Inibaru.id - Tradisi Ngalungi Sapi adalah salah satu warisan budaya yang masih hidup di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Berasal dari budaya masyarakat Samin atau Sedulur Sikep, tradisi ini telah dilestarikan turun-temurun oleh warga Blora, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil pertanian dan ternak mereka.
Dalam upacara yang digelar setiap bulan Sura atau pada hari-hari tertentu seperti Selasa Kliwon dan Jumat Pahing, sapi-sapi yang dimiliki petani akan diberi kalungan ketupat dan lepet.
Menurut Sugiartono, seorang tokoh masyarakat Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora, tradisi ini bermula sebagai bentuk penghormatan kepada sapi, yang dianggap sebagai “Raja Kaya”. Artinya sapi bukan hanya sebagai alat untuk membantu petani di ladang, tetapi juga memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan mereka.
“Sapi itu seperti raja, makan tinggal makan, tidak seperti manusia,” jelas Sugiartono sebagaimana dinukil dari Merdeka, Selasa (31/10/2023).
Tradisi Ngalungi Sapi juga menjadi ajang untuk memohon keselamatan dan kesehatan bagi ternak sapi, yang diharapkan bisa terus berkembang biak dan membantu pekerjaan petani. Oleh karena itu, sapi perlu dirawat dan dihormati dengan upacara bancakan atau tasyakuran.
Prosesi tradisi ini cukup unik. Sapi-sapi yang telah dipilih akan digiring keluar dari kandang menuju tanah lapang, tempat upacara digelar. Dalam acara ini, masyarakat akan mempersembahkan ketupat dan lepet, yang kemudian dikalungkan di leher sapi sebagai simbol rasa syukur dan doa agar ternak mereka tetap sehat.
Simbolisme Ketupat dan Lepet
Ketupat yang digunakan dalam tradisi ini melambangkan ketulusan hati, sedangkan lepet yang terbuat dari ketan dan dibungkus daun kelapa, melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Pengalungan kedua simbol tersebut pada sapi merupakan doa agar kehidupan masyarakat diberkahi dan hasil bumi melimpah.
Lebih dari itu, upacara ini juga berfungsi sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial antar-petani serta memperkuat nilai-nilai religius, seperti cinta kasih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Meski zaman semakin berkembang, tradisi ini tetap dilestarikan oleh masyarakat Blora, terutama oleh warga Desa Klopoduwur dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Jepon dan Jiken. Makanya, pada 2025, tradisi Ngalungi Sapi resmi tercatat sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Kementerian Hukum dan HAM. Penetapan HAKI ini menjadi bukti bahwa tradisi tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi, baik dari sisi kebudayaan, sosial, maupun filosofi hidup masyarakat Blora.
Bupati Blora Arief Rohman, juga menegaskan pentingnya pelestarian tradisi ini sebagai kekayaan budaya daerah.
“Dengan adanya HAKI, kami berharap tradisi ini lebih dikenal luas, terjaga, dan menjadi kebanggaan bersama,” ujarnya.
Tradisi Ngalungi Sapi bukan sekadar sebuah ritual, melainkan simbol kehidupan yang mengajarkan tentang rasa syukur, cinta kasih terhadap alam, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai salah satu kekayaan budaya Blora, diharapkan tradisi ini dapat terus bertahan dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat serta generasi yang akan datang. Setuju, Gez? (Arie Widodo/E07)
