens. Kalau menurutku sih pemahaman ini memang perlu orang tahu. (Audrian F/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024