Inibaru.id – Banyak catatan sejarah yang menyebut Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Hal ini berarti, masyarakat muslim di Nusantara sudah menerapkan hukum Islam jauh lebih lama dari peraturan hukum Belanda.
Salah satu wujud penegakan hukum Islam pada masa itu adalah pengadilan surambi. Sistem peradilan ini dijalankan Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613 - 1645). Nama resminya adalah al-Mahkamah al-Kabirah.
Pengadilan surambi dipimpin oleh seorang ulama yang juga bertugas sebagai penasihat raja. O ya, perkara yang diurus oleh pengadilan ini meliputi perkara hukum perkawinan, talak, warisan, dan hukum pidana.
Prosesi Pengadilan Surambi
Dalam pelaksanaannya, pengadilan surambi menggunakan kitab yang disebut Kitab Angger-Angger. Kitab ini disusun guna memenuhi kebutuhan keraton dalam melaksanakan hukum Islam di wilayahnya. Referensi pembuatan kitab ini adalah Kitab Muharrar, Kitab Mahalli, Kitab Fathul Mu’in, dan Kitab Fathul Wahab.
Ada sepuluh orang yang menjadi pengurus pengadilan surambi. Mereka adalah kyai penghulu yang berperan sebagai ketua, empat orang pathok nagari, seorang penghulu hakim, dan sisanya adalah para katib.
Ada juga abdi dalem yang bertugas sebagai eksekutor. Mereka adalah Nirbaya yang melaksanakan hukum mati gantung, Singanagara yang melaksanakan hukum penggal, dan Martalut yang bertugas melaksanakan hukuman mati dengan keris, tombak, atau pedang.
Di selasar Masjid Agung, persidangan biasanya digelar dalam dua tahap, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Tahapannya mulai dari pemeriksaan laporan dan bukti-bukti, lalu dilanjutkan dengan putusan hukuman sesuai dengan bukti dan kesalahan yang dilakukan terdakwa.
Pudarnya Praktik Pengadilan Surambi
Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada 1645, peradilan perdata dihidupkan guna mengurangi pengaruh ulama dalam penerapan hukum sekaligus membuat kekuasaannya semakin besar. Meski begitu, pengadilan surambi masih tetap berjalan dengan kewenangan yang lebih terbatas.
Hal serupa diterapkan pada masa pemerintahan Pakubuwono IV pada 1788 sampai 1820. Pengadilan surambi masih menjadi pengadilan tertinggi. Tapi, adanya pengaruh Belanda membuat pengadilan ini semakin lama semakin berkurang penerapannya.
Pasca-perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro, pengadilan surambi secara resmi dihentikan pemerintah Hindia Belanda, tepatnya sejak Resolusi No. 29 diterapkan pada 11 Juni 1831. Sejak saat itulah, sistem penegakan hukum di Nusantara mulai mengadopsi sistem hukum Negeri Kincir Angin.
Jadi penasaran, bagaimana jika pengadilan surambi juga diterapkan di masa sekarang, ya Millens? (Goo, Kom/IB31/E07)