Inibaru.id - Wafatnya Raja Keraton Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII Hangabehi pada Minggu (2/11/2025) lalu bikin Raditya, warga Sukoharjo yang kini bekerja di Kota Semarang penasaran dengan status Surakarta yang nggak jadi Daerah Istimewa seperti Yogyakarta.
"Padahal ada keratonnya, keluarga kerajaannya, dan berbagai tradisi khas keraton juga masih dijalankan hingga sekarang. Kok bisa ya statusnya berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta? Di Surakarta bahkan punya wali kotanya sendiri, " tanyanya pada Selasa (4/11).
Selain Raditya, mungkin banyak yang belum tahu kalau dulu Surakarta, atau yang sekarang lebih akrab disebut Solo, pernah menyandang status Daerah Istimewa Surakarta, sama seperti Yogyakarta sekarang. Namun, keistimewaan itu nggak bertahan lama. Hanya dalam waktu singkat setelah kemerdekaan Indonesia, status tersebut dicabut akibat gejolak politik dan munculnya gerakan anti-swapraja.
Menariknya, kisah ini berawal dari semangat yang sama antara raja-raja di Jawa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pakubuwono XII dari Kasunanan Surakarta dan Mangkunegoro VII dari Kadipaten Mangkunegaran langsung mengirim telegram dukungan kepada Presiden Sukarno pada awal September 1945. Tindakan serupa juga dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dari Yogyakarta.
Sebagai balasan, Sukarno menerbitkan piagam kedudukan yang mengakui para penguasa tersebut tetap berperan di wilayahnya masing-masing. Dari situlah, Surakarta kemudian ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Surakarta yang meliputi wilayah Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, hingga Baturetno.
Sayangnya, status istimewa itu nggak bertahan lama. Kenapa bisa begitu?
Pecahnya Dukungan dan Lahirnya Gerakan Anti-Swapraja
Berbeda dengan Yogyakarta yang punya satu kepemimpinan kuat di bawah Sultan Hamengkubuwono IX, Surakarta justru terbagi dua, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Kedua keraton ini sulit bekerja sama karena masing-masing merasa punya legitimasi dan kekuasaan yang sama tinggi.
Situasi makin pelik ketika muncul gerakan anti-swapraja, gerakan rakyat yang menentang sistem kerajaan atau feodalisme. Istilah “swapraja” sendiri berarti tanah-tanah kerajaan yang memiliki hak otonomi sejak masa kolonial Belanda. Di masa itu, rakyat sudah jenuh dengan sistem feodal dan mulai menginginkan pemerintahan yang lebih demokratis di bawah nama Indonesia.
Menurut catatan sejarah, pada awal 1946 kelompok pemuda yang tergabung dalam Barisan Banteng menculik sejumlah tokoh penting Kasunanan, termasuk Susuhunan Pakubuwono XII dan keluarganya. Mereka ingin memberi pesan bahwa rakyat menolak kekuasaan absolut raja.
Peristiwa ini mengguncang politik Surakarta. Dukungan terhadap keraton makin menipis, sementara pemerintah pusat mulai khawatir gejolak sosial di sana bisa meluas.
Pemerintah Turun Tangan dan Akhir Keistimewaan
Di tengah kekacauan itu, pemerintah pusat akhirnya turun tangan. Pada 15 Juli 1946, dikeluarkan Peraturan Presiden No. 16/SD/1946 yang secara resmi mencabut status Daerah Istimewa Surakarta dan menggabungkannya ke dalam Provinsi Jawa Tengah.
Meski awalnya menolak, Mangkunegara VIII akhirnya mengikuti langkah Pakubuwono XII untuk tunduk pada keputusan pemerintah pusat. Sejak saat itu, kekuasaan swapraja di Surakarta berakhir, dan wilayahnya menjadi bagian administratif biasa seperti daerah lain di Jawa Tengah.
Lalu kenapa Yogyakarta bisa tetap istimewa? Jawabannya ada pada stabilitas politik dan sikap proaktif Sultan Hamengkubuwono IX yang mendukung penuh Republik Indonesia sejak awal tanpa menimbulkan konflik di dalam wilayahnya. Yogyakarta bahkan sempat menjadi ibu kota negara pada 1946, yang semakin mengukuhkan posisinya di mata pemerintah.
Sementara itu, Surakarta gagal menjaga stabilitas dan persatuan di antara dua keratonnya. Revolusi sosial yang mengguncang wilayah ini membuat pemerintah kehilangan kepercayaan untuk mempertahankan status istimewanya.
Tapi, belakangan muncul kembali wacana untuk membuat Surakarta jadi daerah istimewa seperti DIY. Hm, jadi penasaran dong, kira-kira hal ini bakal sampai terlaksana nggak, ya? Kalau menurutmu, mungkin nggak nih, Gez? (Arie Widodo/E07)
